Beriring, awan-awan yang menggelap, memaksa hati menutup rapat. Di balik pintu aku menunggu. Entah mengapa aku masih menunggu. Sedangkan aku begitu tau. Cintamu dan hatimu tak tertuju untukku. Tapi aku masih menunggu. Berkhayal bersama ribuan mimpi yang tak pernah menyudahi memberi arti. Berpeluk dengan harapan yang entah kapan akan berhenti. Ataukah harus terhenti. Dipaksakan pun, aku tak pernah bisa mengatakan tidak untuk melepasmu.
Malam melarutkan sendu dan piluku. Berapa lagi airmata yang musti membayar kerinduanku. Sedang kau di sana berpeluk, bermesra dengan kekasihmu. Aku cemburu. Tapi, tak yakin aku mampu, mengisyaratkannya kepadamu. Kepada perempuan yang telah memasungku pada kesetiaan bodoh. Perempuan yang dalam senyumnya begitu memikat naluriku.
Mentari menggeliat mencairkan beku malam. Tapi hatimu tak sedikit pun meleleh tersiram bara yang begitu membakar. Terlalu dingin. Hanya sekedar untuk menatapku. Mesramu menyayat hatiku. Meski tak sesakit luka yang aku goreskan dulu. Sungguh, aku sangat ingin berdiri di sampingmu. Menjadi penjaga dan pelindungmu. Bukan memimpinmu dengan arogansiku.
Hingga sesaat itu aku melihatmu. Matamu mencuri dalam kediaman surya yang menyirat dalam jingga. Matamu membinarkan cahaya yang begitu terang seterang ribuan bintang. Hanya sesaat. Hanya sekejap. Dan sebentar saja memang tak cukup buatku, untuk menikmati matamu yang penuh damai menatapku.
Damai. Begitu damai. Meski begitu singkat. Meski terasa sesak, sesudahnya. Perempuan yang masih menyimpan dukanya. Perempuan yang masih memelihara lukanya. Karenaku.
Malam melarutkan sendu dan piluku. Berapa lagi airmata yang musti membayar kerinduanku. Sedang kau di sana berpeluk, bermesra dengan kekasihmu. Aku cemburu. Tapi, tak yakin aku mampu, mengisyaratkannya kepadamu. Kepada perempuan yang telah memasungku pada kesetiaan bodoh. Perempuan yang dalam senyumnya begitu memikat naluriku.
Mentari menggeliat mencairkan beku malam. Tapi hatimu tak sedikit pun meleleh tersiram bara yang begitu membakar. Terlalu dingin. Hanya sekedar untuk menatapku. Mesramu menyayat hatiku. Meski tak sesakit luka yang aku goreskan dulu. Sungguh, aku sangat ingin berdiri di sampingmu. Menjadi penjaga dan pelindungmu. Bukan memimpinmu dengan arogansiku.
Hingga sesaat itu aku melihatmu. Matamu mencuri dalam kediaman surya yang menyirat dalam jingga. Matamu membinarkan cahaya yang begitu terang seterang ribuan bintang. Hanya sesaat. Hanya sekejap. Dan sebentar saja memang tak cukup buatku, untuk menikmati matamu yang penuh damai menatapku.
Damai. Begitu damai. Meski begitu singkat. Meski terasa sesak, sesudahnya. Perempuan yang masih menyimpan dukanya. Perempuan yang masih memelihara lukanya. Karenaku.
Komentar
Posting Komentar