Dia membawaku dengan Terrano hitamnya. Aku cuek
membuka jendela lalu mengeluarkan bungkus rokok yang masih menyisakan beberapa
batang.
“Hey, not in
my car, please,” katanya tanpa menoleh saat aku menyalakan pemantik.
“Mulut gue uda asem,” balasku sambil menghisap rokok
mentol yang aku beli dua hari lalu. Masih tersisa tiga batang, terakhir aku
lihat setelah mengambilnya sebatang.
Mengapa
sekarang kau inginkan ku lagi
Akan
kau toreh luka yang kedua kali
Tak
mungkin ku bisa lagi menyayangmu
Sementara
sakitnya masih membayangi
“Patah hati?” tanyaku memecah diam.
“Sok tau,” jawabnya singkat. Kali ini dia melihatku.
Karena kebetulan kita tertahan di lampu merah yang cukup lama. Dan aku
mengarahkan asap rokok dari mulutku ke mukanya.
Dia buru-buru memalingkan muka ke arah luar jendela,
dan akhirnya membukanya juga.
Terranonya kembali melaju, menuju Semarang atas.
Ponselnya beberapa kali bergetar. Cukup lama. Dan
intens. Aku perhatikan setiap dua menit bergetar.
“Gak lu liat dulu sapa yang hubungi ? Sapa tau ada berita
penting,” saranku. Aku sedikit khawatir. Karena sudah dua kali dia hampir
menabrak kendaraan yang melaju di depan mobilnya.
Dia menyalakan lampu sign kiri. Lalu menepi. Dia hempaskan badannya. Matanya terpejam.
Helaan nafasnya penuh beban.
“Hei, hape lu getar lagi. Lu angkat aja dulu. Kalo
lu gak jadi ngajak gue, gak papa kok. Tar gue minta jemput temen gue. Ato gue
telfon taksi,” jelasku sambil menyodorkan ponselnya.
Dia masih diam. Ponselnya sudah ada di genggaman
tangannya. Tapi hanya digenggam saja. Dilihat pun tidak.
“Lu ada janji sampe besok pagi,” tanyanya kemudian.
Aku menggeleng. “Temenin gue sampe besok ya?”
Jalanan kembali kita susuri. Memecah kepadatan Sabtu
malam. Aku sempat memperhatikan, dia mematikan ponselnya. Setelah itu memang
tidak ada lagi getar yang bersumber dari ponsel putih yang sekarang ada di saku
kemejanya.
“Aku masih rindu padamu, aku masih sayang padamu,
meski kini cintamu bukan aku,” dia bernyanyi. Suaranya merdu, dan terdengar
seperti suara hati yang terwakilkan lewat lagu milik Yovie and Nuno.
“Suara lu bagus. Kenapa gak ikut ajang pencarian
bakat aja,” tanyaku setelah dia mulai terlihat baik.
“Lu ngehina apa ngejek gue,” balasnya sambil
mengusap kepalaku. Dia tersenyum. Lalu kami terdiam lagi.
“Di sini aja ya,” tanyanya tanpa menunggu jawabanku.
Sign kiri menyala, dan Terranonya
memasuki hotel yang ada di atas Taman Tabanas. “Gue urus check in bentar, lu tunggu aja di sini,” lanjutnya setelah melepas seat belt dan turun dari mobil.
Aku ikut melepas seat
belt setelah dia sampai di meja resepsionis. Lalu turun dari mobil, menarik
kedua tanganku ke atas. Ahh, rasanya enak sekali.
“Warming up,”
tiba-tiba dia sudah ada di belakangku.
“Gue kira setan. Kaget gue,” balasku. Aku
merentangkan kedua tanganku, dan menghirup udara malam dengan penuh kenikmatan.
“Kita itu gak ada apa-apanya ya dibandingin alam semesta. Berasa kecil
gue,”lanjutku lagi.
“Gerimis ya,” tanyanya sambil menadahkan tangan
kirinya dan mendongakkan kepalanya. “Masuk yuk,” dia menggandengku. Dan aku
menurut saja. Dia lalu memindahkan tangan kiri yang tadinya di pundakku menjadi
di pinggangku.
“Meyakinkan mereka kalo kita pacaran,” tanyaku
spontan. Dia tak menjawab. Tapi tangannya masih bertahan di pinggangku,
setidaknya sampai di depan kamar karena dia harus membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, dia mempersilahkan aku untuk
masuk duluan. Lalu mengunci pintu. Melepas jaketnya dan menggantung di kapstok
di belakang pintu. Aku duduk di bibir ranjang dan melihat dia.
Di wajahnya terlihat banyak beban, tapi dia berusaha
menyembunyikan dariku. Aku melepas sepatuku saat dia membuka korden kamar. Aku
pun mengikutinya keluar ke balkon. Dan mataku takjub menikmati keindahan
Semarang di malam hari. Meski pun langit mendung dan rintik mulai merapat, tapi
pemandangan ini sungguh memukauku.
“Kamu suka,” dia bertanya dengan halus. Wajahku
tidak bisa berbohong.Aku hanya tersenyum dan mengangguk pasti. “Mau aku foto,”
dia bertanya lagi. Aku semakin sumringah. Dan baru ini aku melihatnya tersenyum
dengan tulus. Karena melihatku.
“Berdua donk, sini,” aku menariknya setelah dua kali
dia mengabadikan gambarku berlatar belakang kota Semarang dengan ponsel
putihnya, yang sudah dinyalakan tentunya. Dia menyandarkan tangan kirinya di bahu
kiriku. Merapatkan tubuhku. Dan pipi kami nyaris menempel.
“Satu, dua, tii. . . gaa. . .,” dia menghitung dan
sepersekian detik, kamera ponselnya sudah menyimpan wajah kami. “Kurang gokil
nih gayanya. Ayo foto lagi,” protesnya setelah melihat hasil tangkapan kamera
ponselnya.
“Lu aja yang culun, gue sih pasti kece,” aku tak
kalah protes.
“Pokoknya foto lagi, yang mesra.”
“Apaan tuh foto mesra, yee, ngarep banget lu.”
“Buat seru-seruan ini. Ayo pose yang keren.”
Dia menghadapkan badanku ke badannya. Kami saling
berhadapan. Aku segera menyandarkan siku tangan kananku di besi balkon, dan
telapak tanganku menopang dagu serta pipi. Seperti orang melamun tapi mataku
seolah menatapnya.
Dia lebih merapatkan lagi tubuhnya. Meletakkan
tangan kiriku di pinggang kanannya. Kami sudah berada dalam posisi yang sangat
dekat. Tangan kirinya mengangkat daguku, bibirnya jadi semakin dekat dengan
wajahku. Aku bahkan bisa merasakan nafasnya.
Dia tampan. Wajahnya terlihat polos. Matanya
bersinar. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis. Aku terhipnotis oleh rupawannya.
Pemandangan itu harus berakhir karena aku dikejutkan dengan blitz dari ponselnya.
“Wuihh, ini nih baru namanya keren. Dan lu pasti
setuju sama gue,” jelasnya sambil menunjukkan hasil pose kami. Memang pose kami
seperti sepasang kekasih yang begitu romantis.
“Gue mandi dulu ya, badan gue gerah banget,” kataku
sambil melepas jaket dan berlalu masuk kamar. Melempar jaket di ranjang.
Melepas jam tanganku dan meletakkan di meja rias. Lalu masuk kamar mandi.
Baru sepuluh menit aku di kamar mandi, sudah
mendapat ketukan di pintu kamar mandi. Meski pun aku hampir selesai, tidak aku
tanggapi ketukan itu.
“Hei, handuk lu ketinggalan. Lu mau ngeringin badan
pake apa ? Gue gak mau niupin,” serunya dari balik pintu. Oh God, aku kelupaan bawa handuk. Buru-buru
aku membuka pintu. Tangannya mengulurkan handuk tapi dia memalingkan badannya
agar tak melihatku.
“Gue lupa. Makasih ya,” kataku menyambar handuk di
tangannya dan langsung menutup kembali pintu kamar mandi. “Lu mau mandi juga
gak ? Kalo iya, gue siapin sekalian air panasnya. Mau?” tanyaku memastikan.
“Boleh.”
Aku keluar setelah selesai mandi dan menyiapkan air
panas untuknya. Sengaja aku lepas kaosku dan hanya mengenakan tank top hitam.
Mengusap rambutku dengan handuk,karena aku keramas. Dan aku menabrak sesuatu
karena tidak memperhatikan depanku.
“Sori, gue gak liat. Lu gak papa kan,” tanyaku
setelah kami terduduk di lantai karena berbenturan.
“Lu ngelamun ya. Sampe gue yang segede gini lu gak
liat. Tiduran dulu gih. Lu kecapekan kayaknya,” dia tidak marah. Setelah dia
bangun, dia mengulurkan tangannya untuk menarikku berdiri.
“Airnya uda aku siapin. Sengaja enggak aku penuhin,
biar kamu tar nambah sendiri pake air dingin kalo kepanasan.”
“Makasih nona manis. Aku mandi dulu.”
Dadanya bidang. Perempuan yang melihat pasti berebut
untuk bisa merasakan pelukannya. Aku membuyarkan lamunanku. Mengambil parfum
dalam tasku, lalu menyemprotkan di belakang telinga dan tengkukku.
Aku ambil rokok dan pemantikku lalu mendudukkan diri
di kursi balkon. Menikmati tembakau yang terbakar sambil melamun.
“Hei, hape lu getar nih. Mungkin ada telfon,” dia
mengagetkanku, membawakan ponselku lalu duduk di kursi kosong yang ada di
sebelahku.
Wajahnya terlihat segar. Meski pun beban yang ada
tidak hilang tapi menurutku dia sudah lebih tenang. Aku abaikan panggilan di
ponselku. Menawarkan rokok untuknya. Sekedar basa basi awalnya. Tapi diambil
juga sebatang.
“Gue gak bisa ngrokok,” katanya lugu tapi tidak
malu.
“Bhahaahaaa, serius lu ? Masa sih ? Apanya yang susah
sih,” suasana yang tadinya hening menjadi hangat karena tawaku. Dia ikut
tertawa. Dan obrolan ringan mengalir tanpa skenario. Mulus.
“Laper gak ? Gue laper nih. Pesen makan ya ? Ato mau
ke resto aja,” pertanyaannya memberondong.
“Gue lagi males makan. Kalo lu mau ke resto, gue
temenin tapi gue gak makan ya,” jawabku sambil berdiri bermaksud mengantarnya
ke restoran yang masih satu komplek.
“Ya udah, gue pesen by phone aja,” jawabnya sambil berdiri dan berjalan ke arahku. Lalu
memelukku dari belakang. “Please,
biarin gue meluk lu. Bentar aja.”
Kepalanya disandarkan di bahu kananku. Leherku
merasakan nafasnya. Tangan kanannya melingkar dari pinggang kanan sampai
perutku. Tangan kirinya mendekap dadaku dan jemarinya berujung di lengan
kananku. Bahkan aku bisa merasakan degup jantungnya. Nafasnya mulai memburu,
dekapannya mulai erat.
“Kamu gak papa,” tanyaku setelah aku tau dia
terisak.
“Biarin aku rasakan nyaman meluk kamu.”
“Kalo kamu mau, kamu bisa cerita. Mungkin aku bisa
jadi pendengar. Atau mungkin, aku bisa kasih saran. Kalo kamu berkenan.”
Dia merenggangkan pelukannya. Membalikkan badanku,
menghadap dia. Dan kembali memelukku. Semakin erat. Air matanya menetes di
bahuku. Aku hanya diam. Aku tak begitu tau, apa yang harus aku lakukan.
“Lu gak jadi laper,” tanyaku iseng. Tapi yang aku
rasakan, pelukannya semakin erat. Aku membalas pelukannya. Kenapa rasanya
begitu nyaman ? Kenapa aku merasa tenang ?
“Makasih,” katanya setelah melepas pelukannya dan
mencium keningku. Aku hanya bisa diam. Dia lalu menarik lenganku. Menuntun
langkahku masuk ke kamar.
Hening.
Aku duduk bersila di tengah ranjang. Dia duduk di
bibir ranjang. Membelakangiku. Punggungnya terlihat tegap. Aku mendekatinya. Berlutut.
Lalu memeluknya dari belakang. Melingkarkan kedua tanganku di leherku.
Harusnya aku tidak perlu melakukan itu. Tapi ada
sesuatu dalam diriku yang memaksa untuk peduli terhadapnya. Untuk
memperhatikannya meski sejenak. Meski hanya sampai esok pagi.
“Aku gak mau kehilangan kamu lagi,” kata-kata yang
keluar dari mulutnya membuatku agak ragu.
“Lagi?” tanyaku setengah berpikir. Dia lantas
membalikkan badan dan memegang tanganku.
“Iya. Untuk
yang kedua kali. Jangan pernah lari dari aku lagi.”
Aku memandangnya penuh tanya. Dan dia sangat tau,
banyak pertanyaan yang menggantung di bibirku. Yang bingung, pertanyaan mana
dulu yang aku tanyakan.
“Kamu mungkin uda lupa. Tapi mungkin ini bisa
mengingatkan,” katanya sambil membuka salah satu folder di ponselnya. Dia
menunjukkan sebuah foto. Ada tiga bocah di foto itu. Seorang perempuan dan dua
orang laki-laki. Mereka sekitar lima tahunan.
“Ini aku,” terangnya sambil menunjuk laki-laki di
foto tadi. Mukanya lucu. Gendut. Aku perhatikan dengan seksama. “Ini kamu,”
lanjutnya lagi sambil menunjuk satu-satunya perempuan di foto itu. “Masih gak
berubah, tomboy.”
Aku masih bertanya, siapa lelaki yang di foto
terlihat menggandeng tangan anak perempuan yang menurutnya itu aku. Tapi belum
sampai aku tanyakan, dia seperti mengerti penasaranku.
“Itu Rama,” jawabnya singkat.
“Rama ? Rama. . . ,” aku menggantung penasaranku.
“Iya. Rama yang saat ini mungkin memenuhi relung
hati kamu. Tapi percayalah, dia nggak sepenuhnya peduli terhadapmu.”
“Maksud lu,” tanyaku menyelidik. Nadaku meninggi
mendengar ada yang menjelekkan Rama di depanku. Setidaknya selama ini, Ramalah
yang selalu ada buatku.
“Dia hanya merasa bersalah sama kamu, karena
kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Yang bikin kamu kehilangan beberapa
ingatan masa kecilmu.Termasuk aku. Kalo kamu pikir dia peduli terhadapmu, coba
tanyakan lagi, apakah dia benar-benar tulus peduli terhadapmu. Atau hanya
kasian.”
“Kenapa aku harus percaya sama kamu. Aku gak kenal
kamu, aku gak tau siapa kamu. Tiba-tiba kamu datang, ngajak aku, dan kita di
sini. Dan aku harus denger omong kosongmu itu,” aku belum bisa menerima
penjelasannya.
“Vea, kamu dibutakan rasa kasian Rama. Kamu tau apa
arti tato di bawah leher belakangmu. RV. Itu Rangga Vea. Bukan Rama Vea.”
“Sok tau!”
“Karena aku juga punya tato seperti itu,” katanya
sambil menurunkan sedikit celananya dan menunjukkan tato yang sama yang ada di pinggang
kanannya.
Aku seperti dilempar ke beberapa masa silam. Ketika
riuh acara ulang tahunku waktu aku berusia lima tahun. Dan berfoto bersama dua
orang laki-laki yang dekat denganku. Aku kembali teringat ketika MOS di SMP,
aku memukul salah seorang kakak kelas, karena mengataiku bodoh. Dan membuatnya
harus menerima lima jahitan di pelipis mata kirinya. Dia Rangga. Iya. Aku
ingat.
Lantas aku merasa berada di masa aku masih SMA,
waktu Rama dengan konyolnya menyatakan cinta dengan mengibarkan bendera
buatannya. Yang membuatnya harus dihukum. Tapi aku menolaknya karena seseorang
yang aku sayangi. Dia Rangga.
Dan saat ini memoriku berada pada saat mengejar
Rangga. Yang tanpa basa basi atau babibu pergi ke luar negeri. Aku hanya
menerima surat dari pembantu rumahnya. Lalu berusaha menyusulnya ke bandara. Di
tengah keburu-buruanku itu, aku tidak memperhatikan jalanan. Arghh. . .
kepalaku terasa sakit.
“Kamu gak papa, Vea ? Mau aku ambilin minum,” tanya
Rangga saat melihat aku memegang kepalaku.
“Kenapa kamu pergi tanpa ada pesan sebelumnya,”
tanyaku. Aku menunduk tak melihat wajahnya. Diam juga diam Hening datang
sesaat. “Aku tanya sama kamu. Kalo aku nanya itu dijawab. Jangan cuma diem.
Kamu punya telinga apa gak,” lanjutku lagi memberondongnya dengan banyak
pertanyaan yang tak perlu semuanya juga dijawab.
“Maaf.”
“Kamu jahat, Ga,” aku terisak. Aku memukul-mukul
dadanya yang bidang dan tegap. Dia tak membalas, malah menarikku dan
menenggelamkanku di dadanya. Memelukku erat. Seperti tak mau melepaskan lagi. Ingatanku
yang samar mengingatnya, membuat gerakan refleks untuk turut memeluknya juga.
“Aku gak pernah punya maksud buat ninggalin kamu V,”
jelasnya memanggil namaku dengan panggilan kesayangannya. Meski satu huruf
saja, tapi dia mengucapkannya dengan bunyi Vi.
Aku melepas pelukanku, pun dia. Lalu kami saling
berpandangan. Saling menikmati wajah orang di depan kami.
“Kamu sudah keliatan mapan. Sudah tidak seperti anak
kecil lagi. Yang manja, selalu mau menang sendiri. Kamu. . . lebih tampan,”
kataku dengan sedikit jeda.
“Kamu semakin liar, V. Kenapa harus jadi seperti ini
? Apa yang bikin kamu memilih jalan suram ini,” tanyanya to the point. Membuat aku tercekat. Aku diam. “Ikut aku, V. Kita
mulai semua dari awal. Kita bangun bersama masa depan kita,” lanjutnya lagi.
“Kenapa kamu ninggalin aku.”
“Opa meninggal, aku gak sempet kasih kabar ke kamu.
. . tapi. . .”
“Kenapa harus selama ini, Ga. Kenapa harus aku yang
lupa sama kamu. Kenapa bukan kamu yang lupa sama aku. . . ,” aku semakin
meradang.
Plakk
Dia menamparku. Aku diam. Tak bergerak. Tak berkata.
Dan dia, menghela nafasnya.
“Aku dijodohin.”
Aku masih diam. Tamparannya memang tak sekeras
tamparan Rama, tapi rasa sakitnya begitu berlipat.
“Baguslah. Kamu punya masa depan jelas. Harusnya
kamu tadi gak perlu repot untuk sekedar bikin aku sadar. Bukankah itu lebih
menyakitkan buatku. Atau kamu memang sengaja mengingatkanku akan diri kamu,
lalu memberitahuku bahwa kamu sudah berpendamping. Hanya sekedar untuk itukah
niatmu, Ga. Kalo kamu pikir aku kenapa-napa, aku jelaskan ke kamu, aku gak
kenapa-napa, kalo kamu pikir aku baik-baik saja, aku beritau kamu, aku tidak
cukup baik dengan malam ini. Aku masih terlalu terkejut dengan kehadiran kamu
yang membawa aku pulang pada memori kita dulu, tapi aku lebih terkejut dengan
pengumumanmu telah dijodohkan. Baiklah. Anggap saja, ini malam kesenanganmu. Jangan
pedulikan kesedihanku. Jangan anggap bahwa aku bagian dari hidupmu. Urusan kita,
biar kita selesaikan di luar jam kerjaku. Aku ingatkan, aku di sini hanya
seorang pelacur yang menemanimu. Entah sengaja atau tidak kamu memilih aku, aku
tak perlu tau itu.”
Dia berdiri dan berjalan ke balkon. Aku biarkan
semenit, dua menit dia di sana. Lalu aku menyusulnya. Dia menyenderkan
kepalanya, matanya memejam. Dan aku dapat melihat dengan jelas dari rautnya,
dia sangat kecewa.
“Aku gak pernah bisa buka hati buat perempuan mana
pun, V. Cuma kamu. Dan hanya akan ada kamu. Selamanya,” dia berkata tanpa
membuka mata. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dan dengan lembut, menyentuh
bibirnya dengan bibirku. Sejenak, dua jenak, dan dia membuka matanya. Memelukku
yang sudah menangis tanpa suara di depan matanya.
“Jangan tinggalin aku, V. Aku mohon,” katanya parau
saat memelukku. Pelukannya begitu nyaman. Apakah dulu juga senyaman ini ?
“Bukan aku yang pergi, Ga. Tapi kamu yang ninggalin
aku. Sepertinya kita memang harus menyudahi perasaan ini. Aku sungguh-sungguh
tak mau melihat ke belakang lagi. Aku harusnya melihat ke depan. Ada Rama yang
jaga aku. Meski pun menurut kamu, dia hanya kasian dan merasa bersalah karena
telah menabrakku. Aku seneng bisa ketemu lagi sama kamu. Sungguh aku sangat
terharu. Tapi aku mohon, biarkan masa lalu kita menjadi bagian dari hidup kita.
Kita hidup untuk masa depan. Bukan untuk menangisi masa lalu. Lepasin aku, Ga,”
kataku sambil terisak. Dan masih nyaman dalam pelukannya. Dia memelukku lebih
erat. Air matanya menetes di badanku.
“Aku gak peduli seperti apa kamu sekarang, V. Kamu tetap
Vea-ku. Tetap menjadi bunga liarku. Dan kamu tujuan hidupku, V. Aku pulang. Aku
kembali untuk kamu. Dan memperbaiki semuanya, kita mulai dari awal.”
“Inilah awal kita, Rangga. Kita hanya sebatas
pelacur dan pelanggan. Saat ini tak lebih dari itu. Meski sebelumnya banyak
kisah yang kita lalui, tapi inilah kita sekarang. Jangan menyalahkan siapa pun,
apa pun, atas apa yang terjadi dengan kita. Nikmati perjodohanmu, mungkin dia
memang lebih baik segalanya dari aku. Dan semoga, dia bisa mengimbangi dirimu,”
pelukannya terlepas. Ditatapnya mataku lekat. Seperti mencari kebenaran atas
ucapanku. “Jangan lihat aku seperti itu, pandanganmu seolah tak percaya atas
ucapanku tadi,” lanjutku. Kami hanya saling beradu pandang.
Aku senang, mata coklat itu akhirnya kembali. Dan menemukanku.
Meski pun dalam keadaanku yang seperti ini. Sebagai seorang pelacur yang lupa
pada kepingan masa lalunya. Yang dulu pernah sangat menyayanginya, dan berjuang
agar bisa terus bersama dengannya. Tapi dia kembali untuk mengingatkanku akan
masa lalu yang tak mungkin dilalui lagi. Dan dia ikut mengabarkan
perjodohannya.
Entahlah. Aku sedikit ingat perjuangan kita dulu
untuk bisa mendapat restu. Aku dulu, sepertinya tak selemah ini. Yang begitu
saja menerima keadaan bahwa dia telah berdua. Saat ini mungkin belum, tapi
sesaat nanti, cepat atau lambat, akan ada berita tentang pernikahannya.
Dia salah satu direksi di perusahaan keluarganya,
yang saat ini benar-benar sedang jaya. Wajar saja jika pernikahannya akan
menjadi berita hangat di dunia bisnis.
Dan di sinilah aku saat ini. Di rumah kontrakan
kecil yang aku sewa. Aku membaca sebuah undangan pernikahan yang menuliskan
nama Rangga sebagai pengantin pria.
Setelah pertemuan kita dulu, aku memilih untuk tidak
memasuki kehidupannya lagi. Aku memilih untuk tidak terlalu dalam mengingat
masa laluku. Dan masa lalu kami. Aku punya Rama, yang meski hanya kasian
padaku,tapi dia tulus. Menerima apa pun keadaanku. Mengguncang kesepian hatiku
dengan semua tingkahnya yang selalu membuatku tertawa, menikmati masa sekarang.
Rangga memang pernah menjadi bagian dalam tujuan
hidupku. Tapi, itu dulu. Sekarang, yang aku perjuangkan adalah Rama. Rama yang
sebenarnya adik angkat Rangga. Rama yang memilih berjuang dengan kaki dan tangannya
untuk tetap hidup. Rama yang memang dari awal mencintaiku. Rama yang akan
menjadi pendamping dan penjagaku.
Mengapa hidupku begitu drama. Tuhan, jika aku boleh
minta, biarkan aku lupa pada beberapa bagian masa laluku bersama Rangga. Karena
ini akan menyiksaku saat aku bersama Rama.
Komentar
Posting Komentar