Langsung ke konten utama

Sepanjang Jogja - Semarang

“Lu tau gak sih, Say, gue itu uda lama banget gak ngrasa se-happy ini. Sumpah. Gue bahagiaaa banget. Asli. Thanks ya, Say,” kata Noah sambil memeluk Rahel.
“Sama-sama, No. Kan gue uda janji mau nemenin lu kalo lu maen ke Jogja. Next time kalo ada liburan, maen ke sini lagi,” balas Rahel.
“Iya, tar kalo gue isa ambil libur, gue pasti langsung ngabarin lu. Dan lu kudu wajib nemenin gue jalan-jalan. Oia, kalo lu pas ada tugas ke Surabaya ato pas ada libur, maen ke Surabaya. Kabarin gue, pasti gue temenin,” lanjut Noah sambil mengangkat ransel birunya. Hadiah dari Rahel dua tahun yang lalu. Masih bagus dan terlihat terawat. Karena memang jarang sekali dipakai.
Mereka berdua masih asyik dengan obrolan ringan sambil menunggu bis yang menuju Semarang berangkat.
“Tiket lu udah disiapin kan, No ? Ati-ati nyimpennya, lu kebiasaan teledor sih, suka naruh barang penting seenaknya. Tar pas dibutuhin lu lupa naruhnya,” tanya Rahel yang sibuk dengan tas ranselnya juga.
“Ini di kantong jaket. Udah gue siapin kok. Tenang. Gue sekarang udah gak teledor lagi, Say,” balas Noah. Tangannya bersandar di bahu Rahel. Terlihat manja.
“Heh.. lu jangan telat makan ya. Badan lu kurus tuh. Makan apa susahnya sih? Jangan keforsir gawean. Lu betah amat kalo udah kerja. Gak berubah. Jangan cuma perhatiin kerjaan lu. Perhatiin juga kesehatannya lu. Jangan keseringan begadang. Kalo uda sampe kos itu gak usah mikir gawean, nikmatin hidup lu. Denger gak lu,” tanya Noah yang mengira Rahel lagi bengong.
“Gue denger setiap kata yang lu ucapin. Gue inget semua pesen lu,” balas Rahel tegas tanpa melihat Noah. Senyumnya tersungging tipis. Tapi terlihat angkuh. Matanya menerawang jauh. Seperti tertuju pada satu titik. Masa lalu.
“Maaf. Gue gak cukup mampu buat mempertahankan elu dulu. Gue pengecut. Yang gak berani buat terus mencintai elu,” Noah ikut menerawang.
Rahel tersenyum kecut. Lalu tetap diam. Dan Noah mencari tangan Rahel. Menggenggamnya. Erat.
“Kasih gue kesempatan. Kita mulai dari awal. Lu mau kan?”
“Berapa kali kesempatan yang uda gue kasih ke elu, No. Uda banyak. Tapi lu sia-siain. Kita uda berakhir. Itu kenyataan kita kan, No.”
Di tempat mereka menunggu bus memang sangat ramai. Tapi entah mengapa, mereka merasakan kesunyian yang dahsyat. Saat Rahel diam. Noah pun terdiam.
“Busnya uda dateng. Lu ati-ati ya, No. Inget janji lu yaa. Kalo gue liburan, lu kudu nemenin gue,” kata Rahel yang terlihat riang. Seperti tidak terjadi apa pun sebelumnya. Noah pun juga sudah hapal dengan sikap Rahel.
“Terimakasih sekali lagi, nona manis,” Noah mengecup kening Rahel.
“Gue gak bisa nemenin lu sampe berangkat. Lu take care yaa. . . Kalo udah sampe, kabarin gue. Jangan langsung tidur aja lu,” balas Rahel lalu memeluk Noah sekali lagi. Noah juga mengusap-usap rambut Rahel. “Gue masih berharap masih ada kesempatan buat gue.”
Bye. . .” Rahel melepas pelukannya dan langsung berbalik meninggalkan Noah. Noah memandang kekasih hatinya dulu, menjauh, dan menghilang tersapu keramaian. Lalu dengan kaki yang enggan melangkah, dia menuju bis yang akan membawanya ke Semarang.
Setelah duduk di seat, Noah hanya diam. Memandang keluar jendela. Tidak fokus dengan apa yang dilihat. Sesaat kemudian, matanya sudah terpejam, telinganya sudah terpasang earphone. Hentakan musik mulai menghipnotisnya. Membuatnya nyaman dalam diam tanpa peduli dengan sekitarnya.
“Permisi, Mas. . . ” kata seorang perempuan yang kebetulan seatnya di sebelah Noah. Noah tidak menjawab. Dia asik dengan kesibukannya. Bahkan dia tidak menyadari seseorang telah berada di sampingnya. Yang mungkin akan menjadi teman perjalanannya sepanjang Jogja menuju Semarang.
Matanya sedikit terbuka, ternyata Noah tertidur untuk sesaat. Dia baru menyadari di sebelahnya sudah ada penumpang. Dia tidak menyapa atau pun menoleh. Dia mengambil botol minuman dari dalam tasnya, meneguk sebagian cairan bersoda warna merah. Lalu kembali menyandarkan punggungnya di kursi sambil melirik penumpang di sebelahnya.
“Silahkan persiapkan tiket dan tunjukkan tiket kepada petugas ,” kata seorang pria yang berdiri di depan.
Noah merogoh saku jaketnya. Mengambil tiket yang tadi sudah disiapkan. Namun yang dia temukan hanya tiket masuk ke kebun binatang tempo hari. Kepanikan terlihat. Dia merogoh saku lain di jaketnya. Hanya beberapa lembar uang kertas lusuh.
Noah mengambil ponselnya, dan menghubungi Rahel. Tapi tidak ada jawaban. Petugas yang mengecek tiket semakin dekat dengan tempat duduknya.
“Dua orang, Pak,” kata perempuan di sebelah Noah sambil menyodorkan tiket ke petugas lalu melihat Noah dan mengedipkan mata kanannya.
Damn!”
“Lu masih aja teledor. Gak berubah.”
“Raheeeeeellllllllll. Oh God. . . “
“Harusnya lu bilang makasih sama gue, No. Bukan ngomelin gue,” kata Rahel sambil menunjuk hidung Noah.
Mereka tertawa. Noah mengusap kepala Rahel gemas, dan membimbingnya untuk bersandar di pelukannya. Tawa yang tadi pecah menjadi hening. Yang terdengar hanya degup jantung mereka berdua.
“Aku kangen wangi rambut kamu,” kata Noah kemudian. Dia usap lagi kepala Rahel. Menciumnya dengan lembut.
“Gue ngantuk, No. Gue bobok ya,” Rahel merapatkan badannya ke Noah. Noah tak berkata. Dia ikut menyenderkan kepalanya di kepala Rahel. Mereka tertidur.
Ponsel Rahel berdering. Noah terbangun karena Rahel kaget. Buru-buru Rahel menjawab panggilan.
“Halo, Mas. . .”
Saat Rahel sedang bicara dengan seseorang lewat ponselnya. Ponsel Noah ikut memanggil.
“Iya, Ma. . .”
Mereka berdua seperti memiliki jarak meski pun sedang bersebelahan. Rahel lebih dulu mengakhiri percakapannya dengan seorang lelaki yang meneleponnya. Sesaat kemudian, Noah memasukkan ponselnya ke saku jaket.
“Dari cowok lu yaa,” tanya Noah sambil menyenggol bahu Rahel dengan bahunya. Rahel hanya tersenyum. Malu. Tapi tak enak hati.
“Anak mana ?”
“Nanti gue kenalin. Lu gak langsung balik Surabaya kan ?”
Noah menyandarkan tubuhnya. Lemas. Seperti tak percaya, Rahel begitu cepat melupakannya. Menggantikan posisinya dengan pria lain.
“Jadi lu sengaja ikut cuma buat mau pamer ke gue. Gitu ?”
“Lohh. . . kok lu jadi sensi gitu sih, No. Kita udah gak ada hubungan apa-apa kan, No. Kita uda sama-sama gak punya komitmen. Jadi gue berhak dong mau kemana, mau ngapain, mau deket sama siapa, itu juga hak gue. Lagian lu deketin cewek lain juga gue gak nglarang kan ? Lu cerita lu lagi deketin si A, si B, si C juga gue dengerin cerita lu. Kenapa sekarang lu sewot gue bilang gue deket sama cowok ? Itu nggak fair dong, No.”
“Karena gue masih sayang sama elu, Hel. Gue berusaha buat buka hati gue, tapi gagal. Gue gak akan bisa. Gue sayang elu, Rahel. Gue gak bisa.”
“Noah. . . lu jangan gitu dong. Urusan kita kan uda kelar. Lu juga gak boleh kayak gitu. Lu harus buka hati lu buat cewek laen. Gue yakin kok, ada cewek yang lebih baik dari gue. Dan gue juga yakin, ada cowok laen yang lebih bisa ngerti gue. Mau seperti apa kita berusaha, kita gak akan bisa bareng, No. Kita sama-sama egois. Tapi sudahlah, kita harus bisa move up. Lu lagi kejar karir juga kan, No. Ayo semangat. . .”
Tangan Noah menggenggam erat jemari Rahel. Rahel tak tega melihat lelaki di sampingnya itu. Mata Noah memerah. Basah. Dipeluknya Noah. Noah terisak. Cukup lama Rahel memeluknya. Sampai Noah tertidur. Rahel ikut tertidur juga.
“Semarang. . . Terboyo. . . “ kata seorang petugas mengingatkan penumpang.
“No. . . uda sampe Semarang ini,” kata Rahel sambil mengguncangkan tubuh Noah. Dengan malas, Noah menggeliat. Mengusap matanya. Lalu dengan lesu mengambil ranselnya. Menunggu Rahel membereskan tasnya. Dan keluar dari dalam bis bersama.
“Mana cowok lu,” tanya Noah malas.
“Bentar lagi sampe, No. Sabar yaa, dia lagi kena macet.”
“Bukannya lu suka sama orang yang on time ya ? Selera lu sekarang uda berubah ?”
“Sadis amat sih, lu. Kayak mau ketemu musuh bebuyutan aja.”
“Sadisan mana sih ? Yang ngenalin cowoknya ke mantan ?”
“Noah. . . lu kenapa sih ? Kalo emang gak mau kan lu isa bilang daritadi. Gak usah kayak anak kecil deh. Kalo lu buru-buru, ya udah. Pulang aja sana,” balas Rahel sedikit sewot.
Lalu seorang lelaki berjalan mendekati keduanya. Tingginya hampir sama dengan Noah. Postur tubuhnya juga hampir sama dengan Noah. Mungkin selera Rahel yang tidak terlalu banyak berubah setelah mengakhiri hubungannya dengan Noah.
“Hai. . . Rahel. . . maaf yaa sayang. . . tadi macetnya parah. Udah lama nungguinnya,” lelaki tadi menghampiri Rahel dan mencium kening Rahel.
“Iyaa. . . gak papa kok mas. Lagian ini juga baru sampe.”
“Oia, Yank, aku sekalian mau jemput sepupuku. Katanya juga dari Jogja. Jangan-jangan se-bis sama kamu ?”
“Tante tadi telfon gue. Gue suruh mampir dulu ke rumah sebelum balik Surabaya. Katanya ada titipan buat mama. Makanya elu suruh jemput gue,” kata Noah mengagetkan lelaki tadi. Rahel juga sempat terkejut.
“Hei. . . No. . . lu uda sampe ? Kenapa gak telfon gue,” tanya lelaki tadi. Noah dan Rahel seperti dibungkam. Mereka berdua tak mampu bicara. “Oia, No. . . kenalin nih, cewek gue. Yang sering gue critain ke elu itu. Yang bikin lu penasaran, sapa sih cewek yang bisa bikin gue berubah. Dan sapa sih, cewek yang mau sama gue. Ya ini orangnya. Namanya Rahel. Oia, Hel, ini sepupuku, yang sering aku ceritain ke kamu, yang belom isa juga nglupain mantannya. Katanya masih sayang. Bikin gue penasaran juga sih, kayak apa sih mantannya, sampe bikin sepupu gue yang tadinya playboy isa jadi cinta mati sama cewek. Namanya Noah.”
“Mas. . . sebenernya. . . kita,” Rahel menjelaskan tapi dipotong oleh Noah.
“Jadi ini cewek lu ? Gak salah pilih lu. Kita uda kenal. Ya meski pun baru sepanjang Jogja Semarang. Kita tadi duduknya sebelahan. Trus juga sama-sama turun Semarang. Jadi ya ngobrol-lah kita dari A sampe Z,” Noah berbicara sambil berkaca. Ada sesuatu yang dia tahan. Tapi cuma Rahel yang tau.
“Coba pacarnya bukan elu, uda gue tikung. Untungnya kok elu yang dipilih. Sodara sendiri, Brother, gak enak lah kalo saling nikung. Gue aja lah yang ngalah. . . ,” kata Noah lagi agar tak terkesan kaku.
“Eits. . . saking mempesonanya cewek gue, sampe lu isa langsung lupa mantan lu, No ? Tuh, Yank. . . sodara aku yang katanya susah nglupain mantan, baru kenal sama kamu dan ngobrol dari Jogja sampe Semarang aja, uda naksir kamu. Hahahaa. . . ,” kata lelaki tadi.
Noah terlihat tertawa lepas. Rahel hanya tersenyum kecil. Sedangkan lelaki tadi tak begitu tau, bagaimana hubungan Noah dan Rahel sebelumnya.
“Tetep gak akan mudah, Hel, buat nglupain kamu. Dan sebaiknya kita gak perlu ungkit masa lalu kita ke dia. Biar kita aja yang simpan. Jalani aja hubunganmu sama dia. Aku gak bisa terima, kamu secepet ini menggantikan posisiku. Tapi karena dia sodaraku, jadi mau gak mau, aku yang mundur. Tapi yang harus kamu inget, sekecil apa pun celah yang kelihatan, aku akan masuk. Dan saat itu ada, aku gak peduli, dia siapa,” Noah berbicara pada Rahel saat lelaki tadi memutar balik mobilnya.
“Lepasin aku, No. Kamu berhak buat bahagia. Meski gak sama aku,” balas Rahel sambil menyeka air matanya yang sedari tadi ditahan.
Please, Hel, jangan nangis. Jangan sampe dia tau lu nangis. Gue gak tega liat lu nangis,” balas Noah sambil menyodorkan sapu tangannya. “Lu jaga diri yaa, kalo sampe dia bikin lu nangis, dia ngadepin gue. Uda. . . senyum dulu,” lanjut Noah sebelum masuk mobil lelaki tadi.
“Oke. Siap. Kita let’s go. . . ,” kata lelaki tadi setelah Noah dan Rahel masuk mobil.

Ada jutaan duka di balik senyum Noah. Ada luka yang tersayat di hati Rahel. Tapi yang terlihat di mata lelaki itu, mereka bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu

hujatan cinta

teruskan saja menghujatku yang kau hujatkan adalah kebencian yang terbungkus cinta kau tak menyadari bahwa cintamu terlalu dalam tapi memaksakan kau tak bisa memiliki cintaku dan kau hujani aku dengan makian semakin kau menghujatku semakin mereka akan tau siapa yang pantas dicintai dan siapa yang harus mencintai meski sampai mati

Biasa yang Tak Biasa

kita pernah ada di satu waktu yang tak biasa di saat kau berdua dan aku sendiri lalu kita terbiasa dengan yang tak biasa membiasakan menanyakan kabar terbiasa mengingatkan memberi kabar hingga yang tak biasa, menjadi biasa kemudian kita ada di satu sisi yang tak biasa ketika kau merasa memilikiku dan aku menganggap kamu kekasihku entahlah. . . bukankah kita sudah terbiasa dengan yang tak biasa dan membiasakan hal yang tak biasa menjadi biasa ahhh. . . rasanya kita perlu mengisi pikiran kita dengan hal yang biasa karena kita terlampau sering menjalani hubungan,    yang tak biasa agatha tbrm020216