Langsung ke konten utama

It's About Love

Don’t ever write another story in a same novel.
Aku membaca tulisan ini sebagai private message seseorang. Agak tergelitik untuk tau lebih detail apa yang ingin dia sampaikan. Dan penjelasannya adalah seperti ini,
Jangan pernah mencintai dan merajut kisah dengan seseorang yang sudah memiliki tambatan hati, walau sebenarnya orang yang kita cintai menerima kita namum belum bisa sepenuhnya.
Banyak pihak yang akan tersakiti.
Bukankah sebuah novel itu akan lebih menarik jika di dalamnya terdapat konflik di antara tokoh-tokohnya. Bukankah novel akan terasa membosankan, jika dari awal kita membaca, sampai cerita berakhir hanya bercerita tentang sesuatu tanpa konflik. Apa menariknya sebuah novel tanpa konflik.
Mencintai adalah hak asasi. Seharusnya tidak ada yang bisa mengatur perasaan kita. Perasaan itu bukan benda mati. Perasaan itu tumbuh. Dan seharusnya bertumbuhnya perasaan itu, dibarengi kesehatan logika. Biasanya, kecepatan tumbuh suatu perasaan bisa mengubah seseorang menjadi tidak berlogika. Itu yang paling parah. Gejala ringan yang dialami mungkin sekedar kehilangan logika sesaat.
Kita tidak pernah bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta. Mungkin saat logika masih normal, kita bisa menentukan siapa yang layak untuk kita cintai. Tapi saat kita telah jatuh cinta, bahkan pada orang yang seharusnya kita tidak jatuh cinta kepadanya, kenormalan logika menjadi tidak normal.
Ketika kita mencintai dan merangkai kisah dengan hati yang telah terikat, ikatannya pasti akan merasa dikecewakan. Atau kita yang mengalah dan merasakan kesakitan, demi bahagianya mereka. Apakah kita tau, hati yang telah terikat itu pun juga merasakan bahagia. Atau dia memaksakan senyumnya untuk menutup ketidakbahagiaannya. Entahlah.
Dan sesungguhnya, cinta itu tak perlu alasan. Pada siapa, untuk siapa, dengan siapa. Kapan pun, di mana pun, meski terpisah antara hidup dan mati. Cinta tidak selamanya berisi bahagia. Kadang terselip kecewa, sakit hati. Begitulah berjalannya. Ada yang bahagia, ada yang kecewa.
Ada yang lebih berarti dari sekedar cinta yang berbalas. Mencintailah tanpa pamrih. Karena di sanalah, ada ketulusan, yang benar-benar tulus.
Ini hanya tulisan dari saya. Yang terispirasi dari seorang lelaki tangguh dan hebat, Paulus Immanuel Rey Sianipar.

Terimakasih untuk setiap detik yang kita lalui.
Meski tak bersama dalam udara yang sama.
Kisahmu, kisahku, dan segala haru biru yang terlewati.
Semoga berujung pada bahagia dan sukacita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

bidadari

mengapa engkau pergi di mana engkau kini ke mana kami mencari peri kecil kami, telah menjadi bidadari tak terasa telah dewasa tapi jangan pernah pergi tinggalkan kami kembalilah bidadari kami engkau kuat, kami tau itu tapi tiada arti engkau sendiri pulanglah bidadari kami menanti di setiap detik berganti buat adekku, etta

coba lupakan kamu!

Suara sepatu yang aku pakai begitu jelas terdengar setiap kali menyentuh lantai. Telinga yang mendengar pasti tau aku sedang berlari. "Tha, dengerin aku dulu," begitu teriak Andre sambil terus berjalan dengan langkah yang cepat meski dia nggak berlari sepertiku. Aku nggak begitu menanggapi kata-katanya. Aku harus menghindar dari dia. "Sampe kapan mau lari? Sampe kapan kamu menghindar dari aku? Sampe kapan kamu mau berbohong sama nurani kamu? Sampe kapan, Tha," teriaknya lagi dan kali ini nggak ada langkah yang memburu. Aku berhenti dari lariku dan membalikkan badanku. "Apa mau kamu," begitu tanyaku dingin. Aku nggak lagi berlari menjauh dari dia tapi kali ini aku menghampiri dia. Mendekatkan jauh yang terbentang antara aku dan dia. "Setelah aku berhenti apa kamu yakin buat ninggalin dia? Apa kamu yakin aku mau ninggalin Aldo," lanjutku lagi masih tetap dingin. Aku merasa semua saraf di tubuhku telah mati. Saat tangan Andre menyentuh wajahku, bahk...

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu