Aku melihatnya pertama kali. Awal saat dia menampakkan wajah
tampannya. Menggemaskan. Dan ini adalah kebahagiaan yang tak ternilai dengan
apa pun. Melihat tubuhnya menggeliat. Bibirnya yang mungil. Lucu.
Dia jagoanku. Yang tak kurang dari sembilan bulan, aku
nantikan kehadirannya. Bisa aku timang. Aku senandungkan lagu tidur untukknya.
Tangisnya adalah suara merdu yang menggantikan lelahku. Ahh,
aku tak pernah lelah merawatnya. Dengan penuh syukur dan bahagia, aku
menggendongnya. Membuatkan susu formula. Karena aku tidak bisa memberi ASI. Menggantikan popoknya saat dia pipis.
Menggodanya saat menangis hingga dia bisa tersenyum.
Mengajaknya bicara. Meski aku tak paham. Itulah kebahagiaan
yang tak bisa aku ungkapkan, betapa bahagianya aku.
Pertumbuhannya bagus. Badannya gemuk. Wajahnya
mengingatkanku pada seseorang.
Aku yang mengajarkan dia bicara. Tanganku yang dia pegang,
saat dia mulai belajar berjalan. Aku yang dia kejar, saat dia mulai bisa berlari
kecil. Dia semakin tampan.
Dia hartaku. Apa pun aku lakukan untuk senyumnya. Tak peduli
berapa sulitnya itu. Tak peduli meski aku harus tertatih. Aku tak pernah
meminta dikasihani. Aku bahagia dengan anakku. Aku bangga bisa merawatnya. Aku
bangga memiliki pangeran kecilku.
Aku yang selalu membangunkan di setiap paginya.
Memandikannya dengan riang. Menyiapkan sarapan untuknya. Dia lahap sekali
setiap makan. Menemaninya bermain. Jalan-jalan berdua. Menghabiskan waktu
bersama. Membacakan cerita setiap dia mau tidur.
Aku tak pernah lelah. Aku tak pernah menangis, meski aku
harus merawatnya sendiri.
Pangeranku sudah bersekolah.Aku yang mengantarkan dan
menjemputnya. Aku selalu menyediakan waktuku untuk dia.
Harus ada waktu untuk dia. Sesibuk apa pun aku dengan
pekerjaanku. Dia adalah hal utama dan terpenting. Jadi aku harus
menomorsatukannya.
“Rafa, yang pinter ya di sekolah,” kataku setelah dia masuk
gerbang sekolah.
Dia menoleh, melambaikan tangannya. Mengangguk dan berkata,”Iya,
Papi.”
Senyumnya manis. Semanis senyum Mamanya. Aku rindu. Tapi aku
tak bisa memeluknya lagi.
Mobilku melaju. Menuju toko bunga untuk membeli mawar putih.
Aku ingin menengoknya. Lalu bergegas aku menuju satu tempat.
Dia di sana. Akan selalu ada di sana.
“Hai, Cantik. Aku rindu. Doakan aku, doakan Rafa,” aku
mencium batu nisan yang tertulis namanya, Olivia. Dan meletakkan mawar putih,
di atas makamnya.
Tuhan lebih sayang kepadanya. Dan memanggilnya menuju surga,
setelah melahirkan Rafa.
Dan aku berjalan. Menemui Papaku. Orang yang sangat berarti
buatku. Untuk hidupku. Di nisannya tertulis tanggal, bulan, dan tahun yang sama
dengan waktu istriku tercinta di panggil Tuhan.
Aku dipisahkan dari Papa dan istriku. Bersamaan. Kesedihan
itu, seperti topan dan gempa yang beriringan menghancurkanku.
Tapi di saat itu aku
menyadari, bahwa topan dan gempa itu pasti akan berlalu. Di mana aku telah memiliki
Rafa, anakku yang sangat aku banggakan.
Dialah matahari yang akan terus
menyinari hidupku dengan terangnya.
kocan.huey
Pt_Jkt
250914
Komentar
Posting Komentar