Langsung ke konten utama

Melupakan Asa



Dia membawaku dengan Terrano hitamnya. Aku cuek membuka jendela lalu mengeluarkan bungkus rokok yang masih menyisakan beberapa batang.
Hey, not in my car, please,” katanya tanpa menoleh saat aku menyalakan pemantik.
“Mulut gue uda asem,” balasku sambil menghisap rokok mentol yang aku beli dua hari lalu. Masih tersisa tiga batang, terakhir aku lihat setelah mengambilnya sebatang.
Mengapa sekarang kau inginkan ku lagi
Akan kau toreh luka yang kedua kali
Tak mungkin ku bisa lagi menyayangmu
Sementara sakitnya masih membayangi
“Patah hati?” tanyaku memecah diam.
“Sok tau,” jawabnya singkat. Kali ini dia melihatku. Karena kebetulan kita tertahan di lampu merah yang cukup lama. Dan aku mengarahkan asap rokok dari mulutku ke mukanya.
Dia buru-buru memalingkan muka ke arah luar jendela, dan akhirnya membukanya juga.
Terranonya kembali melaju, menuju Semarang atas.
Ponselnya beberapa kali bergetar. Cukup lama. Dan intens. Aku perhatikan setiap dua menit bergetar.
“Gak lu liat dulu sapa yang hubungi ? Sapa tau ada berita penting,” saranku. Aku sedikit khawatir. Karena sudah dua kali dia hampir menabrak kendaraan yang melaju di depan mobilnya.
Dia menyalakan lampu sign kiri. Lalu menepi. Dia hempaskan badannya. Matanya terpejam. Helaan nafasnya penuh beban.
“Hei, hape lu getar lagi. Lu angkat aja dulu. Kalo lu gak jadi ngajak gue, gak papa kok. Tar gue minta jemput temen gue. Ato gue telfon taksi,” jelasku sambil menyodorkan ponselnya.
Dia masih diam. Ponselnya sudah ada di genggaman tangannya. Tapi hanya digenggam saja. Dilihat pun tidak.
“Lu ada janji sampe besok pagi,” tanyanya kemudian. Aku menggeleng. “Temenin gue sampe besok ya?”
Jalanan kembali kita susuri. Memecah kepadatan Sabtu malam. Aku sempat memperhatikan, dia mematikan ponselnya. Setelah itu memang tidak ada lagi getar yang bersumber dari ponsel putih yang sekarang ada di saku kemejanya.
“Aku masih rindu padamu, aku masih sayang padamu, meski kini cintamu bukan aku,” dia bernyanyi. Suaranya merdu, dan terdengar seperti suara hati yang terwakilkan lewat lagu milik Yovie and Nuno.
“Suara lu bagus. Kenapa gak ikut ajang pencarian bakat aja,” tanyaku setelah dia mulai terlihat baik.
“Lu ngehina apa ngejek gue,” balasnya sambil mengusap kepalaku. Dia tersenyum. Lalu kami terdiam lagi.
“Di sini aja ya,” tanyanya tanpa menunggu jawabanku. Sign kiri menyala, dan Terranonya memasuki hotel yang ada di atas Taman Tabanas. “Gue urus check in bentar, lu tunggu aja di sini,” lanjutnya setelah melepas seat belt dan turun dari mobil.
Aku ikut melepas seat belt setelah dia sampai di meja resepsionis. Lalu turun dari mobil, menarik kedua tanganku ke atas. Ahh, rasanya enak sekali.
Warming up,” tiba-tiba dia sudah ada di belakangku.
“Gue kira setan. Kaget gue,” balasku. Aku merentangkan kedua tanganku, dan menghirup udara malam dengan penuh kenikmatan. “Kita itu gak ada apa-apanya ya dibandingin alam semesta. Berasa kecil gue,”lanjutku lagi.
“Gerimis ya,” tanyanya sambil menadahkan tangan kirinya dan mendongakkan kepalanya. “Masuk yuk,” dia menggandengku. Dan aku menurut saja. Dia lalu memindahkan tangan kiri yang tadinya di pundakku menjadi di pinggangku.
“Meyakinkan mereka kalo kita pacaran,” tanyaku spontan. Dia tak menjawab. Tapi tangannya masih bertahan di pinggangku, setidaknya sampai di depan kamar karena dia harus membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, dia mempersilahkan aku untuk masuk duluan. Lalu mengunci pintu. Melepas jaketnya dan menggantung di kapstok di belakang pintu. Aku duduk di bibir ranjang dan melihat dia.
Di wajahnya terlihat banyak beban, tapi dia berusaha menyembunyikan dariku. Aku melepas sepatuku saat dia membuka korden kamar. Aku pun mengikutinya keluar ke balkon. Dan mataku takjub menikmati keindahan Semarang di malam hari. Meski pun langit mendung dan rintik mulai merapat, tapi pemandangan ini sungguh memukauku.
“Kamu suka,” dia bertanya dengan halus. Wajahku tidak bisa berbohong.Aku hanya tersenyum dan mengangguk pasti. “Mau aku foto,” dia bertanya lagi. Aku semakin sumringah. Dan baru ini aku melihatnya tersenyum dengan tulus. Karena melihatku.
“Berdua donk, sini,” aku menariknya setelah dua kali dia mengabadikan gambarku berlatar belakang kota Semarang dengan ponsel putihnya, yang sudah dinyalakan tentunya. Dia menyandarkan tangan kirinya di bahu kiriku. Merapatkan tubuhku. Dan pipi kami nyaris menempel.
“Satu, dua, tii. . . gaa. . .,” dia menghitung dan sepersekian detik, kamera ponselnya sudah menyimpan wajah kami. “Kurang gokil nih gayanya. Ayo foto lagi,” protesnya setelah melihat hasil tangkapan kamera ponselnya.
“Lu aja yang culun, gue sih pasti kece,” aku tak kalah protes.
“Pokoknya foto lagi, yang mesra.”
“Apaan tuh foto mesra, yee, ngarep banget lu.”
“Buat seru-seruan ini. Ayo pose yang keren.”
Dia menghadapkan badanku ke badannya. Kami saling berhadapan. Aku segera menyandarkan siku tangan kananku di besi balkon, dan telapak tanganku menopang dagu serta pipi. Seperti orang melamun tapi mataku seolah menatapnya.
Dia lebih merapatkan lagi tubuhnya. Meletakkan tangan kiriku di pinggang kanannya. Kami sudah berada dalam posisi yang sangat dekat. Tangan kirinya mengangkat daguku, bibirnya jadi semakin dekat dengan wajahku. Aku bahkan bisa merasakan nafasnya.
Dia tampan. Wajahnya terlihat polos. Matanya bersinar. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis. Aku terhipnotis oleh rupawannya. Pemandangan itu harus berakhir karena aku dikejutkan dengan blitz dari ponselnya.
“Wuihh, ini nih baru namanya keren. Dan lu pasti setuju sama gue,” jelasnya sambil menunjukkan hasil pose kami. Memang pose kami seperti sepasang kekasih yang begitu romantis.
“Gue mandi dulu ya, badan gue gerah banget,” kataku sambil melepas jaket dan berlalu masuk kamar. Melempar jaket di ranjang. Melepas jam tanganku dan meletakkan di meja rias. Lalu masuk kamar mandi.
Baru sepuluh menit aku di kamar mandi, sudah mendapat ketukan di pintu kamar mandi. Meski pun aku hampir selesai, tidak aku tanggapi ketukan itu.
“Hei, handuk lu ketinggalan. Lu mau ngeringin badan pake apa ? Gue gak mau niupin,” serunya dari balik pintu. Oh God, aku kelupaan bawa handuk. Buru-buru aku membuka pintu. Tangannya mengulurkan handuk tapi dia memalingkan badannya agar tak melihatku.
“Gue lupa. Makasih ya,” kataku menyambar handuk di tangannya dan langsung menutup kembali pintu kamar mandi. “Lu mau mandi juga gak ? Kalo iya, gue siapin sekalian air panasnya. Mau?” tanyaku memastikan.
“Boleh.”
Aku keluar setelah selesai mandi dan menyiapkan air panas untuknya. Sengaja aku lepas kaosku dan hanya mengenakan tank top hitam. Mengusap rambutku dengan handuk,karena aku keramas. Dan aku menabrak sesuatu karena tidak memperhatikan depanku.
“Sori, gue gak liat. Lu gak papa kan,” tanyaku setelah kami terduduk di lantai karena berbenturan.
“Lu ngelamun ya. Sampe gue yang segede gini lu gak liat. Tiduran dulu gih. Lu kecapekan kayaknya,” dia tidak marah. Setelah dia bangun, dia mengulurkan tangannya untuk menarikku berdiri.
“Airnya uda aku siapin. Sengaja enggak aku penuhin, biar kamu tar nambah sendiri pake air dingin kalo kepanasan.”
“Makasih nona manis. Aku mandi dulu.”
Dadanya bidang. Perempuan yang melihat pasti berebut untuk bisa merasakan pelukannya. Aku membuyarkan lamunanku. Mengambil parfum dalam tasku, lalu menyemprotkan di belakang telinga dan tengkukku.
Aku ambil rokok dan pemantikku lalu mendudukkan diri di kursi balkon. Menikmati tembakau yang terbakar sambil melamun.
“Hei, hape lu getar nih. Mungkin ada telfon,” dia mengagetkanku, membawakan ponselku lalu duduk di kursi kosong yang ada di sebelahku.
Wajahnya terlihat segar. Meski pun beban yang ada tidak hilang tapi menurutku dia sudah lebih tenang. Aku abaikan panggilan di ponselku. Menawarkan rokok untuknya. Sekedar basa basi awalnya. Tapi diambil juga sebatang.
“Gue gak bisa ngrokok,” katanya lugu tapi tidak malu.
“Bhahaahaaa, serius lu ? Masa sih ? Apanya yang susah sih,” suasana yang tadinya hening menjadi hangat karena tawaku. Dia ikut tertawa. Dan obrolan ringan mengalir tanpa skenario. Mulus.
“Laper gak ? Gue laper nih. Pesen makan ya ? Ato mau ke resto aja,” pertanyaannya memberondong.
“Gue lagi males makan. Kalo lu mau ke resto, gue temenin tapi gue gak makan ya,” jawabku sambil berdiri bermaksud mengantarnya ke restoran yang masih satu komplek.
“Ya udah, gue pesen by phone aja,” jawabnya sambil berdiri dan berjalan ke arahku. Lalu memelukku dari belakang. “Please, biarin gue meluk lu. Bentar aja.”
Kepalanya disandarkan di bahu kananku. Leherku merasakan nafasnya. Tangan kanannya melingkar dari pinggang kanan sampai perutku. Tangan kirinya mendekap dadaku dan jemarinya berujung di lengan kananku. Bahkan aku bisa merasakan degup jantungnya. Nafasnya mulai memburu, dekapannya mulai erat.
“Kamu gak papa,” tanyaku setelah aku tau dia terisak.
“Biarin aku rasakan nyaman meluk kamu.”
“Kalo kamu mau, kamu bisa cerita. Mungkin aku bisa jadi pendengar. Atau mungkin, aku bisa kasih saran. Kalo kamu berkenan.”
Dia merenggangkan pelukannya. Membalikkan badanku, menghadap dia. Dan kembali memelukku. Semakin erat. Air matanya menetes di bahuku. Aku hanya diam. Aku tak begitu tau, apa yang harus aku lakukan.
“Lu gak jadi laper,” tanyaku iseng. Tapi yang aku rasakan, pelukannya semakin erat. Aku membalas pelukannya. Kenapa rasanya begitu nyaman ? Kenapa aku merasa tenang ?
“Makasih,” katanya setelah melepas pelukannya dan mencium keningku. Aku hanya bisa diam. Dia lalu menarik lenganku. Menuntun langkahku masuk ke kamar.
Hening.
Aku duduk bersila di tengah ranjang. Dia duduk di bibir ranjang. Membelakangiku. Punggungnya terlihat tegap. Aku mendekatinya. Berlutut. Lalu memeluknya dari belakang. Melingkarkan kedua tanganku di leherku.
Harusnya aku tidak perlu melakukan itu. Tapi ada sesuatu dalam diriku yang memaksa untuk peduli terhadapnya. Untuk memperhatikannya meski sejenak. Meski hanya sampai esok pagi.
“Aku gak mau kehilangan kamu lagi,” kata-kata yang keluar dari mulutnya membuatku agak ragu.
“Lagi?” tanyaku setengah berpikir. Dia lantas membalikkan badan dan memegang tanganku.
“Iya. Untuk  yang kedua kali. Jangan pernah lari dari aku lagi.”
Aku memandangnya penuh tanya. Dan dia sangat tau, banyak pertanyaan yang menggantung di bibirku. Yang bingung, pertanyaan mana dulu yang aku tanyakan.
“Kamu mungkin uda lupa. Tapi mungkin ini bisa mengingatkan,” katanya sambil membuka salah satu folder di ponselnya. Dia menunjukkan sebuah foto. Ada tiga bocah di foto itu. Seorang perempuan dan dua orang laki-laki. Mereka sekitar lima tahunan.
“Ini aku,” terangnya sambil menunjuk laki-laki di foto tadi. Mukanya lucu. Gendut. Aku perhatikan dengan seksama. “Ini kamu,” lanjutnya lagi sambil menunjuk satu-satunya perempuan di foto itu. “Masih gak berubah, tomboy.”
Aku masih bertanya, siapa lelaki yang di foto terlihat menggandeng tangan anak perempuan yang menurutnya itu aku. Tapi belum sampai aku tanyakan, dia seperti mengerti penasaranku.
“Itu Rama,” jawabnya singkat.
“Rama ? Rama. . . ,” aku menggantung penasaranku.
“Iya. Rama yang saat ini mungkin memenuhi relung hati kamu. Tapi percayalah, dia nggak sepenuhnya peduli terhadapmu.”
“Maksud lu,” tanyaku menyelidik. Nadaku meninggi mendengar ada yang menjelekkan Rama di depanku. Setidaknya selama ini, Ramalah yang selalu ada buatku.
“Dia hanya merasa bersalah sama kamu, karena kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Yang bikin kamu kehilangan beberapa ingatan masa kecilmu.Termasuk aku. Kalo kamu pikir dia peduli terhadapmu, coba tanyakan lagi, apakah dia benar-benar tulus peduli terhadapmu. Atau hanya kasian.”
“Kenapa aku harus percaya sama kamu. Aku gak kenal kamu, aku gak tau siapa kamu. Tiba-tiba kamu datang, ngajak aku, dan kita di sini. Dan aku harus denger omong kosongmu itu,” aku belum bisa menerima penjelasannya.
“Vea, kamu dibutakan rasa kasian Rama. Kamu tau apa arti tato di bawah leher belakangmu. RV. Itu Rangga Vea. Bukan Rama Vea.”
“Sok tau!”
“Karena aku juga punya tato seperti itu,” katanya sambil menurunkan sedikit celananya dan menunjukkan tato yang sama yang ada di pinggang kanannya.
Aku seperti dilempar ke beberapa masa silam. Ketika riuh acara ulang tahunku waktu aku berusia lima tahun. Dan berfoto bersama dua orang laki-laki yang dekat denganku. Aku kembali teringat ketika MOS di SMP, aku memukul salah seorang kakak kelas, karena mengataiku bodoh. Dan membuatnya harus menerima lima jahitan di pelipis mata kirinya. Dia Rangga. Iya. Aku ingat.
Lantas aku merasa berada di masa aku masih SMA, waktu Rama dengan konyolnya menyatakan cinta dengan mengibarkan bendera buatannya. Yang membuatnya harus dihukum. Tapi aku menolaknya karena seseorang yang aku sayangi. Dia Rangga.
Dan saat ini memoriku berada pada saat mengejar Rangga. Yang tanpa basa basi atau babibu pergi ke luar negeri. Aku hanya menerima surat dari pembantu rumahnya. Lalu berusaha menyusulnya ke bandara. Di tengah keburu-buruanku itu, aku tidak memperhatikan jalanan. Arghh. . . kepalaku terasa sakit.
“Kamu gak papa, Vea ? Mau aku ambilin minum,” tanya Rangga saat melihat aku memegang kepalaku.
“Kenapa kamu pergi tanpa ada pesan sebelumnya,” tanyaku. Aku menunduk tak melihat wajahnya. Diam juga diam Hening datang sesaat. “Aku tanya sama kamu. Kalo aku nanya itu dijawab. Jangan cuma diem. Kamu punya telinga apa gak,” lanjutku lagi memberondongnya dengan banyak pertanyaan yang tak perlu semuanya juga dijawab.
“Maaf.”
“Kamu jahat, Ga,” aku terisak. Aku memukul-mukul dadanya yang bidang dan tegap. Dia tak membalas, malah menarikku dan menenggelamkanku di dadanya. Memelukku erat. Seperti tak mau melepaskan lagi. Ingatanku yang samar mengingatnya, membuat gerakan refleks untuk turut memeluknya juga.
“Aku gak pernah punya maksud buat ninggalin kamu V,” jelasnya memanggil namaku dengan panggilan kesayangannya. Meski satu huruf saja, tapi dia mengucapkannya dengan bunyi Vi.
Aku melepas pelukanku, pun dia. Lalu kami saling berpandangan. Saling menikmati wajah orang di depan kami.
“Kamu sudah keliatan mapan. Sudah tidak seperti anak kecil lagi. Yang manja, selalu mau menang sendiri. Kamu. . . lebih tampan,” kataku dengan sedikit jeda.
“Kamu semakin liar, V. Kenapa harus jadi seperti ini ? Apa yang bikin kamu memilih jalan suram ini,” tanyanya to the point. Membuat aku tercekat. Aku diam. “Ikut aku, V. Kita mulai semua dari awal. Kita bangun bersama masa depan kita,” lanjutnya lagi.
“Kenapa kamu ninggalin aku.”
“Opa meninggal, aku gak sempet kasih kabar ke kamu. . . tapi. . .”
“Kenapa harus selama ini, Ga. Kenapa harus aku yang lupa sama kamu. Kenapa bukan kamu yang lupa sama aku. . . ,” aku semakin meradang.
Plakk
Dia menamparku. Aku diam. Tak bergerak. Tak berkata. Dan dia, menghela nafasnya.
“Aku dijodohin.”
Aku masih diam. Tamparannya memang tak sekeras tamparan Rama, tapi rasa sakitnya begitu berlipat.
“Baguslah. Kamu punya masa depan jelas. Harusnya kamu tadi gak perlu repot untuk sekedar bikin aku sadar. Bukankah itu lebih menyakitkan buatku. Atau kamu memang sengaja mengingatkanku akan diri kamu, lalu memberitahuku bahwa kamu sudah berpendamping. Hanya sekedar untuk itukah niatmu, Ga. Kalo kamu pikir aku kenapa-napa, aku jelaskan ke kamu, aku gak kenapa-napa, kalo kamu pikir aku baik-baik saja, aku beritau kamu, aku tidak cukup baik dengan malam ini. Aku masih terlalu terkejut dengan kehadiran kamu yang membawa aku pulang pada memori kita dulu, tapi aku lebih terkejut dengan pengumumanmu telah dijodohkan. Baiklah. Anggap saja, ini malam kesenanganmu. Jangan pedulikan kesedihanku. Jangan anggap bahwa aku bagian dari hidupmu. Urusan kita, biar kita selesaikan di luar jam kerjaku. Aku ingatkan, aku di sini hanya seorang pelacur yang menemanimu. Entah sengaja atau tidak kamu memilih aku, aku tak perlu tau itu.”
Dia berdiri dan berjalan ke balkon. Aku biarkan semenit, dua menit dia di sana. Lalu aku menyusulnya. Dia menyenderkan kepalanya, matanya memejam. Dan aku dapat melihat dengan jelas dari rautnya, dia sangat kecewa.
“Aku gak pernah bisa buka hati buat perempuan mana pun, V. Cuma kamu. Dan hanya akan ada kamu. Selamanya,” dia berkata tanpa membuka mata. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dan dengan lembut, menyentuh bibirnya dengan bibirku. Sejenak, dua jenak, dan dia membuka matanya. Memelukku yang sudah menangis tanpa suara di depan matanya.
“Jangan tinggalin aku, V. Aku mohon,” katanya parau saat memelukku. Pelukannya begitu nyaman. Apakah dulu juga senyaman ini ?
“Bukan aku yang pergi, Ga. Tapi kamu yang ninggalin aku. Sepertinya kita memang harus menyudahi perasaan ini. Aku sungguh-sungguh tak mau melihat ke belakang lagi. Aku harusnya melihat ke depan. Ada Rama yang jaga aku. Meski pun menurut kamu, dia hanya kasian dan merasa bersalah karena telah menabrakku. Aku seneng bisa ketemu lagi sama kamu. Sungguh aku sangat terharu. Tapi aku mohon, biarkan masa lalu kita menjadi bagian dari hidup kita. Kita hidup untuk masa depan. Bukan untuk menangisi masa lalu. Lepasin aku, Ga,” kataku sambil terisak. Dan masih nyaman dalam pelukannya. Dia memelukku lebih erat. Air matanya menetes di badanku.
“Aku gak peduli seperti apa kamu sekarang, V. Kamu tetap Vea-ku. Tetap menjadi bunga liarku. Dan kamu tujuan hidupku, V. Aku pulang. Aku kembali untuk kamu. Dan memperbaiki semuanya, kita mulai dari awal.”
“Inilah awal kita, Rangga. Kita hanya sebatas pelacur dan pelanggan. Saat ini tak lebih dari itu. Meski sebelumnya banyak kisah yang kita lalui, tapi inilah kita sekarang. Jangan menyalahkan siapa pun, apa pun, atas apa yang terjadi dengan kita. Nikmati perjodohanmu, mungkin dia memang lebih baik segalanya dari aku. Dan semoga, dia bisa mengimbangi dirimu,” pelukannya terlepas. Ditatapnya mataku lekat. Seperti mencari kebenaran atas ucapanku. “Jangan lihat aku seperti itu, pandanganmu seolah tak percaya atas ucapanku tadi,” lanjutku. Kami hanya saling beradu pandang.
Aku senang, mata coklat itu akhirnya kembali. Dan menemukanku. Meski pun dalam keadaanku yang seperti ini. Sebagai seorang pelacur yang lupa pada kepingan masa lalunya. Yang dulu pernah sangat menyayanginya, dan berjuang agar bisa terus bersama dengannya. Tapi dia kembali untuk mengingatkanku akan masa lalu yang tak mungkin dilalui lagi. Dan dia ikut mengabarkan perjodohannya.
Entahlah. Aku sedikit ingat perjuangan kita dulu untuk bisa mendapat restu. Aku dulu, sepertinya tak selemah ini. Yang begitu saja menerima keadaan bahwa dia telah berdua. Saat ini mungkin belum, tapi sesaat nanti, cepat atau lambat, akan ada berita tentang pernikahannya.
Dia salah satu direksi di perusahaan keluarganya, yang saat ini benar-benar sedang jaya. Wajar saja jika pernikahannya akan menjadi berita hangat di dunia bisnis.
Dan di sinilah aku saat ini. Di rumah kontrakan kecil yang aku sewa. Aku membaca sebuah undangan pernikahan yang menuliskan nama Rangga sebagai pengantin pria.
Setelah pertemuan kita dulu, aku memilih untuk tidak memasuki kehidupannya lagi. Aku memilih untuk tidak terlalu dalam mengingat masa laluku. Dan masa lalu kami. Aku punya Rama, yang meski hanya kasian padaku,tapi dia tulus. Menerima apa pun keadaanku. Mengguncang kesepian hatiku dengan semua tingkahnya yang selalu membuatku tertawa, menikmati masa sekarang.
Rangga memang pernah menjadi bagian dalam tujuan hidupku. Tapi, itu dulu. Sekarang, yang aku perjuangkan adalah Rama. Rama yang sebenarnya adik angkat Rangga. Rama yang memilih berjuang dengan kaki dan tangannya untuk tetap hidup. Rama yang memang dari awal mencintaiku. Rama yang akan menjadi pendamping dan penjagaku.
Mengapa hidupku begitu drama. Tuhan, jika aku boleh minta, biarkan aku lupa pada beberapa bagian masa laluku bersama Rangga. Karena ini akan menyiksaku saat aku bersama Rama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu

hujatan cinta

teruskan saja menghujatku yang kau hujatkan adalah kebencian yang terbungkus cinta kau tak menyadari bahwa cintamu terlalu dalam tapi memaksakan kau tak bisa memiliki cintaku dan kau hujani aku dengan makian semakin kau menghujatku semakin mereka akan tau siapa yang pantas dicintai dan siapa yang harus mencintai meski sampai mati

Biasa yang Tak Biasa

kita pernah ada di satu waktu yang tak biasa di saat kau berdua dan aku sendiri lalu kita terbiasa dengan yang tak biasa membiasakan menanyakan kabar terbiasa mengingatkan memberi kabar hingga yang tak biasa, menjadi biasa kemudian kita ada di satu sisi yang tak biasa ketika kau merasa memilikiku dan aku menganggap kamu kekasihku entahlah. . . bukankah kita sudah terbiasa dengan yang tak biasa dan membiasakan hal yang tak biasa menjadi biasa ahhh. . . rasanya kita perlu mengisi pikiran kita dengan hal yang biasa karena kita terlampau sering menjalani hubungan,    yang tak biasa agatha tbrm020216