Langsung ke konten utama

Perempuan Itu Saya

“Sayang, aku lagi liat katalog produk kecantikan nihh,” kataku sambil membolak-balik halaman dan memperhatikan detailnya.
“Terus,” tanya seseorang di seberang telepon.
“Ada promo lipstick nih, Yank. Aku beli yaa,” tanyaku meminta persetujuan. Lalu hening.
“Emang lipstick Sayang uda habis, kok mau beli lagi ?”
“Lagi ? Kan aku uda lama gak beli lipstick, Yank. Lagian yang warna ini tuh bagus, Yank. Lagi ada promo pula. Kan sayang banget kalo sampe keabisan. . . “
“Sekarang punya lipstick berapa ? Masih kurang sampe kudu beli lagi,” nadanya sedikit lebih tinggi. Tapi masih terdengar tidak mengancam.
“Banyak sih, Yank. . . Ada sekitar dua puluhan gitu kayaknya,” jawabku enteng.
“Dua puluh itu masih kurang sampe mau beli lagi. Mau sejam sekali ganti lipstik ?”
“Sayang kok gitu sih, sensi amat. Bilang aja gak boleh. Beres kan ?”
“Kalo dari awal tadi aku bilang gak boleh, apa Sayang gak marah dan langsung nurutin aku ?”
“Ya kan aku belom punya yang warna itu, Yank. . . Boleh yaa. . . “ aku merajuk.
“Terserah Sayang aja.”
***
“Sayang, aku kirim foto di BBM, dibuka yaa,” kataku di seberang telepon.
“Foto apaan, Yank ? Nih aku lagi makan siang,” balasnya singkat.
“Foto jam tangan. Aku mau beli tapi bingung pilih yang mana,”buru-buru mengatakan maksudku.
“Sayang mau beli jam ?”
“Iyaa, aku bosen pake yang kecil. Pengen punya yang rada gedean, Yank. . .”
“Yang coklat bagus, Yank.”
“Ihh. . sama donk pilihan kita. Aku juga suka yang coklat, Yank.”
“Yank, kalo masih ada jam yang dulu, dan masih isa dipake, ngapain beli lagi ?”
“Aku tuh uda bosen pake yang dulu, Yank. . .”
“Ya uda. Kalo emang butuh dan perlu, silahkan beli.”
. . . . .
“Sayang, aku jadi beli jamnya. Yang coklat tadi, satunya yang kalep kulit.”
“Loh, emang beli berapa, Yank ?”
“Dua.”
“Dipake tangan kanan sama kiri ?”
***
“Yank, aku pengen beli baju. . . “ seruku riang.
“Lemari kamu masih ada tempat kosong ?”
“Ihhh. . . kok gitu sih,” aku membalas manja.
“Baju kamu uda banyak, Yank. Lemari juga uda overload gitu. Mau buat apa lagi,” tanyanya halus.
“Banyak tuh kaosnya. Aku kan pengen beli dress, Yank. Biar lebih feminin.”
“Itu kaos yang di lemari dikarungin aja dulu. Baru beli baju baru.”
“Kenapa sih, Yank. Aku kan juga beli sendiri. Gak minta kamu.”
. . . . .
“Jadi beli dressnya ?”
“Jadi.”
“Uda dipake ?”
“Kependekan, Yank.”
“Ya uda gak usa dipake. Pake buat tidur aja!”
***
“Yank, lagi apa ?”
“Lagi tiduran, capek badannya.”
“Sayang, ada tas bagus. Boleh ya beli ?”
“Buat apa lagi, Yank ?”
“Ihh. . . Sayang kok gitu sih, ya buat kalo jalan-jalan lahh. Kan aku gak punya yang kecil.”
“Butuh banget ? Kalo gak beli masih tetep isa jalan-jalan kan ?”
***
“Sayang. . . kamu kan mau ulang tahun. Mau kado apa dari aku ?”
“Enggak.”
“Lohh. . . kok gitu ?”
“Sayang nanti kalo ada rejeki lebih, ditabung aja. Aku gak pengen apa-apa.”
“Ihh. . . Sayang kenapa sih ?”
“Sayang bisa ngatur keuangan, memprioritaskan kebutuhan, bukan beli sesuai keinginan, bisa nabung, dan gak boros, itu uda kado buat aku.”
Hening
***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

bidadari

mengapa engkau pergi di mana engkau kini ke mana kami mencari peri kecil kami, telah menjadi bidadari tak terasa telah dewasa tapi jangan pernah pergi tinggalkan kami kembalilah bidadari kami engkau kuat, kami tau itu tapi tiada arti engkau sendiri pulanglah bidadari kami menanti di setiap detik berganti buat adekku, etta

coba lupakan kamu!

Suara sepatu yang aku pakai begitu jelas terdengar setiap kali menyentuh lantai. Telinga yang mendengar pasti tau aku sedang berlari. "Tha, dengerin aku dulu," begitu teriak Andre sambil terus berjalan dengan langkah yang cepat meski dia nggak berlari sepertiku. Aku nggak begitu menanggapi kata-katanya. Aku harus menghindar dari dia. "Sampe kapan mau lari? Sampe kapan kamu menghindar dari aku? Sampe kapan kamu mau berbohong sama nurani kamu? Sampe kapan, Tha," teriaknya lagi dan kali ini nggak ada langkah yang memburu. Aku berhenti dari lariku dan membalikkan badanku. "Apa mau kamu," begitu tanyaku dingin. Aku nggak lagi berlari menjauh dari dia tapi kali ini aku menghampiri dia. Mendekatkan jauh yang terbentang antara aku dan dia. "Setelah aku berhenti apa kamu yakin buat ninggalin dia? Apa kamu yakin aku mau ninggalin Aldo," lanjutku lagi masih tetap dingin. Aku merasa semua saraf di tubuhku telah mati. Saat tangan Andre menyentuh wajahku, bahk...

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu