“Kalau Anda sudah menjadi seseorang yang tanpa cela,
silahkan maki saya,” Tere berbicara dengan tegas dan menantang.
“Kamu berani sama saya,” tanya lelaki yang sekarang
sedang memimpin rapat. Wajahnya merah setelah kalimat sindiran yang begitu
menohok dari Tere.
Semua orang yang ada di ruang rapat, yang tak kurang
dari sepuluh orang itu, hanya diam. Kecuali mulut Tere yang sedari awal rapat
begitu kerap mengkritik kinerja pimpinan perusahaan. Yang baru tiga bulan
dipimpin oleh seorang lelaki tampan dari klan Sudibyo.
“Silahkan cek di daftar absen saya. Apa saya pernah
datang lebih dari jam sepuluh ? Apakah saya pernah pulang sebelum jam dua belas
? Kalau Anda ingin membela diri dengan mengatakan, Anda pimpinan perusahaan,
apakah Anda peduli dengan keterlambatan pembayaran gaji para karyawan ? Anda
pimpinan, tapi tidak bisa menjalankan tugas Anda sebagai seorang pemimpin.
Bahkan untuk mendapatkan persetujuan Anda tentang pengajuan gaji bulan ini,
bagian keuangan harus menunggu selama seminggu. Hanya untuk tanda tangan Anda.
Atau Anda tidak tau kalau bulan ini pembayaran gaji terlambat ? Menyedihkan,”
cerocos Tere.
Ardian, si lelaki tampan itu berdiri. Kursi yang
tadinya diduduki, terdorong ke belakang. Matanya yang sebenarnya cukup indah,
memandang tajam ke arah Tere. Penuh amarah.
“Kenapa ? Mau marah ? Kalau ada yang salah, silahkan
marah,” tantang Tere ikut berdiri. “Gak suka punya staf yang ceplas ceplos ? Saya gak takut kok
dipecat.”
Tiga puluh menit berikutnya, menjadi rapat yang plain karena Tere sengaja membungkam
mulutnya. Ardian juga terlihat lebih banyak mendengarkan. Tapi matanya tak
berhenti melirik ke arah Tere, yang ada di samping kanan tempat dia duduk.
“Terimakasih atas kerjasama rekan-rekan semua. Saya
kira cukup sekian meeting kita hari
ini. Silahkan melanjutkan aktivitas kembali,” kata Ardian mengakhiri rapat dan
berjalan keluar ruangan setelah berhenti sejenak di tempat Tere duduk. Entah
apa yang dikatakan. Warna muka Tere tampak sedikit masam. Dan beberapa detik
kemudian, langkah Tere terlihat membuntuti Ardian. Sepertinya ke ruang kerja
Ardian.
“Hei, mau kemana,” tanyaku setelah bisa menyamai
langkah kaki Tere.
“Rahasia,” Tere balik kanan, berjalan mundur sambil
mengerlingkan mata kanannya. Dan senyumnya itu. Sungguh menyejukkan. Aku lalu
berhenti. Melempar senyumku. Tere sudah membelakangiku dan tetap melangkah
menuju ke ruang Ardian.
***
“Weekend ini
kayaknya gue gak isa ngumpul deh. Gue tiba-tiba ada tugas dari kantor. Males
banget gue. Overtime, cuy. Tapi
minggu depannya pasti gue ikut deh,” Tere berusaha meyakinkan teman
seperkumpulan agar mereka termasuk aku, tidak melemparnya dengan apa pun yang
kami pegang.
“Ardian,” tanyaku simpel. Riko, Andro, dan Cesil
hanya saling berpandangan. Mereka sedikit tak paham dengan apa yang kita bicarakan.
“Ohh my God.
. . elu uda punya cowok Re,” teriak Cesil, menebak dengan penuh harapan,
jawabannya benar.
“He is a
monster. Jangan sampe ketemu itu makhluk. Tar lu semua isa emosi ngliat
mukanya,” Tere menggebu mendeskripsikan Ardian.
“Adrianus Banyu Sudibyo. Tau ? Tiga bulan ini dia
mimpin perusahaan tempat kita kerja. Dan kemaren itu, si bawel Tere abis
ngehajar tuh orang,” terangku kepada ketiga manusia yang mangap tanpa sadar.
“Please, Guys.
Don’t look at me like that ! Gue cuma mengungkapkan apa yang gak sesuai
dengan pemikiran gue. Dan kalian juga tau, gimana gue, kalo ada orang yang
dengan sombongnya pake kekuasaan tapi otaknya minus,” Tere menanggapi keheranan Riko, Andro, dan Cesil.
***
Aku lebih dulu bekerja di perusahaan yang dikelola keluarga
Sudibyo. Setahun bekerja di sana, aku merasa tidak ada yang luar biasa. Flat. Masuk kantor, absen, kerja, meeting, break, kerja lagi, absen lagi terus pulang.
Tapi pagi itu terasa berbeda. Aku masih ingat, hari
Kamis, di awal Januari, seorang perempuan berwajah manis, innocent, tapi terlihat cerdas. Dia berbeda. Bukan seperti
perempuan kebanyakan yang ke kantor dengan rapi. Bukan berantakan sih, tapi ya
itu tadi, beda. Dan aku suka.
“Selamat pagi Mas Bayu. Saya Teresia. Pegawai baru
di kantor ini. Kita di satu bagian nih. Nanti ajarin Tere yaa. . .”
Begitu awal mula aku tau namanya. Lama – lama jadi
tau seperti apa pribadinya. Bagaimana dia bisa membuat suasana hati seseorang
berubah begitu cepat. Senyumnya yang selalu riang. Bahkan aku belum pernah melihatnya
terlihat susah, terlihat sedang dalam masalah, apalagi terlihat menangis.
Dan di satu kesempatan aku mengajaknya jalan – jalan
di Sabtu sore. Saat itu dia memilih untuk nongkrong sekedar ngopi dan makan
donat. Dengan celana pendek warna khaki dan tank
top hitam, dilapisi dengan kemeja lengan panjangnya yang dilipat di lengan
kiri sampai di siku, dan lengan kanan dibiarkan berantakan. Rambut hitamnya
yang sedikit melebihi bahunya hanya diikat asal.
Tapi entah mengapa, dia terlihat tetap manis. Sangat
manis. Sepanjang jalan menuju salah satu mall,
pas nongkrong, pas iseng jalan – jalan sambil windows shopping, pas jalan lagi nganter dia pulang, mulutnya
seperti tak kehabisan kata – kata. Ngomong terus. Berisik sih enggak. Setiap
kata yang akan keluar dari mulutnya itu seperti penantian. Penuh kejutan. Dan
begitu jujur.
Di kedua kali aku mengajaknya keluar, dia memilih
untuk berbelanja. Sebagai seorang cowok, setidaknya aku bawa kartu debet dengan saldo yang sekiranya cukup
untuk membayar barang – barang yang dia pilih. Tapi kenyataannya dia tidak
memberi kesempatan kepadaku, untuk membayar satu atau dua barang yang dia beli.
Bahkan t –
shirt dan jaket yang dia beli tadi diserahkan kepadaku.
“Ini buat Mas Bayu karena uda jadi partner yang baik selama sebulan Tere
kerja. Gak boleh ditolak dan gak boleh dikembaliin dalam bentuk barang atau pun
uang. Karena Tere uda beliin Mas Bayu, sekarang gantian Tere yang ditraktir yaa.
Tere pengen beef burger sama float,” Tere merajuk manja dan tanpa
malu menarik lenganku ke salah satu restoran cepat saji sambil berlari kecil. Satu
hal yang paling menggemaskan adalah sikap polosnya.
Saat menemani dia menikmati burger dan floatnya
itulah, Riko dan Andro melihatku. Sedikit tak percaya karena aku mau
menginjakkan kaki di mall.
“Jadi nih cewek yang bikin lu ngebatalin nge-band ?” tanya Andro setelah sesaat
melihat Tere.
Tere memasang muka polos dan tak tau apa pun tentang
perbincangan para adam di sekitarnya. Sejak saat itu kita sering pergi
berempat. Dan Cesil, sahabat Tere terlibat juga dalam seperkumpulan yang begitu
dahsyat bila sudah berlima.
***
“Mas Bayu, besok pagi jemput Tere ya di rumah. Besok
gak bawa motor. Soalnya disuruh si monster
buat nemenin dia meeting di luar kantor. Katanya sampe malem. Daripada naek
motor sendirian mending tar pulangnya Tere pake taksi aja,” kata Tere
membuyarkan lamunanku di masa setahun lalu.
“Sama gue aja Re, kan deketan rumah gue timbang
rumahnya Bayu. Lagian besok gue juga ada janji ketemu klien di sekitaran kantor
lu situ. Jadi kan sekalian. Biar Bayu gak repot juga kalo jemput lu dulu,”
Andro menawarkan diri.
“Emang Mas Bayu selama ini anter jemput Tere jadi
repot ya, Mas ?” tanya Tere dengan muka polos. Aku hanya tersenyum sambil
mengangguk berkali – kali. “Mas Bayu ihh, masa iya sih, Mas ? Beneran ngrepotin
yaa,” Tere berlagak sedih. “Ya udahlah, besok biar Tere dijemput sama Andro aja
lah. Gak usah ya Mas Bayu jemput – jemput Tere lagi. Ihh. . . emang Tere
apaan,” Tere begitu cerewet hari ini. Gayanya yang centil tapi menggemaskan
***
Sampai kantor, meja kerja Tere masih terlihat rapi.
Entah dia belum datang atau sudah bersama Ardian untuk menemani meeting. Aku
terus berlalu menuju ruanganku. Di meja kerjaku ada bungkusan rapi berwarna
hijau muda. Ada kertas kecil yang diselipkan di bawahnya. Dari Mila.
Menurut Tere, Mila, karyawan bagian akunting, yang
sebenarnya tak bisa dibilang biasa itu, menyukaiku. Tapi aku tak terlalu lebih
menanggapinya.
“Eh, Mil, makasih ya bingkisannya. Laen kali gak
usah repot gitu,” kataku basa – basi saat bertemu Mila di kantin.
“Iya, Mas. Sama – sama. Nggak ngrepotin kok. Suka
nggak,” tanya Mila membuatku susah menjawab. Entah dia mendapat rekomendasi
dari siapa, sehingga memutuskan untuk membelikan miniatur Hulk. “Bagus kok.”
“Kan gue nanyanya suka apa enggak, Mas. Bukan bagus
ato enggak. Mas Bayu gagal fokus ya,” balas Mila menyudutkan, tanpa dia tau
tentunya kalau pertanyaannya itu sangat susah aku jawab. Dan betapa
beruntungnya aku, karena Tere menelepon.
“Sori ya, gue terima telfon dulu,” kataku menghindar
memberi jawaban dan agak menjauh. “Halo. . . “
“Mas Baayuuuuu. . . . . Tere lagi maem es krim nih.
Di tempat yang Tere ceritain itu. Minggu depan ke sini ya sama yang lain. Nanti
Tere yang traktir deh.”
“Katanya lu meeting
? Kok malah makan es krim sih Re ? Lu pergi berdua doank sama Ardian ? Meetingnya di mana ? Gue jemput ya,” aku
memberondong Tere dengan pertanyaan konyol.
“Ehh udahan ya, Mas. Tar chat aja. Si monster uda mau balik ke meja. Dadah Mas
Bayu,” Tere menutup percakapan via suara tanpa menjawab pertanyaanku. Dan
tawaranku.
Dari terakhir Tere menelepon sampai sekarang, chatku hanya dibaca. Tapi tidak dibalas
satu pun. Aku coba menghubungi Cesil. Meminta bantuannya untuk mencari tau di
mana Tere sekarang berada. Tapi kata Cesil, chatnya
juga hanya dibaca. Aku coba menghubungi ponselnya tapi tidak ada jawaban.
“Gue bisa minta schedule
Pak Ardian hari ini,” tanyaku ke Sinta. Sekretarisnya.
“Kenapa tiba – tiba nanya, Mas,” Sinta balik tanya
sambil mengecek jadwal Ardian.
“Tere diajak meeting
sama Pak Ardian. Nah, gue hubungin Tere susah. Mau gue jemput sih,” balasku
sekenanya. Sinta melihatku dengan sedikit aneh.
“Lu sama Tere tuh gimana sih, Mas. Temen, sahabat,
pacaran apa gimana ? Gue liat, deket sih. Tapi gue tanya Tere, tuh anak juga
gak jelas,” Sinta menanyakan sesuatu yang tidak bisa aku jawab.
“Nanti kita akan publikasiin kok. Tenang aja,”
balasku asal sambil tetap menghubungi Tere, dan kali ini ada jawaban. “Lu di
mana ? Dari tadi gue chat gak lu balesin.
Dasar lu yaa. . . “
“Sori, Mas. Tadi abis makan es krim lanjut meeting lagi. Tiap gue pegang hape
diliatin terus sama si monster. Gue
kan risih. Nih Cesil juga ngamuk – ngamuk. Repotan mana coba, anter jemput Tere
apa gak ada kabar dari Tere ? Kesepian kan gak ada Tere.”
“Bawel banget sih lu, Re. Lu di mana sekarang ? Gue
jemput ya ?”
“Tar balik kantor kok, Mas. Lu tunggu aja di kantor.
Lu bawa mobil kan, Mas ? Gue gak sanggup kalo naek motor, capek banget.”
***
“Lohh, Mas Bayu belom pulang ? Nunggu sapa, Mas,”
Sinta membuka pintu ruanganku. “Tere ya,” lanjutnya sambil tersenyum geli.
“Kenapa ? Aneh ? Lucu,” tanyaku balik yang hanya
dibalas dengan angkatan bahu Sinta. “Dia bilang mau balik kantor, gue tungguin
aja. Paling bentar lagi juga muncul.”
“Mas Bayu tau Mila kan ? Bagian akunting. Tuh cewe
naksir Mas Bayu uda lama banget. Cuma gak berani aja karena Mas Bayu keliatan
nyaman sama Tere. Kemana mana sama Tere, berangkat sama Tere, makan siang sama
Tere, pulang sama Tere, belom lagi satu bagian juga sama Tere. Lah kapan Mila
dapet kesempatan coba ?”
Aku tertawa geli. Sinta memandangku aneh. “Nah itu
yang salah. Emang kalo kemana mana sama Tere, gue pacarnya Tere gitu ? Gue sih
bodo amat ada yang naksir gue berapa orang, selama gue belom mau buka hati gue,
mau secantik apa pun dia, gue juga gak bakal tertarik.”
Aku melihat Tere berjalan menuju meja kerjanya.
Ardian mengikuti dari belakang. Lalu mereka terlihat dalam suatu percakapan
singkat. Tere terlihat biasa saja. Tidak seangkuh rapat kemarin siang. Bahkan ada
senyum sejuknya saat Ardian mengusap kepalanya, sebelum Ardian meninggalkannya.
Aku buru – buru merapikan meja dan bergegas ke meja Tere.
“Hei. . . ,” sapaku. Sinta membuntuti dari belakang.
Aku lupa tadi ada Sinta. Payah.
“Hai, Mas,” Tere menoleh dan tersenyum. Aku
menyodorkan figur Hulk pemberian Mila. “Apa nih, Mas ? Ihh. . . lucu banget. .
. dapet dari mana,” Tere antusias melihat Hulk yang menurutku aneh.
“Buat elu. Taruh aja di meja lu tuh.”
“Lu apa – apaan sih, Re ? Itu kan dari Mila buat Mas
Bayu. Kenapa lu minta,” bentak Sinta ke Tere, di luar dugaanku. Aku pikir tak
ada yang tau tentang Mila memberiku hadiah. Tere memandangku penuh tanya.
Bodoh. Sangat bodoh. Apa yang aku lakukan ?
“Oh. . ya
udah. . . nih kasihin ke Mila lagi,” kata Tere santai sambil menyerahkan figur
Hulk ke Sinta. “Mungkin dia salah paham. Mas Bayu itu gak suka Hulk, yang suka
Hulk gue. Nah, karena Mas Bayu gak mungkin juga balikin ke Mila, dikasihin ke
gue. Tanpa ada maksud apa – apa tentang pemberian Mila. Gue tar minta beliin
aja sama Mas Bayu. Nih. . . kasihin ke Mila yaa,” kata Tere lagi makin di luar
dugaanku. “Yuk, Mas. Pulang. Capek,” Tere bangkit dari duduknya, menggandeng
tanganku, dan berjalan meninggalkan Sinta. Sepintas aku melihat Ardian, tapi
tak begitu jelas karena Tere terus berjalan.
***
Weekend
ini Tere absen dari jadwal ngumpul kita. Sebelumnya dia memang sudah ijin.
Katanya ada lembur, tapi kan dia staf di bagian yang aku tangani, kenapa tak
ada tembusan untukku. Aku lalu berinisiatif menghubunginya. Tak ada jawaban.
Jadilah weekend yang hampa.
***
Saat aku berjalan menuju ruang kerja, aku melihat
Mila berdiri di depan pintu ruanganku. Sekilas aku melihat Tere dengan wajah
datarnya. Dia melihatku sekilas sambil memanyunkan bibirnya dan mengkode ada
seseorang yang menungguku. Yang dimaksud mungkin Mila.
“Kenapa, Mil ? Ada yang bisa gue bantu,” tanyaku
basa – basi tanpa mempersilahkan Mila masuk ruangan. Aku lalu memanggil Tere,
bermaksud melimpahkannya ke Tere.
“Re, sini donk, urusin nih keperluannya Mila. Gue
lagi sibuk,” kataku sambil melambai ke Tere. “Lu bilang aja sama Tere kebutuhan
lu, tar biar dia yang siapin. Oke,” kataku lagi ke Mila dan berlalu memasuki
ruangan.
“Gue tuh mau ngomongnya sama elu, Mas. Kenapa sih
dikit – dikit Tere. Apa – apa Tere. Lu nggak liat kalo gue tuh suka sama elu. Elu
tuh nggak mau buka hati lu apa, dikit aja buat gue,” ocehan Mila membuatku
batal memasuki ruangan dan membuat Tere ikut ragu melanjutkan langkahnya.
Aku berjalan ke arah Tere berdiam. Berdiri di
sampingnya. Dan merangkul pundaknya. “Lu tau kenapa dikit – dikit gue sama
Tere, apa – apa gue sama Tere, kemana pun sama Tere, karena Tere tetap jadi
Tere, gak berusaha jadi Mila atau siapa pun. Karena namanya Tere. Karena dia
bikin gue nyaman jadi diri gue sendiri, dia gak pernah menuntut gue buat buka
hati gue, gak kayak elu. Kalo gue mau buka hati buat Mila, mungkin saat itu
Tere uda ganti nama jadi Mila. Tapi itu nggak mungkin.”
“Gue uda ngira dari dulu. Lu suka kan, Mas sama Tere
? Tapi lu gak berani buat bilang sama dia. Berarti lu lebih pengecut dari gue,”
kata Mila emosi.
“Mila. . . lu nggak tau tentang Mas Bayu. Jadi lu
nggak usah banyak komentar gimana dia. Lu nggak tau tentang kita, jadi gue
minta tolong sama elu, nggak perlu bikin statement
seperti itu,” Tere coba menjelaskan dengan halus.
“Nggak usah munafik deh lu, Re. Lu juga nggak rela
kan kalo Mas Bayu deket sama cewek lain,” mulut Mila semakin tak terkendali.
“Mil. . . mulut lu tuh ya. Jaga deh omongan lu. Lu
nggak punya hak ngomong gitu ke Tere,” aku ikut terpancing emosi.
“Tere pacar saya,” pengakuan Ardian membungkam semua
mulut. Tere ikut melihatnya kaget. Tapi dia terlihat tidak ingin mengatakan
pembenaran atau klarifikasi kepada orang – orang yang ternyata sudah
bergerombol di sini.
“Maafin Tere, Mas Bayu,” Tere berbicara pelan
sebelum berlalu bersama Ardian dan tenggelam dalam dekapan Ardian.
Ara, 220116
Komentar
Posting Komentar