Langsung ke konten utama

coba lupakan kamu!

Suara sepatu yang aku pakai begitu jelas terdengar setiap kali menyentuh lantai. Telinga yang mendengar pasti tau aku sedang berlari. "Tha, dengerin aku dulu," begitu teriak Andre sambil terus berjalan dengan langkah yang cepat meski dia nggak berlari sepertiku. Aku nggak begitu menanggapi kata-katanya. Aku harus menghindar dari dia.
"Sampe kapan mau lari? Sampe kapan kamu menghindar dari aku? Sampe kapan kamu mau berbohong sama nurani kamu? Sampe kapan, Tha," teriaknya lagi dan kali ini nggak ada langkah yang memburu.
Aku berhenti dari lariku dan membalikkan badanku. "Apa mau kamu," begitu tanyaku dingin. Aku nggak lagi berlari menjauh dari dia tapi kali ini aku menghampiri dia. Mendekatkan jauh yang terbentang antara aku dan dia. "Setelah aku berhenti apa kamu yakin buat ninggalin dia? Apa kamu yakin aku mau ninggalin Aldo," lanjutku lagi masih tetap dingin. Aku merasa semua saraf di tubuhku telah mati. Saat tangan Andre menyentuh wajahku, bahkan aku nggak merasa dia menyentuhnya. Apa rasaku untuk dia telah mati? Benar-benar mati sampai aku merasa asing dengan sentuhannya.
"Maafin aku Tha! Aku nggak bermaksud bikin keadaan kamu kayak gini! Aku nggak mau ngrusak hubungan kamu sama Aldo. Aku cuma pengen kita sama-sama tau," katanya pelan dan berusaha agar aku mengerti. Tangannya kini nggak lagi menjamah wajahku. Dia menggenggam tanganku yang dingin. Yang benar-benar dingin karena hujan mengguyur sedari pagi tadi.
"Akhirnya memang kamu udah ngrusak hubunganku! Dan kamu berhasil buat Aldo salah sangka sama kedekatan kita akhir-akhir ini," balasku dan berusaha melepas genggaman Andre yang erat. Aku langkahkan lagi kaki lemahku yang gemetar. Aku menghambur keluar gedung kampus dan air hujan basahiku. Kali ini Andre ikut berlari mengejarku.
Begitu tangannya berhasil meraih tanganku, dia menarik tubuhku dan menenggelamkannya dalam pelukan yang pernah aku rasakan dulu. Dulu sekali. Kali ini lebih erat. Seperti nggak mau kehilangan sesuatu yang berharga untuk kedua kalinya. Apa yang dia inginkan? Masa lalu dulu?
Aku terdiam. Mulutku tak berhenti bergerak. Gemeletuk gigiku makin keras dan aku tau betul, aku kedinginan. Waktu aku buka mata, yang aku dapati ada banyak pasang mata yang menyaksikan adegan sok romantis antara aku dan Andre. Aku ingin lepas dari dekapnya. Sangat ingin. Tapi aku seperti nggak punya daya. Tiba-tiba saja pandanganku buram. Apa yang ingin aku lihat lebih jelas nggak berhasil aku lakukan. Samar aku melihat sosok yang begitu aku kenal. Entahlah! Aku memaksa mataku untuk melihat tapi aku hanya bisa mendengar suara seorang lelaki teriakan namaku sebelum aku terbawa di alam bawah sadar.
"Tha, Atha bangun! Atha bangun," telingaku masih mampu mengenali suara yang terus memintaku untuk sadar. Aku membuka mata dengan payah karena air hujan ternyata belum juga berhenti untuk mengguyur tubuhku yang semakin menggigil.
"Aldo, aku kenapa," tanyaku dengan berusaha sekuat tenaga untuk menegakkan badanku yang sebelumnya tergeletak di pangkuan Aldo. Hujan masih nggak berhenti dan air yang terjatuh makin membuat aku kedinginan. Aldo memapahku ke kanopi gedung dan membungkus bagian atas tubuhku dengan jaket yang dia pakai. Dia mencium keningku, mengusap kepalaku, dan tersenyum kecil sebelum dia berlari keluar gedung.
"Atha, kamu udah baekan? Kamu tadi pingsan, Aldo khawatir banget sama kamu. Kamu ngapain masih ketemu sama Andre," tanya Asti. Tangannya nggak berhenti mengusap lenganku. Dia berpikir dengan apa yang dilakukannya aku bisa merasa lebih tenang dan hangat. Apa aku bisa merasa tenang kalo saat aku mencoba tau kemana Aldo akan pergi ternyata dia mendatangi Andre.
"Asti, Aldo mau ngapain? Dia ngapain ketemu sama Andre? Asti halangin Aldo," kataku dengan khawatir yang begitu dalam. Asti cuma diam. Aku dengan langkah yang masih lemas mencoba mengikuti Aldo.
"Andre, aku tau kamu pernah deket sama Atha. Tapi aku minta, kamu bisa ngertiin hubunganku sama dia. Aku sayang Atha. Dan aku nggak akan pernah ngebiarin sesuatu atau seseorang buat dia sedih," kata Aldo dengan nada pelan namun penuh dengan ancaman andai saja dia menemukan sesuatu atau seseorang yang membuat aku sedih. Aku berdiri di samping Aldo ketika dia mengunci mata Andre untuk tetap memperhatikannya.
"Aku tau banget hubungan kamu sama Atha. Dan aku harap kamu juga tau, dulu aku juga pernah punya hubungan sama dia. Bahkan sampai sekarang, kamu juga bisa tanya dia, apa aku pernah buat dia sedih? Sekali pun aku nggak pernah buat dia sedih apalagi nangis," balas Andre yang tak kalah mengingatkan Aldo.
"Udah Ndre! Udah cukup, kita nggak punya hubungan yang lebih dari sekedar aku tau nama kamu Andre dan kamu tau nama aku Atha. Cuma itu aja hubungan kita. Seandainya dulu kamu ngrasa ada hubungan yang lebih dari itu, maaf, mungkin kamu salah tanggap aja sama sikapku. Aku nemuin bahagia sama Aldo, aku udah mulai bisa sembuh dari sakitku yang dulu, dan aku bukan manusia bodoh yang mau mengulangi sakit yang sama. Tolong, ngertiin aku, sekali ini aja," kataku dengan sedikit berteriak melawan suara deras hujan agar Andre mengerti apa yang aku maksudkan.
Aku meraih tangan Aldo dan aku berjalan meninggalkan Andre. Meninggalkan seseorang yang tak lepas menatap setiap langkah aku meninggalkannya. Yang tetap terdiam melihatku bersama dengan lelaki yang kini begitu aku puja. Aldo memelukku. Mencoba menghangatkanku yang masih saja merasa dingin.
"Kamu masih berhubungan sama dia ya? Kamu anggep aku apa Tha? Setiap ngliat dia, setiap kamu bales sapaannya dia, setiap kamu tersenyum kalo ketemu dia, kamu tau? Aku merasa sesak, aku pengen bernafas tapi aku nggak bisa bebas bernafas. Seakan ada beban yang nggak bisa aku tanggung sendiri. Jantungku berpacu cepat seolah ingin meledak, aku nggak suka kamu inget dia," Aldo berkata pelan tapi pelannya itu yang membuat aku semakin bersalah. Aku yang salah? Yang benar saja? Dia menyalahkanku?
"Aku nggak ngerti pikiran kamu Al, aku sayang banget sama kamu. Dan kamu masih curiga aku punya hubungan sama dia? Ke mana aja kamu selama ini? Apa kamu juga tau aku ngrasain sesak yang sama, apa kamu denger jantungku juga berpacu kencang, kamu tau semua itu? Apa kamu tau? Aku merasa ada sakit tapi coba aku tahan, rasanya nyeri tapi aku sembunyiin. Setiap kali kamu ngomongin cewek laen, setiap kamu ungkit masa lalu kamu, setiap kamu berdunia maya dengan orang yang nggak jelas asal-usulnya, setiap kamu sms-an sama cewek yang terobsesi sama kamu, meski kamu bilang dia cuma temen, kamu tau? Aku sakit Al! Kamu sadar," jelasku dengan isakan. Suaraku menjadi berat dan seolah begitu sulit untuk berucap. Dan aku membisu sepanjang jalan Aldo mengantarku pulang.
Hari ini aku begitu lelah. Perasaanku kacau. Otakku berserakan. Aku nggak bisa dijejali masalah konyol seperti ini. Pacarku sendiri nggak percaya sama aku. Aku coba tenangkan jiwaku yang mulai labil. Seusai mandi aku hanya meminum secangkir teh lalu aku menghabiskan lembar demi lembar novel tetralogi karya Andrea Hirata. +-+

Mataku rasanya malas untuk membuka kelopaknya. Padahal aku begitu tau, panas matahari sudah dari tadi menghangatkanku yang tetap bergumul di balik selimut. Aku bahkan lupa berapa halaman yang telah aku katamkan dari buku Andrea, sepertinya aku nggak tuntas membaca satu halaman. Ponselku berdering pelan tapi aku abaikan. Aku malas sekali hari ini. Aku enggan turun dari tempat tidur. Mama yang dari tadi berisik ngebangunin aku makin tambah cerewet.
"Udah jam berapa Tha? Kamu itu anak cewek jam segini belom bangun. Hari ini kamu ada janji sama abang kamu kan? Buruan deh ke sana biar dia nggak kelamaan nunggu," kata mama dengan nada bicara yang naik turun sambil menarik selimut yang menutup sekujur tubuhku. Dengan malas aku menyambar handuk yang terjemur di depan kamar mandiku. "Jangan lupa bawain pesenan Mama juga buat abang kamu itu! Abis mandi kamu sarapan baru ke tempat abang kamu. Mama ada janji sama rekan bisnis Mama," lanjut Mama yang ikut merapikan tempat tidurku lalu melakukan aksi terakhirnya dengan menutup pintu kamarku. Aku cukup singkat menyegarkan badanku pagi ini, pikiranku masih saja letih! Aku menilik layar ponselku. Ada dua puluh tiga panggilan tak terjawab terhitung dari semalam entah jam berapa. Aku telusuri siapa yang berusaha meneleponku sambil berjalan ke arah garasi rumah. Setelah aku lihat ternyata ada 3 panggilan dari Aldo dan sisanya resmi milik Andre. Aku tertidur lagi di perjalanan menuju ke tempat bang Desta. Dan baru bangun lagi setelah pak Udin membangunkanku.
"Ini titipan nyokap! Bang, aku masih mesti rutin ke tempat kamu sampe kapan? Udah bosen aku ke sini terus! Kalo aku pura-pura ke sini tapi gak mampir gimana? Buat nyenengin nyokap bokap aja," kataku begitu aku masuk ke ruang berukuran 4 x 4 meter berdinding biru dengan sebuah papan nama kecil di meja kerja bang Desta yang bertuliskan dr. Radesta Putera Baskara. Aku duduk di kursi yang langsung berhadapan dengan si penguasa ruangan yang tak lain abangju sendiri.
"Kamu nggak boleh gitu donk Tha! Mama nyuruh aku buat jagain kamu, buat ngrawat kamu! Nanti kalo ada apa-apa sama kamu, aku yang kena marah papa mama, mereka pasti bilang aku nggak becus adek satu-satunya. Ow iya, gimana kabar Aldo? Kapan-kapan boleh tuh kita jalan bareng! Iya Tha, ayo jalan bareng? Tar sore gimana," jawab bang Desta sekalian ngajakin jalan bareng bertiga. Setelah aku konfirmasi ke Aldo akhirnya ada kesepakatan antara kita bertiga -aku, Aldo, dan bang Desta- yang mau wisata kuliner di pusat kota.
Selesai dari tempat bang Desta aku langsung pulang ke rumah. Sepi banget rumah! Cuma ada mbok Nem, Pak Karjo, Dotha -anjing pemberian Aldo di ultahku tahun lalu, yang dikasih nama berdasarkan atas gabungan nama pemberi dan penerima-, dan Andrea -kelinci putih yang diberi Andre waktu kita nggak sengaja pergi ke pet shop dan aku tertarik pada Andrea, Andre yang tau ketertarikanku langsung membeli kelinci itu sekaligus kandang kecilnya, nama Andrea juga gabungan nama Andre dan namaku, kejadian itu dua tahun lalu- yang sibuk menggigiti wortel besar di kandangnya. Dotha mengikutiku sampe aku ke kamar tapi mungkin dia tau aku malas untuk menemaninya bermain. Dia cuma diam ikut tidur di lantai kamarku, menemani kelusuhan hari tuannya.
Kira-kira pukul empat sore aku terbangun mendadak karena ponselku berdering, ada pesan masuk dari bang Desta.

ak g bs jmpt,. tar km m aldo lngsng dtg k t4 biasa. ati" y adekku

Aku hampir lupa ada janji dengan dua orang lelaki, yang dua-duanya begitu sayang sama aku, yang keduanya begitu ketat menjagaku. Aku bergegas mandi dan bersiap. Aku hanya memakai celana pendek dengan motif kotak-kotak warna coklat, kaos oblong coklat yang bertuliskan "I am not PERFECT" di punggung kaos, dan sandal jepit coklat yang seirama dengan busanaku. Belom sempat aku menelepon Aldo, cowok yang kali ini datang memakai kaos coklat, celana pendek coklat, dan sandal coklat itu terduduk manis sambil menggendong Dotha. Begitu aku berpesan ke mbok Nem, kalo aku pergi bareng Aldo dan bang Desta.
Sampe di salah satu kafe yang jadi tempat kita biasa kongkow bertiga, aku sama Aldo langsung nyamperin bang Desta yang udah stay di sana. Kurang lebih satu setengah jam kita di sana, sekedar minum cappucinno, vanilla latte, dan menyantap tiramisu. Langkah kaki kita berlanjut ke pusat kota, makan besar di warung tenda pinggir jalan. Ada warung pecel yang enak, nggak cuma enak, tapi juga murah. Aku emang menjaga banget masalah makanan, selaen ada dokter pribadi yang selalu memantau, aku memang nggak suka sama hal yang berbau fast food atau pun junk food. Entah kenapa, mataku menjadi buram dan berkunang-kunang, kepalaku terasa berat, waktu aku mencoba meraih tangan bang Desta aku tau badanku telah terjatuh. Aku masih bisa mendengar kepanikan bang Desta dan Aldo. Mataku begitu berat untuk aku buka tapi telingaku seolah bisa melihat semua yang ada di sana. Aku tau badanku diangkat Aldo masuk ke mobil bang Desta yang terparkir nggak jauh dari tempat kita makan. Dan beberapa menit kemudian, aku nggak tau apa yang terjadi.-+-
Bau ini begitu aku hapal dan aku benci bau ini. Aroma yang menyesakkan hidungku. Aku ingin membuka mataku, meski sulit tapi akhirnya aku bisa melihat sesosok lelaki yang tertidur lelah di samping tempat aku terbaring. Ruangan ini, aku sudah bosan dengan ruangan ini. Aku berharap nggak lagi kembali ke tempat ini. Aku ingin ini yang terakhir. Tangan lemahku mencoba menggenggam lebih erat tangan Aldo yang terus memegang tanganku entah dari kapan.
Aldo terbangun dari lelapnya dan mencium keningku. Dia terlihat begitu khawatir melihat dan tau keadaanku yang sebenarnya. Yang begitu lemah dan penyakitan. Aku meminta selembar kertas dan pena, Aldo pun bergegas mencarikannya untukku. Ini yang aku tulis,

Pada akhirnya semua akan berlalu
Terbawa angin dan melaju
Menghilang...
Biarkan saja menghilang

Pada akhirnya semua akan merindu
Tertawa tersenyum pada bayang yang lalu
Terdiam termenung pada rasa yang dulu
Teruslah merindu...
Tumpah tertuah pada nafas yang baru

Ada apa denganku kini?
Sekeras itukah rasa?
Hingga tercabik terbuyar pun ku tak sadar

Sebuah titisan rasa kembali datang
Melewati sudut celah yang tak terlihat
Saat ini...
Ku ingin rasakan kembali hari yang lalu
Sejenak...
Tanpa ada satu titik pun debu yang berlalu


Maaf aku nggak berani ungkapkan puisi ini buat kamu. Sampai kapan pun cuma tulisan ini yang mampu membantuku memberitaumu, begitu besar sayangku buat kamu. Yang nggak bisa aku miliki sayang itu sepenuhnya, yang nggak bisa aku balas tulusmu itu. Aku percaya ada yang lebih baek dari aku, aku yang nggak bisa kasih kamu apa pun. Aku yang tercipta sebagai manusia lemah nggak berdaya. Jika waktu masih berpihak sama kita berdua, aku berharap kita masih bisa ketemu, dengan siapa pun kita nanti. Maka ijinkan aku untuk menyimpan cerita kita berdua dalam hati yang telah terluka. Luka karena nggak bisa nemenin kamu, sakit karena aku tersiksa nggak bisa memiliki kamu. Jaga diri dan semua cerita kita di hati kamu. Aku sayang kamu, sampai kapan pun, di mana pun aku ada, dengan siapa pun kamu nanti, aku akan selalu sayang kamu.
-atha-

Kertas itu aku lipat dan aku masukkan ke amplop putih. Aku simpan di bawah bantal rumah sakit. Aldo pulang sebentar buat mandi, udah dua hari dia nungguin aku di sini. Di rumah sakit yang aku benci. Bang Desta dateng buat periksa aku, dia bilang keadaanku makin parah karena selama tiga hari sebelum kita bertiga pergi bareng, aku nggak minum obat. Aku capek, aku udah bosen minum racun yang makin menggerogotiku. Biar saja aku nikmati sakit ini. Sebelum bang Desta keluar aku menitipkan surat yang aku tulis tadi, "Bang, aku nitip ini ya. Tolong kasih ke orang yang aku tulis namanya di amplop itu. Janji sampein ya, kalo enggak aku marah sama kamu."
Bang Desta tersenyum, memasukkan amplop itu di jas putihnya, dan berlalu keluar. Aku pikir inilah saat yang tepat, waktu untuk aku pergi. Tanpa ada seorang pun yang aku lihat bersedih karena pergiku. Aldo, maaf, meski aku tau kamu begitu sayang aku, tapi hatiku belom bisa membuka tempat buatmu. Dalam hatiku masih saja terusung nama yang juga aku tulis di sebuah amplop, sebuah nama lelaki, ANDRE. Aku merasa tenang bisa pergi dengan damai, melawan kanker otak yang telah menenggelamkan anganku di dalam gundukan tanah dan nisan yang tertulis rapi namaku, Agatha Puteri Baskara.


agha senja

Komentar

  1. puisinya buatan seorang teman bernama Bayu..tapi udah minta ijin kok sama yg punya jadi bukan plagiator!

    BalasHapus
  2. "*****, aku tau kamu pernah deket sama Atha. Tapi aku minta, kamu bisa ngertiin hubunganku sama dia. Aku sayang Atha. Dan aku nggak akan pernah ngebiarin sesuatu atau seseorang buat dia sedih,"

    entah ni De javu ato bukan....!?!?!?
    kayaknya q prnah alamin tu,ntah q ucapin ato q sms sin. k seseorang!

    BalasHapus
  3. mungkin cuma kejadiannya yang sama..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu

hujatan cinta

teruskan saja menghujatku yang kau hujatkan adalah kebencian yang terbungkus cinta kau tak menyadari bahwa cintamu terlalu dalam tapi memaksakan kau tak bisa memiliki cintaku dan kau hujani aku dengan makian semakin kau menghujatku semakin mereka akan tau siapa yang pantas dicintai dan siapa yang harus mencintai meski sampai mati

Biasa yang Tak Biasa

kita pernah ada di satu waktu yang tak biasa di saat kau berdua dan aku sendiri lalu kita terbiasa dengan yang tak biasa membiasakan menanyakan kabar terbiasa mengingatkan memberi kabar hingga yang tak biasa, menjadi biasa kemudian kita ada di satu sisi yang tak biasa ketika kau merasa memilikiku dan aku menganggap kamu kekasihku entahlah. . . bukankah kita sudah terbiasa dengan yang tak biasa dan membiasakan hal yang tak biasa menjadi biasa ahhh. . . rasanya kita perlu mengisi pikiran kita dengan hal yang biasa karena kita terlampau sering menjalani hubungan,    yang tak biasa agatha tbrm020216