bisa baca dulu part 1 -nya kalo belom sempet baca
Ardian menarik tanganku lembut dan secara tidak langsung
memberitahukan ke orang – orang yang bergerombol, bahwa aku kekasihnya. Aku kaget
tapi tak bisa berkata memberikan pembenaran. Kenyataannya memang aku
kekasihnya.
Ardian menggandengku dan membenamkan kepalaku dalam
dekapannya. Menuntun langkahku untuk masuk ke ruangannya. Sinta memandangku
sinis. Aku berlalu tanpa berbasa – basi dengan sekretaris Ardian, yang notabene
sahabat Mila.
“Kenapa lu bilang ke orang – orang,” tanyaku menjurus ke Ardian
setelah pintu ruangannya tertutup. Aku duduk di sofa untuk tamu. Ardian
mengikuti. Dan duduk di sampingku.
“Cepat atau lambat, mereka juga akan tau kan, gimana
hubungan kita. Nggak usah terlalu kamu pikirin ya, Sayang,” dia membalas santai
sambil mengusap kepalaku. Aku menyenderkan kepalaku di bahunya. Aku merogoh
saku celana, bermaksud mencari ponselku. Tapi aku lupa, tadi aku letakkan di
laci meja.
“Seenggaknya, gue siapin mental dulu, buat bilang ke Mas
Bayu, bilang ke temen – temen gue. Nggak asal lu ngomong. Dan akibatnya,
sekarang gue bakal jadi bahan omongan,” kataku kemudian sambil memainkan dasi
merah Ardian.
“Udah deh, Sayang. Biasa aja. Nggak usah ditanggepin juga.
Biarin aja mereka ngomongin kita. Yang penting kan kita tau gimana kita,” Ardian
masih berusaha tetap santai.
“Elu itu sadar nggak sih siapa elu, dan siapa gue ? Berita
kita berantem kemaren pas meeting aja
masih anget, sekarang nambah berita kita pacaran. Nggak cuma anget lagi, tapi
panas. Gue mau klarifikasi juga mau klarifikasi apa coba ? Toh emang kita
pacaran. Ardian. . . gue harus gimana sekarang,” aku panik. Merengek sampai tak
sadar menarik dasi Ardian dan membuatnya hampir tercekik. Aku terkekeh melihat
muka Ardian. Lalu kembali lagi di pelukannya.
“Terus salah siapa pake acara marah – marah sama gue pas meeting ? Sapa juga yang punya ide buat
pura – pura nggak kenal kalo di kantor ? Udah deh, Sayang. Nggak usah terlalu
dipikirin juga. Karena udah pada tau, jadi kita nggak usah umpet – umpetan
lagi. Iya kan,” balas Ardian sambil melonggarkan ikatan dasinya.
“Tapi gue belom nemu cara buat ngomong sama Mas Bayu, sama
anak – anak juga. Gue pasti dikata – katain tar. Gimana kalo gue didiemin sama
mereka,” aku kembali dengan kepanikanku. Mas Bayu, Cesil, Riko, dan Andro,
mereka bukan sekedar teman. Mereka sahabat. Mereka orang yang bisa mengerti
seperti apa aku. Dan selama ini tidak ada satu hal pun yang kami rahasiakan dan
kami tutupi.
“Kalo mereka memang tulus temenan sama kamu, mereka pasti
kasih kamu kebebasan buat nentuin pilihan hidup kamu, Sayang. Kalo kamu bingung
gimana caranya ngomong sama mereka, biar aku yang ngomong. Kamu atur waktu
ketemu sama mereka, biar aku nanti jelasin ke mereka. Gimana,” kata Ardian
sambil memainkan rambutku.
***
“Hai, Mas Bayu. Selamat pagi,” sapaku sambil memberikan
senyuman seperti biasa ke Mas Bayu. Dia juga tersenyum. Pengakuan Ardian di
awal minggu ini, sepertinya membawa banyak perubahan di kantor. Tapi tidak
dengan Mas Bayu.
“Ehh, Re. . . lu hari ini kayaknya ada schedule meeting di luar
kan,” Mas Bayu mendatangiku di meja kerja. Aku hanya mengangguk. “Gue mau donk
nitip nasi padang. Pake rendang ya. Sama perkedel juga. Ya, Re. Lu kan baek
sama gue,” lanjut Mas Bayu lagi.
“Emang kapan Tere jahat sama Mas Bayu? Tere tuh nggak pernah
jahat. Baik hati gini kok,” aku balik bertanya sambil mengikat rambutku.
“Lu itu jahatnya gak bilang sama gue uda jadian sama pak
Ardian. Dasar lu yaa. . . Parah banget lu, Re,” Mas Bayu membahas juga tentang
hubunganku dengan Ardian, tapi tak terlihat kemarahan di wajahnya. Bahkan dia
terlihat turut merasakan kebahagiaanku dan Ardian.
“Maaf, Mas. Bukan Tere bermaksud boong. Tapi emang belom
bisa cerita aja sih. Yang lain uda tau,” tanyaku balik.
“Gue sih nggak mau ngasih tau. Itu hak lu buat ngasih tau
mereka atau enggak. Itu privacy lu,
Re. Dan gue hargain itu. Kita juga udah seminggu nggak ngumpul. Besok yuk.
Kayaknya anak – anak juga pada free
deh.”
Aku berpikir sejenak, “Emm. . besok ya, Mas ? Oke deh. Mau
ngumpul di mana ?”
“Di resto es krim yang lu ceritain aja gimana ? Kita belom
pernah kan ke sana ?”
“Ya udah. Tar Tere aja yang ngabarin anak – anak. Ini mau
nyelesein laporan dulu abis itu meeting
sama Ardian,” balasku sambil memperhatikan Mila melongok ke ruang kerja Mas
Bayu. “Tuh. . . penggemar berat lu
dateng, Mas. Mau minta tanda tangan kali, atau mau foto bareng.”
Mas Bayu terkekeh. Membuat Mila mengarahkan pandangan
matanya ke arah meja kerjaku. Tatapannya begitu sinis. Sadis. Seperti ingin
menerkamku.
“Idih, Mas. Liat deh matanya. Buset dah. Bikin Tere
terklepek - klepek. Gak nahan. . . ,” kataku sambil menahan tawa. Mas Bayu
makin semangat mengeluarkan tawanya. Mila semakin kesal dan keki. Berlalu di
depan mejaku.
“Dasar nggak tau malu. Uda punya pacar masih aja mesra –
mesraan sama cowok laen,” kata Mila, pedas. Sambil melirik ke arahku. Mas Bayu lalu
mengikuti langkah Mila.
“Mil. . . bisa ngomong bentar,” tanya Mas Bayu yang sudah
menghadang langkah Mila.
“Hai, Mas Bayu. Ohh, bisa. Bisa banget. Mau ngomongin apa,
Mas,” balas Mila santai dan sedikit terlihat centil.
“Laen kali kalo mau ngebuka mulut, otak lu itu diajarin
mikir dulu. Jangan asal ngucap sesuatu yang lu nggak tau. Udah. Gue cuma mau
ngomong gitu aja. Terimakasih waktunya,” Mas Bayu membuat Mila mematung menahan
malu.
***
“Andro. . . “ aku setengah berteriak saat Andro clingukan mencariku. Dia menelepon
setelah sampai di parking area.
Dengan senyum mautnya dia berjalan ke arah meja yang sudah aku pesan.
“Yang laen belom dateng,” tanya Andro setelah menempatkan
pantatnya di sofa. Dia mengambil buku menu yang masih rapi di meja, bermaksud
memesan lebih dulu. “Lu uda pesen, Re,” dia bertanya lagi. Dan aku hanya
tersenyum lebar. Andro mengerti maksudku.
Ponselku bergetar. Ardian menelepon. “Iya halo. . . “ sapaku
lebih dulu. Ardian ingin menyusul tapi belum bisa memastikan, jam berapa sampai
resto. Aku mengiyakan saja. Karena rencana awal memang Ardian ingin ikut,
tetapi berhubung masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, dia absen.
“Sapa, Re ? Bayu,” Andro bertanya setelah aku meletakkan
kembali ponselku. Aku menggeleng. “Lu sama Bayu gimana, Re ? Masih baek – baek
aja kan ?”
“Maksud lu,” aku balik bertanya tak begitu paham dengan
pertanyaan Andro. “Gue sama Mas Bayu, ya gitu. Kita baek. Nggak ada apa – apa
juga. Kenapa sih ?”
“Bayu belom ngomong sama lu ?”
Aku mengernyitkan dahi. Benar – benar tak paham dengan
pertanyaan Andro. Belum sempat bertanya lanjut, Cesil dan Riko nampak riang
berjalan menuju meja.
“Sayangku,Tere. Lu kemana aja sih ? Gue kangen banget tauk sama
elu. Lu keseringan kerja sih,” cerocos Cesil sambil memelukku. Aku juga
merindukan sahabatku ini.
“Bayu belom dateng ya,” tanya Riko ke Andro. “Re, lu telfon
deh si Bayu. Biasanya juga dia on time
kok. Tumben dia telat,” kata Riko lagi sambil menyulut rokoknya.
Cesil heboh memilih menu. Riko ikut heboh menggoda Cesil
yang ketauan flirting sama si mas waiter.
“Kita nggak pernah bisa tau, cinta kita buat siapa,” suara
seorang pria membuat Cesil dan Riko menunda pertengkaran. Andro mengkodeku
dengan matanya. Aku menoleh, lalu tersenyum.
“Hai. Duduk,” kataku singkat pada pria yang berhasil membuat
Andro, Cesil, dan Riko terdiam. “Guys, kenalin, ini Ardian. Ardian, ini temen –
temen gue. Andro. Cesil. Riko,” lanjutku saling mengenalkan.
“Halo. Saya Ardian,” Ardian mengenalkan diri dan menyalami
mereka bertiga, satu per satu. “Uda pada pesen belom. Es krim di sini enak
loh.”
“Adrianus Banyu Sudibyo kan,” Cesil menyebutkan nama lengkap
Ardian. Kemudian sejurus menatapku penuh pertanyaan.
“Iya. Benar. Ada yang salah dengan kehadiran saya di sini ?”
“Tere,” Cesil memanggilku seakan ingin menghujamku dengan tatapan
tidak percaya.
“He is my boyfriend,”
aku berkata singkat. Andro tersedak mendadak. Riko mendelik. Hanya Cesil yang
terlihat girang. “Gue tau gue salah. Makanya gue ngajakin kalian ngumpul. Please, biar gue jelasin dulu semua,
baru kalian komentar.”
“Orang yang lu kata-katain itu, Re ? Yang lu bilang monster itu,”
Riko memastikan. Andro masih dengan tatapan tak percaya, seolah meminta
penjelasan.
Aku hanya nyengir tanpa dosa dan mengamini pertanyaan Riko dengan
anggukan.
“Bayu uda tau,” tanya Andro menyelidik.
“Bayu uda tau,” tanya Andro menyelidik.
“Lebih dulu dia yang tau, ketimbang kalian,” jawabku cepat.
Pesanan kami datang. Tak perlu lama untuk bergegas menikmati es
krim pilihan masing – masing. Tetapi Andro masih saja terlihat tidak nyaman
dengan pengakuanku tentang Ardian.
“Tere, bisa ngomong bentar,” Andro buka suara. “Berdua,” lanjutnya
lagi lalu berdiri dan menjauh. Mengacuhkan Ardian.
Aku melihat ada sesuatu yang disembunyikan Andro. Entah apa itu. Aku
melihat Ardian dan menunggu ijinnya. Ardian mengusap kepalaku dan tersenyum.
Mempersilahkan.
“Bayu belom bilang sama elu,” Andro mendesakku menjawab. Sedangkan
aku sendiri tak begitu paham apa yang dimaksud Andro. “Lu tau kan, Re, Bayu punya
perasaan sama elu. Elu juga ngrasa kan sikapnya ke elu itu beda sama kita, sama
Cesil, sama temen – temennya yang lain. Lu gak mati rasa kan, Re,” Andro
memberondongku dengan pertanyaan yang tak perlu aku jawab. Dan parahnya lu
malah pacaran sama Ardian. Elu itu punya perasaan gak sih sebenernya ?”
Entah mengapa Andro begitu menggebu. Seperti tak bisa menerima
jika aku memiliki hubungan dengan Ardian. Belum pernah aku melihat Andro,
sebegitunya memperjuangkan perasaan mas Bayu. Aku mencoba lebih tenang. Dan
mengambil nafas panjang.
“Andro, gue tau, elu uda lama kenal sama mas Bayu. Bahkan lebih
lama ketimbang gue. Tapi gue gak paham sama inti kegelisahan lu semenjak gue
bilang, Ardian cowok gue. Dari awal gue kenal sama mas Bayu, kita sama – sama
sadar kok, kita punya chemistry. Tapi
kita nyaman dengan keadaan kita yang kayak gini. Gue menganggap dia uda kayak
abang gue sendiri, dia juga cuma menganggap gue sebagai adeknya,” setenang
mungkin aku memberi penjelasan ke Andro.
“Adeknya?” Andro bertanya lagi. “Lu yakin Bayu cuma nganggep elu
adeknya aja ?”
Aku hanya diam. Dalam hati berharap mas Bayu segera datang. Masih dengan tenang,
aku lalu menjawab,”Setidaknya hubungan seperti itu yang bikin gue sama mas Bayu
deket.”
“Elu ada perasaan juga kan, Re sama dia ? Mata lu nggak isa nipu,
Re. Tapi sikap lu isa nutupin. Sikap lu ke Bayu pun beda sama sikap lu ke gue
ato Riko.”
“Iya. Gue sayang sama mas Bayu. Gue jatuh hati sama dia sejak
pertama gue ngliat dia. Gue tertarik untuk bisa masuk ke hatinya sejak pertama
gue jalan sama dia. Dan semakin hari gue ngrasa semakin butuh dia buat selalu
nemenin gue. Dalam keadaan apa pun. Dalam kondisi apa pun di diri gue. Lu puas
sekarang ?” Aku bicara dalam satu tarikan nafas. Suaraku meninggi.
“Kenapa lu nggak jujur sama perasaan lu, Re ? Kenapa lu nggak
bilang ke Bayu ?” Andro sedikit lebih tenang. Tak ingin aku terbawa emosi.
“Lu nggak sepenuhnya ngerti perasaan gue. Gue suka sama orang yang
juga suka sama gue, karena gue ngingetin dia sama mantannya. Gue jadi nggak
yakin. Obsesinya mas Bayu, karena gue, atau justru karena mantannya. Dan lu tau
kan, itu menyakitkan. Saat seseorang ngedeketin kita, karena tanpa sengaja,
kehadiran kita mengingatkan orang itu pada masa lalunya. Gue nggak bisa kayak
gitu. Dan akhirnya, gue hanya menganggap mas Bayu itu abang gue.”
“Gue emang ga sepenuhnya ngerti perasaan lu, Re. Tapi sepertinya
lu juga gak begitu paham masa lalu Bayu. Dia ngejaga elu, dia khawatir sama
elu, dia mungkin sedikit protektif ke elu, lu tau karena apa ? Karena dia nggak
mau kehilangan orang yang dia sayang untuk kedua kalinya. Dia dulu emang cinta
mati sama Nadine, semua hal dia lakukan untuk bisa menikahi Nadine. Bahkan dia
memilih untuk mandiri. Nyari duit sendiri tanpa bantuan orang tuanya yang tajir
abis. Karena pengen buktiin ke Nadine, bahwa dia serius, dan berharap komitmennya
sama Nadine, berakhir di pernikahan. Itu pertama kali gue liat Bayu berbeda.
Sampai keadaan membuat dia menjadi terpuruk. Nadine kecelakaan dalam perjalanan
ingin menemui Bayu. Dan Nadine meninggal setelah dua hari koma akibat
kecelakaan itu. Bayu sangat terpukul. Semangat hidupnya hilang. Dia jadi
pendiam. Angkuh. Dan dingin terhadap wanita. Tapi keadaan itu sepertinya
memudar saat pertama kali gue sama Riko mergoki kalian dulu di mall. Kesedihan
Bayu seperti hanyut dalam senyum yang penuh harapan saat deket elu, Re.
Pancaran matanya pun terlihat penuh semangat saat dia menceritakan elu, Re. Dia
bukan menganggap elu sebagai Nadine, atau pengganti Nadine. Elu tetep jadi
Tere. Nggak perlu menjadi orang lain. Karena dia cinta elu karena elu Tere.
Bukan karena elu itu orang lain. Semoga ini jadi bahan pertimbangan elu, Re,”
Andro menjelaskan dengan sangat tenang. Dan mengakhiri penjelasannya dengan
senyum yang ku artikan, bahwa dia ingin aku menjadi pendamping mas Bayu.
“Gue uda sama Ardian. Dan gue yakin, mas Bayu pun merestui
hubungan gue. Perasaan bukan buat dimainin kan,” kataku sambil tersenyum dan
menggamit lengan Andro. Mengajaknya duduk kembali.
Saat menuju meja, aku melihat Ardian sedang berbicara dengan wajah
yang serius dan nampak begitu khawatir. Riko masih menggoda Cesil. Andro
langsung mendudukkan tubuhnya di sofa.
“Kenapa ?” aku bertanya setelah Ardian meletakkan ponselnya.
“Andro, saya bisa minta tolong ?” Ardian tak menjawab pertanyaanku
tetapi langsung berbicara dengan Andro. Diajaknya Andro sedikit jauh dari meja.
Wajah Andro pun ikut terlihat panik dan khawatir.
Saat mereka kembali ke meja, tak ada yang memberi penjelasan saat
aku bertanya. Ardian hanya mengambil uang dari dompet lalu meletakkan di meja.
Dia berdiri. Pun Andro. Aku ikut berdiri. Dan masih menanyakan, apa yang
sebenarnya terjadi.
“Sayang nanti bareng Andro ya. Aku duluan. Sayang tenang aja, gak
usa mikir macem-macem,” kata Ardian singkat. Aku semakin tak mengerti. Tapi
Ardian berlalu setelah mengecup keningku. Dan mengusap kepalaku lalu memelukku.
Belum sampai Ardian di tempat parkir, aku memaksa Andro
memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi. Seketika aku berlari mengejar
Ardian. Mas Bayu kecelakaan dalam perjalanan menuju resto. Semua ini salahku.
“Sayang, kamu kenapa ikutan ke sini ? Sayang sama Andro aja,” kata
Ardian kaget saat aku ikut masuk mobilnya.
“Gue mau nemenin mas Bayu. Gue mau ada di samping mas Bayu,”
kataku terisak. Ardian menggenggam tanganku. Berusaha membuatku tenang. “Gue
sayang sama mas Bayu. Gue nggak mau kehilangan mas Bayu,” aku menangis
sejadinya. Ardian memacu mobilnya bergegas menuju rumah sakit.
Ara, 010416
Komentar
Posting Komentar