Langsung ke konten utama

Feelings part 2

bisa baca dulu part 1 -nya kalo belom sempet baca

Ardian menarik tanganku lembut dan secara tidak langsung memberitahukan ke orang – orang yang bergerombol, bahwa aku kekasihnya. Aku kaget tapi tak bisa berkata memberikan pembenaran. Kenyataannya memang aku kekasihnya.
Ardian menggandengku dan membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Menuntun langkahku untuk masuk ke ruangannya. Sinta memandangku sinis. Aku berlalu tanpa berbasa – basi dengan sekretaris Ardian, yang notabene sahabat Mila.
“Kenapa lu bilang ke orang – orang,” tanyaku menjurus ke Ardian setelah pintu ruangannya tertutup. Aku duduk di sofa untuk tamu. Ardian mengikuti. Dan duduk di sampingku.
“Cepat atau lambat, mereka juga akan tau kan, gimana hubungan kita. Nggak usah terlalu kamu pikirin ya, Sayang,” dia membalas santai sambil mengusap kepalaku. Aku menyenderkan kepalaku di bahunya. Aku merogoh saku celana, bermaksud mencari ponselku. Tapi aku lupa, tadi aku letakkan di laci meja.
“Seenggaknya, gue siapin mental dulu, buat bilang ke Mas Bayu, bilang ke temen – temen gue. Nggak asal lu ngomong. Dan akibatnya, sekarang gue bakal jadi bahan omongan,” kataku kemudian sambil memainkan dasi merah Ardian.
“Udah deh, Sayang. Biasa aja. Nggak usah ditanggepin juga. Biarin aja mereka ngomongin kita. Yang penting kan kita tau gimana kita,” Ardian masih berusaha tetap santai.
“Elu itu sadar nggak sih siapa elu, dan siapa gue ? Berita kita berantem kemaren pas meeting aja masih anget, sekarang nambah berita kita pacaran. Nggak cuma anget lagi, tapi panas. Gue mau klarifikasi juga mau klarifikasi apa coba ? Toh emang kita pacaran. Ardian. . . gue harus gimana sekarang,” aku panik. Merengek sampai tak sadar menarik dasi Ardian dan membuatnya hampir tercekik. Aku terkekeh melihat muka Ardian. Lalu kembali lagi di pelukannya.
“Terus salah siapa pake acara marah – marah sama gue pas meeting ? Sapa juga yang punya ide buat pura – pura nggak kenal kalo di kantor ? Udah deh, Sayang. Nggak usah terlalu dipikirin juga. Karena udah pada tau, jadi kita nggak usah umpet – umpetan lagi. Iya kan,” balas Ardian sambil melonggarkan ikatan dasinya.
“Tapi gue belom nemu cara buat ngomong sama Mas Bayu, sama anak – anak juga. Gue pasti dikata – katain tar. Gimana kalo gue didiemin sama mereka,” aku kembali dengan kepanikanku. Mas Bayu, Cesil, Riko, dan Andro, mereka bukan sekedar teman. Mereka sahabat. Mereka orang yang bisa mengerti seperti apa aku. Dan selama ini tidak ada satu hal pun yang kami rahasiakan dan kami tutupi.
“Kalo mereka memang tulus temenan sama kamu, mereka pasti kasih kamu kebebasan buat nentuin pilihan hidup kamu, Sayang. Kalo kamu bingung gimana caranya ngomong sama mereka, biar aku yang ngomong. Kamu atur waktu ketemu sama mereka, biar aku nanti jelasin ke mereka. Gimana,” kata Ardian sambil memainkan rambutku.
***
“Hai, Mas Bayu. Selamat pagi,” sapaku sambil memberikan senyuman seperti biasa ke Mas Bayu. Dia juga tersenyum. Pengakuan Ardian di awal minggu ini, sepertinya membawa banyak perubahan di kantor. Tapi tidak dengan Mas Bayu.
“Ehh, Re. . . lu hari ini kayaknya ada schedule meeting di luar kan,” Mas Bayu mendatangiku di meja kerja. Aku hanya mengangguk. “Gue mau donk nitip nasi padang. Pake rendang ya. Sama perkedel juga. Ya, Re. Lu kan baek sama gue,” lanjut Mas Bayu lagi.
“Emang kapan Tere jahat sama Mas Bayu? Tere tuh nggak pernah jahat. Baik hati gini kok,” aku balik bertanya sambil mengikat rambutku.
“Lu itu jahatnya gak bilang sama gue uda jadian sama pak Ardian. Dasar lu yaa. . . Parah banget lu, Re,” Mas Bayu membahas juga tentang hubunganku dengan Ardian, tapi tak terlihat kemarahan di wajahnya. Bahkan dia terlihat turut merasakan kebahagiaanku dan Ardian.
“Maaf, Mas. Bukan Tere bermaksud boong. Tapi emang belom bisa cerita aja sih. Yang lain uda tau,” tanyaku balik.
“Gue sih nggak mau ngasih tau. Itu hak lu buat ngasih tau mereka atau enggak. Itu privacy lu, Re. Dan gue hargain itu. Kita juga udah seminggu nggak ngumpul. Besok yuk. Kayaknya anak – anak juga pada free deh.”
Aku berpikir sejenak, “Emm. . besok ya, Mas ? Oke deh. Mau ngumpul di mana ?”
“Di resto es krim yang lu ceritain aja gimana ? Kita belom pernah kan ke sana ?”
“Ya udah. Tar Tere aja yang ngabarin anak – anak. Ini mau nyelesein laporan dulu abis itu meeting sama Ardian,” balasku sambil memperhatikan Mila melongok ke ruang kerja Mas Bayu. “Tuh. . .  penggemar berat lu dateng, Mas. Mau minta tanda tangan kali, atau mau foto bareng.”
Mas Bayu terkekeh. Membuat Mila mengarahkan pandangan matanya ke arah meja kerjaku. Tatapannya begitu sinis. Sadis. Seperti ingin menerkamku.
“Idih, Mas. Liat deh matanya. Buset dah. Bikin Tere terklepek - klepek. Gak nahan. . . ,” kataku sambil menahan tawa. Mas Bayu makin semangat mengeluarkan tawanya. Mila semakin kesal dan keki. Berlalu di depan mejaku.
“Dasar nggak tau malu. Uda punya pacar masih aja mesra – mesraan sama cowok laen,” kata Mila, pedas. Sambil melirik ke arahku. Mas Bayu lalu mengikuti langkah Mila.
“Mil. . . bisa ngomong bentar,” tanya Mas Bayu yang sudah menghadang langkah Mila.
“Hai, Mas Bayu. Ohh, bisa. Bisa banget. Mau ngomongin apa, Mas,” balas Mila santai dan sedikit terlihat centil.
“Laen kali kalo mau ngebuka mulut, otak lu itu diajarin mikir dulu. Jangan asal ngucap sesuatu yang lu nggak tau. Udah. Gue cuma mau ngomong gitu aja. Terimakasih waktunya,” Mas Bayu membuat Mila mematung menahan malu.
***
“Andro. . . “ aku setengah berteriak saat Andro clingukan mencariku. Dia menelepon setelah sampai di parking area. Dengan senyum mautnya dia berjalan ke arah meja yang sudah aku pesan.
“Yang laen belom dateng,” tanya Andro setelah menempatkan pantatnya di sofa. Dia mengambil buku menu yang masih rapi di meja, bermaksud memesan lebih dulu. “Lu uda pesen, Re,” dia bertanya lagi. Dan aku hanya tersenyum lebar. Andro mengerti maksudku.
Ponselku bergetar. Ardian menelepon. “Iya halo. . . “ sapaku lebih dulu. Ardian ingin menyusul tapi belum bisa memastikan, jam berapa sampai resto. Aku mengiyakan saja. Karena rencana awal memang Ardian ingin ikut, tetapi berhubung masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, dia absen.
“Sapa, Re ? Bayu,” Andro bertanya setelah aku meletakkan kembali ponselku. Aku menggeleng. “Lu sama Bayu gimana, Re ? Masih baek – baek aja kan ?”
“Maksud lu,” aku balik bertanya tak begitu paham dengan pertanyaan Andro. “Gue sama Mas Bayu, ya gitu. Kita baek. Nggak ada apa – apa juga. Kenapa sih ?”
“Bayu belom ngomong sama lu ?”
Aku mengernyitkan dahi. Benar – benar tak paham dengan pertanyaan Andro. Belum sempat bertanya lanjut, Cesil dan Riko nampak riang berjalan menuju meja.
“Sayangku,Tere. Lu kemana aja sih ? Gue kangen banget tauk sama elu. Lu keseringan kerja sih,” cerocos Cesil sambil memelukku. Aku juga merindukan sahabatku ini.
“Bayu belom dateng ya,” tanya Riko ke Andro. “Re, lu telfon deh si Bayu. Biasanya juga dia on time kok. Tumben dia telat,” kata Riko lagi sambil menyulut rokoknya.
Cesil heboh memilih menu. Riko ikut heboh menggoda Cesil yang ketauan flirting sama si mas waiter.
“Kita nggak pernah bisa tau, cinta kita buat siapa,” suara seorang pria membuat Cesil dan Riko menunda pertengkaran. Andro mengkodeku dengan matanya. Aku menoleh, lalu tersenyum.
“Hai. Duduk,” kataku singkat pada pria yang berhasil membuat Andro, Cesil, dan Riko terdiam. “Guys, kenalin, ini Ardian. Ardian, ini temen – temen gue. Andro. Cesil. Riko,” lanjutku saling mengenalkan.
“Halo. Saya Ardian,” Ardian mengenalkan diri dan menyalami mereka bertiga, satu per satu. “Uda pada pesen belom. Es krim di sini enak loh.”
“Adrianus Banyu Sudibyo kan,” Cesil menyebutkan nama lengkap Ardian. Kemudian sejurus menatapku penuh pertanyaan.
“Iya. Benar. Ada yang salah dengan kehadiran saya di sini ?”
“Tere,” Cesil memanggilku seakan ingin menghujamku dengan tatapan tidak percaya.
He is my boyfriend,” aku berkata singkat. Andro tersedak mendadak. Riko mendelik. Hanya Cesil yang terlihat girang. “Gue tau gue salah. Makanya gue ngajakin kalian ngumpul. Please, biar gue jelasin dulu semua, baru kalian komentar.”
“Orang yang lu kata-katain itu, Re ? Yang lu bilang monster itu,” Riko memastikan. Andro masih dengan tatapan tak percaya, seolah meminta penjelasan.
Aku hanya nyengir tanpa dosa dan mengamini pertanyaan Riko dengan anggukan.
“Bayu uda tau,” tanya Andro menyelidik.
“Lebih dulu dia yang tau, ketimbang kalian,” jawabku cepat.
Pesanan kami datang. Tak perlu lama untuk bergegas menikmati es krim pilihan masing – masing. Tetapi Andro masih saja terlihat tidak nyaman dengan pengakuanku tentang Ardian.
“Tere, bisa ngomong bentar,” Andro buka suara. “Berdua,” lanjutnya lagi lalu berdiri dan menjauh. Mengacuhkan Ardian.
Aku melihat ada sesuatu yang disembunyikan Andro. Entah apa itu. Aku melihat Ardian dan menunggu ijinnya. Ardian mengusap kepalaku dan tersenyum. Mempersilahkan.
“Bayu belom bilang sama elu,” Andro mendesakku menjawab. Sedangkan aku sendiri tak begitu paham apa yang dimaksud Andro. “Lu tau kan, Re, Bayu punya perasaan sama elu. Elu juga ngrasa kan sikapnya ke elu itu beda sama kita, sama Cesil, sama temen – temennya yang lain. Lu gak mati rasa kan, Re,” Andro memberondongku dengan pertanyaan yang tak perlu aku jawab. Dan parahnya lu malah pacaran sama Ardian. Elu itu punya perasaan gak sih sebenernya ?”
Entah mengapa Andro begitu menggebu. Seperti tak bisa menerima jika aku memiliki hubungan dengan Ardian. Belum pernah aku melihat Andro, sebegitunya memperjuangkan perasaan mas Bayu. Aku mencoba lebih tenang. Dan mengambil nafas panjang.
“Andro, gue tau, elu uda lama kenal sama mas Bayu. Bahkan lebih lama ketimbang gue. Tapi gue gak paham sama inti kegelisahan lu semenjak gue bilang, Ardian cowok gue. Dari awal gue kenal sama mas Bayu, kita sama – sama sadar kok, kita punya chemistry. Tapi kita nyaman dengan keadaan kita yang kayak gini. Gue menganggap dia uda kayak abang gue sendiri, dia juga cuma menganggap gue sebagai adeknya,” setenang mungkin aku memberi penjelasan ke Andro.
“Adeknya?” Andro bertanya lagi. “Lu yakin Bayu cuma nganggep elu adeknya aja ?”
Aku hanya diam. Dalam hati berharap  mas Bayu segera datang. Masih dengan tenang, aku lalu menjawab,”Setidaknya hubungan seperti itu yang bikin gue sama mas Bayu deket.”
“Elu ada perasaan juga kan, Re sama dia ? Mata lu nggak isa nipu, Re. Tapi sikap lu isa nutupin. Sikap lu ke Bayu pun beda sama sikap lu ke gue ato Riko.”
“Iya. Gue sayang sama mas Bayu. Gue jatuh hati sama dia sejak pertama gue ngliat dia. Gue tertarik untuk bisa masuk ke hatinya sejak pertama gue jalan sama dia. Dan semakin hari gue ngrasa semakin butuh dia buat selalu nemenin gue. Dalam keadaan apa pun. Dalam kondisi apa pun di diri gue. Lu puas sekarang ?” Aku bicara dalam satu tarikan nafas. Suaraku meninggi.
“Kenapa lu nggak jujur sama perasaan lu, Re ? Kenapa lu nggak bilang ke Bayu ?” Andro sedikit lebih tenang. Tak ingin aku terbawa emosi.
“Lu nggak sepenuhnya ngerti perasaan gue. Gue suka sama orang yang juga suka sama gue, karena gue ngingetin dia sama mantannya. Gue jadi nggak yakin. Obsesinya mas Bayu, karena gue, atau justru karena mantannya. Dan lu tau kan, itu menyakitkan. Saat seseorang ngedeketin kita, karena tanpa sengaja, kehadiran kita mengingatkan orang itu pada masa lalunya. Gue nggak bisa kayak gitu. Dan akhirnya, gue hanya menganggap mas Bayu itu abang gue.”
“Gue emang ga sepenuhnya ngerti perasaan lu, Re. Tapi sepertinya lu juga gak begitu paham masa lalu Bayu. Dia ngejaga elu, dia khawatir sama elu, dia mungkin sedikit protektif ke elu, lu tau karena apa ? Karena dia nggak mau kehilangan orang yang dia sayang untuk kedua kalinya. Dia dulu emang cinta mati sama Nadine, semua hal dia lakukan untuk bisa menikahi Nadine. Bahkan dia memilih untuk mandiri. Nyari duit sendiri tanpa bantuan orang tuanya yang tajir abis. Karena pengen buktiin ke Nadine, bahwa dia serius, dan berharap komitmennya sama Nadine, berakhir di pernikahan. Itu pertama kali gue liat Bayu berbeda. Sampai keadaan membuat dia menjadi terpuruk. Nadine kecelakaan dalam perjalanan ingin menemui Bayu. Dan Nadine meninggal setelah dua hari koma akibat kecelakaan itu. Bayu sangat terpukul. Semangat hidupnya hilang. Dia jadi pendiam. Angkuh. Dan dingin terhadap wanita. Tapi keadaan itu sepertinya memudar saat pertama kali gue sama Riko mergoki kalian dulu di mall. Kesedihan Bayu seperti hanyut dalam senyum yang penuh harapan saat deket elu, Re. Pancaran matanya pun terlihat penuh semangat saat dia menceritakan elu, Re. Dia bukan menganggap elu sebagai Nadine, atau pengganti Nadine. Elu tetep jadi Tere. Nggak perlu menjadi orang lain. Karena dia cinta elu karena elu Tere. Bukan karena elu itu orang lain. Semoga ini jadi bahan pertimbangan elu, Re,” Andro menjelaskan dengan sangat tenang. Dan mengakhiri penjelasannya dengan senyum yang ku artikan, bahwa dia ingin aku menjadi pendamping mas Bayu.
“Gue uda sama Ardian. Dan gue yakin, mas Bayu pun merestui hubungan gue. Perasaan bukan buat dimainin kan,” kataku sambil tersenyum dan menggamit lengan Andro. Mengajaknya duduk kembali.
Saat menuju meja, aku melihat Ardian sedang berbicara dengan wajah yang serius dan nampak begitu khawatir. Riko masih menggoda Cesil. Andro langsung mendudukkan tubuhnya di sofa.
“Kenapa ?” aku bertanya setelah Ardian meletakkan ponselnya.
“Andro, saya bisa minta tolong ?” Ardian tak menjawab pertanyaanku tetapi langsung berbicara dengan Andro. Diajaknya Andro sedikit jauh dari meja. Wajah Andro pun ikut terlihat panik dan khawatir.
Saat mereka kembali ke meja, tak ada yang memberi penjelasan saat aku bertanya. Ardian hanya mengambil uang dari dompet lalu meletakkan di meja. Dia berdiri. Pun Andro. Aku ikut berdiri. Dan masih menanyakan, apa yang sebenarnya terjadi.
“Sayang nanti bareng Andro ya. Aku duluan. Sayang tenang aja, gak usa mikir macem-macem,” kata Ardian singkat. Aku semakin tak mengerti. Tapi Ardian berlalu setelah mengecup keningku. Dan mengusap kepalaku lalu memelukku.
Belum sampai Ardian di tempat parkir, aku memaksa Andro memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi. Seketika aku berlari mengejar Ardian. Mas Bayu kecelakaan dalam perjalanan menuju resto. Semua ini salahku.
“Sayang, kamu kenapa ikutan ke sini ? Sayang sama Andro aja,” kata Ardian kaget saat aku ikut masuk mobilnya.
“Gue mau nemenin mas Bayu. Gue mau ada di samping mas Bayu,” kataku terisak. Ardian menggenggam tanganku. Berusaha membuatku tenang. “Gue sayang sama mas Bayu. Gue nggak mau kehilangan mas Bayu,” aku menangis sejadinya. Ardian memacu mobilnya bergegas menuju rumah sakit.

Ara, 010416

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu

hujatan cinta

teruskan saja menghujatku yang kau hujatkan adalah kebencian yang terbungkus cinta kau tak menyadari bahwa cintamu terlalu dalam tapi memaksakan kau tak bisa memiliki cintaku dan kau hujani aku dengan makian semakin kau menghujatku semakin mereka akan tau siapa yang pantas dicintai dan siapa yang harus mencintai meski sampai mati

Biasa yang Tak Biasa

kita pernah ada di satu waktu yang tak biasa di saat kau berdua dan aku sendiri lalu kita terbiasa dengan yang tak biasa membiasakan menanyakan kabar terbiasa mengingatkan memberi kabar hingga yang tak biasa, menjadi biasa kemudian kita ada di satu sisi yang tak biasa ketika kau merasa memilikiku dan aku menganggap kamu kekasihku entahlah. . . bukankah kita sudah terbiasa dengan yang tak biasa dan membiasakan hal yang tak biasa menjadi biasa ahhh. . . rasanya kita perlu mengisi pikiran kita dengan hal yang biasa karena kita terlampau sering menjalani hubungan,    yang tak biasa agatha tbrm020216