Langsung ke konten utama

Feelings part 1

“Kalau Anda sudah menjadi seseorang yang tanpa cela, silahkan maki saya,” Tere berbicara dengan tegas dan menantang.
“Kamu berani sama saya,” tanya lelaki yang sekarang sedang memimpin rapat. Wajahnya merah setelah kalimat sindiran yang begitu menohok dari Tere.
Semua orang yang ada di ruang rapat, yang tak kurang dari sepuluh orang itu, hanya diam. Kecuali mulut Tere yang sedari awal rapat begitu kerap mengkritik kinerja pimpinan perusahaan. Yang baru tiga bulan dipimpin oleh seorang lelaki tampan dari klan Sudibyo.
“Silahkan cek di daftar absen saya. Apa saya pernah datang lebih dari jam sepuluh ? Apakah saya pernah pulang sebelum jam dua belas ? Kalau Anda ingin membela diri dengan mengatakan, Anda pimpinan perusahaan, apakah Anda peduli dengan keterlambatan pembayaran gaji para karyawan ? Anda pimpinan, tapi tidak bisa menjalankan tugas Anda sebagai seorang pemimpin. Bahkan untuk mendapatkan persetujuan Anda tentang pengajuan gaji bulan ini, bagian keuangan harus menunggu selama seminggu. Hanya untuk tanda tangan Anda. Atau Anda tidak tau kalau bulan ini pembayaran gaji terlambat ? Menyedihkan,” cerocos Tere.
Ardian, si lelaki tampan itu berdiri. Kursi yang tadinya diduduki, terdorong ke belakang. Matanya yang sebenarnya cukup indah, memandang tajam ke arah Tere. Penuh amarah.
“Kenapa ? Mau marah ? Kalau ada yang salah, silahkan marah,” tantang Tere ikut berdiri. “Gak suka punya staf  yang ceplas ceplos ? Saya gak takut kok dipecat.”
Tiga puluh menit berikutnya, menjadi rapat yang plain karena Tere sengaja membungkam mulutnya. Ardian juga terlihat lebih banyak mendengarkan. Tapi matanya tak berhenti melirik ke arah Tere, yang ada di samping kanan tempat dia duduk.
“Terimakasih atas kerjasama rekan-rekan semua. Saya kira cukup sekian meeting kita hari ini. Silahkan melanjutkan aktivitas kembali,” kata Ardian mengakhiri rapat dan berjalan keluar ruangan setelah berhenti sejenak di tempat Tere duduk. Entah apa yang dikatakan. Warna muka Tere tampak sedikit masam. Dan beberapa detik kemudian, langkah Tere terlihat membuntuti Ardian. Sepertinya ke ruang kerja Ardian.
“Hei, mau kemana,” tanyaku setelah bisa menyamai langkah kaki Tere.
“Rahasia,” Tere balik kanan, berjalan mundur sambil mengerlingkan mata kanannya. Dan senyumnya itu. Sungguh menyejukkan. Aku lalu berhenti. Melempar senyumku. Tere sudah membelakangiku dan tetap melangkah menuju ke ruang Ardian.

***

Weekend ini kayaknya gue gak isa ngumpul deh. Gue tiba-tiba ada tugas dari kantor. Males banget gue. Overtime, cuy. Tapi minggu depannya pasti gue ikut deh,” Tere berusaha meyakinkan teman seperkumpulan agar mereka termasuk aku, tidak melemparnya dengan apa pun yang kami pegang.
“Ardian,” tanyaku simpel. Riko, Andro, dan Cesil hanya saling berpandangan. Mereka sedikit tak paham dengan apa yang kita bicarakan.
Ohh my God. . . elu uda punya cowok Re,” teriak Cesil, menebak dengan penuh harapan, jawabannya benar.
He is a monster. Jangan sampe ketemu itu makhluk. Tar lu semua isa emosi ngliat mukanya,” Tere menggebu mendeskripsikan Ardian.
“Adrianus Banyu Sudibyo. Tau ? Tiga bulan ini dia mimpin perusahaan tempat kita kerja. Dan kemaren itu, si bawel Tere abis ngehajar tuh orang,” terangku kepada ketiga manusia yang mangap tanpa sadar.
Please, Guys. Don’t look at me like that ! Gue cuma mengungkapkan apa yang gak sesuai dengan pemikiran gue. Dan kalian juga tau, gimana gue, kalo ada orang yang dengan sombongnya pake kekuasaan tapi otaknya minus,” Tere menanggapi keheranan Riko, Andro, dan Cesil.

***

Aku lebih dulu bekerja di perusahaan yang dikelola keluarga Sudibyo. Setahun bekerja di sana, aku merasa tidak ada yang luar biasa. Flat. Masuk kantor, absen, kerja, meeting, break, kerja lagi, absen lagi terus pulang.
Tapi pagi itu terasa berbeda. Aku masih ingat, hari Kamis, di awal Januari, seorang perempuan berwajah manis, innocent, tapi terlihat cerdas. Dia berbeda. Bukan seperti perempuan kebanyakan yang ke kantor dengan rapi. Bukan berantakan sih, tapi ya itu tadi, beda. Dan aku suka.
“Selamat pagi Mas Bayu. Saya Teresia. Pegawai baru di kantor ini. Kita di satu bagian nih. Nanti ajarin Tere yaa. . .”
Begitu awal mula aku tau namanya. Lama – lama jadi tau seperti apa pribadinya. Bagaimana dia bisa membuat suasana hati seseorang berubah begitu cepat. Senyumnya yang selalu riang. Bahkan aku belum pernah melihatnya terlihat susah, terlihat sedang dalam masalah, apalagi terlihat menangis.
Dan di satu kesempatan aku mengajaknya jalan – jalan di Sabtu sore. Saat itu dia memilih untuk nongkrong sekedar ngopi dan makan donat. Dengan celana pendek warna khaki dan tank top hitam, dilapisi dengan kemeja lengan panjangnya yang dilipat di lengan kiri sampai di siku, dan lengan kanan dibiarkan berantakan. Rambut hitamnya yang sedikit melebihi bahunya hanya diikat asal.
Tapi entah mengapa, dia terlihat tetap manis. Sangat manis. Sepanjang jalan menuju salah satu mall, pas nongkrong, pas iseng jalan – jalan sambil windows shopping, pas jalan lagi nganter dia pulang, mulutnya seperti tak kehabisan kata – kata. Ngomong terus. Berisik sih enggak. Setiap kata yang akan keluar dari mulutnya itu seperti penantian. Penuh kejutan. Dan begitu jujur.
Di kedua kali aku mengajaknya keluar, dia memilih untuk berbelanja. Sebagai seorang cowok, setidaknya aku bawa kartu debet dengan saldo yang sekiranya cukup untuk membayar barang – barang yang dia pilih. Tapi kenyataannya dia tidak memberi kesempatan kepadaku, untuk membayar satu atau dua barang yang dia beli.
Bahkan t – shirt dan jaket yang dia beli tadi diserahkan kepadaku.
“Ini buat Mas Bayu karena uda jadi partner yang baik selama sebulan Tere kerja. Gak boleh ditolak dan gak boleh dikembaliin dalam bentuk barang atau pun uang. Karena Tere uda beliin Mas Bayu, sekarang gantian Tere yang ditraktir yaa. Tere pengen beef burger sama float,” Tere merajuk manja dan tanpa malu menarik lenganku ke salah satu restoran cepat saji sambil berlari kecil. Satu hal yang paling menggemaskan adalah sikap polosnya.
Saat menemani dia menikmati burger dan floatnya itulah, Riko dan Andro melihatku. Sedikit tak percaya karena aku mau menginjakkan kaki di mall.
“Jadi nih cewek yang bikin lu ngebatalin nge-band ?” tanya Andro setelah sesaat melihat Tere.
Tere memasang muka polos dan tak tau apa pun tentang perbincangan para adam di sekitarnya. Sejak saat itu kita sering pergi berempat. Dan Cesil, sahabat Tere terlibat juga dalam seperkumpulan yang begitu dahsyat bila sudah berlima.

***

“Mas Bayu, besok pagi jemput Tere ya di rumah. Besok gak bawa motor. Soalnya disuruh si monster buat nemenin dia meeting di luar kantor. Katanya sampe malem. Daripada naek motor sendirian mending tar pulangnya Tere pake taksi aja,” kata Tere membuyarkan lamunanku di masa setahun lalu.
“Sama gue aja Re, kan deketan rumah gue timbang rumahnya Bayu. Lagian besok gue juga ada janji ketemu klien di sekitaran kantor lu situ. Jadi kan sekalian. Biar Bayu gak repot juga kalo jemput lu dulu,” Andro menawarkan diri.
“Emang Mas Bayu selama ini anter jemput Tere jadi repot ya, Mas ?” tanya Tere dengan muka polos. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk berkali – kali. “Mas Bayu ihh, masa iya sih, Mas ? Beneran ngrepotin yaa,” Tere berlagak sedih. “Ya udahlah, besok biar Tere dijemput sama Andro aja lah. Gak usah ya Mas Bayu jemput – jemput Tere lagi. Ihh. . . emang Tere apaan,” Tere begitu cerewet hari ini. Gayanya yang centil tapi menggemaskan

***

Sampai kantor, meja kerja Tere masih terlihat rapi. Entah dia belum datang atau sudah bersama Ardian untuk menemani meeting. Aku terus berlalu menuju ruanganku. Di meja kerjaku ada bungkusan rapi berwarna hijau muda. Ada kertas kecil yang diselipkan di bawahnya. Dari Mila.
Menurut Tere, Mila, karyawan bagian akunting, yang sebenarnya tak bisa dibilang biasa itu, menyukaiku. Tapi aku tak terlalu lebih menanggapinya.
“Eh, Mil, makasih ya bingkisannya. Laen kali gak usah repot gitu,” kataku basa – basi saat bertemu Mila di kantin.
“Iya, Mas. Sama – sama. Nggak ngrepotin kok. Suka nggak,” tanya Mila membuatku susah menjawab. Entah dia mendapat rekomendasi dari siapa, sehingga memutuskan untuk membelikan miniatur Hulk. “Bagus kok.”
“Kan gue nanyanya suka apa enggak, Mas. Bukan bagus ato enggak. Mas Bayu gagal fokus ya,” balas Mila menyudutkan, tanpa dia tau tentunya kalau pertanyaannya itu sangat susah aku jawab. Dan betapa beruntungnya aku, karena Tere menelepon.
“Sori ya, gue terima telfon dulu,” kataku menghindar memberi jawaban dan agak menjauh. “Halo. . . “
“Mas Baayuuuuu. . . . . Tere lagi maem es krim nih. Di tempat yang Tere ceritain itu. Minggu depan ke sini ya sama yang lain. Nanti Tere yang traktir deh.”
“Katanya lu meeting ? Kok malah makan es krim sih Re ? Lu pergi berdua doank sama Ardian ? Meetingnya di mana ? Gue jemput ya,” aku memberondong Tere dengan pertanyaan konyol.
“Ehh udahan ya, Mas. Tar chat aja. Si monster uda mau balik ke meja. Dadah Mas Bayu,” Tere menutup percakapan via suara tanpa menjawab pertanyaanku. Dan tawaranku.
Dari terakhir Tere menelepon sampai sekarang, chatku hanya dibaca. Tapi tidak dibalas satu pun. Aku coba menghubungi Cesil. Meminta bantuannya untuk mencari tau di mana Tere sekarang berada. Tapi kata Cesil, chatnya juga hanya dibaca. Aku coba menghubungi ponselnya tapi tidak ada jawaban.
“Gue bisa minta schedule Pak Ardian hari ini,” tanyaku ke Sinta. Sekretarisnya.
“Kenapa tiba – tiba nanya, Mas,” Sinta balik tanya sambil mengecek jadwal Ardian.
“Tere diajak meeting sama Pak Ardian. Nah, gue hubungin Tere susah. Mau gue jemput sih,” balasku sekenanya. Sinta melihatku dengan sedikit aneh.
“Lu sama Tere tuh gimana sih, Mas. Temen, sahabat, pacaran apa gimana ? Gue liat, deket sih. Tapi gue tanya Tere, tuh anak juga gak jelas,” Sinta menanyakan sesuatu yang tidak bisa aku jawab.
“Nanti kita akan publikasiin kok. Tenang aja,” balasku asal sambil tetap menghubungi Tere, dan kali ini ada jawaban. “Lu di mana ? Dari tadi gue chat gak lu balesin. Dasar lu yaa. . . “
“Sori, Mas. Tadi abis makan es krim lanjut meeting lagi. Tiap gue pegang hape diliatin terus sama si monster. Gue kan risih. Nih Cesil juga ngamuk – ngamuk. Repotan mana coba, anter jemput Tere apa gak ada kabar dari Tere ? Kesepian kan gak ada Tere.”
“Bawel banget sih lu, Re. Lu di mana sekarang ? Gue jemput ya ?”
“Tar balik kantor kok, Mas. Lu tunggu aja di kantor. Lu bawa mobil kan, Mas ? Gue gak sanggup kalo naek motor, capek banget.”

***

“Lohh, Mas Bayu belom pulang ? Nunggu sapa, Mas,” Sinta membuka pintu ruanganku. “Tere ya,” lanjutnya sambil tersenyum geli.
“Kenapa ? Aneh ? Lucu,” tanyaku balik yang hanya dibalas dengan angkatan bahu Sinta. “Dia bilang mau balik kantor, gue tungguin aja. Paling bentar lagi juga muncul.”
“Mas Bayu tau Mila kan ? Bagian akunting. Tuh cewe naksir Mas Bayu uda lama banget. Cuma gak berani aja karena Mas Bayu keliatan nyaman sama Tere. Kemana mana sama Tere, berangkat sama Tere, makan siang sama Tere, pulang sama Tere, belom lagi satu bagian juga sama Tere. Lah kapan Mila dapet kesempatan coba ?”
Aku tertawa geli. Sinta memandangku aneh. “Nah itu yang salah. Emang kalo kemana mana sama Tere, gue pacarnya Tere gitu ? Gue sih bodo amat ada yang naksir gue berapa orang, selama gue belom mau buka hati gue, mau secantik apa pun dia, gue juga gak bakal tertarik.”
Aku melihat Tere berjalan menuju meja kerjanya. Ardian mengikuti dari belakang. Lalu mereka terlihat dalam suatu percakapan singkat. Tere terlihat biasa saja. Tidak seangkuh rapat kemarin siang. Bahkan ada senyum sejuknya saat Ardian mengusap kepalanya, sebelum Ardian meninggalkannya. Aku buru – buru merapikan meja dan bergegas ke meja Tere.
“Hei. . . ,” sapaku. Sinta membuntuti dari belakang. Aku lupa tadi ada Sinta. Payah.
“Hai, Mas,” Tere menoleh dan tersenyum. Aku menyodorkan figur Hulk pemberian Mila. “Apa nih, Mas ? Ihh. . . lucu banget. . . dapet dari mana,” Tere antusias melihat Hulk yang menurutku aneh.
“Buat elu. Taruh aja di meja lu tuh.”
“Lu apa – apaan sih, Re ? Itu kan dari Mila buat Mas Bayu. Kenapa lu minta,” bentak Sinta ke Tere, di luar dugaanku. Aku pikir tak ada yang tau tentang Mila memberiku hadiah. Tere memandangku penuh tanya. Bodoh. Sangat bodoh. Apa yang aku lakukan ?
“Oh. .  ya udah. . . nih kasihin ke Mila lagi,” kata Tere santai sambil menyerahkan figur Hulk ke Sinta. “Mungkin dia salah paham. Mas Bayu itu gak suka Hulk, yang suka Hulk gue. Nah, karena Mas Bayu gak mungkin juga balikin ke Mila, dikasihin ke gue. Tanpa ada maksud apa – apa tentang pemberian Mila. Gue tar minta beliin aja sama Mas Bayu. Nih. . . kasihin ke Mila yaa,” kata Tere lagi makin di luar dugaanku. “Yuk, Mas. Pulang. Capek,” Tere bangkit dari duduknya, menggandeng tanganku, dan berjalan meninggalkan Sinta. Sepintas aku melihat Ardian, tapi tak begitu jelas karena Tere terus berjalan.

***

Weekend ini Tere absen dari jadwal ngumpul kita. Sebelumnya dia memang sudah ijin. Katanya ada lembur, tapi kan dia staf di bagian yang aku tangani, kenapa tak ada tembusan untukku. Aku lalu berinisiatif menghubunginya. Tak ada jawaban. Jadilah weekend yang hampa.

***

Saat aku berjalan menuju ruang kerja, aku melihat Mila berdiri di depan pintu ruanganku. Sekilas aku melihat Tere dengan wajah datarnya. Dia melihatku sekilas sambil memanyunkan bibirnya dan mengkode ada seseorang yang menungguku. Yang dimaksud mungkin Mila.
“Kenapa, Mil ? Ada yang bisa gue bantu,” tanyaku basa – basi tanpa mempersilahkan Mila masuk ruangan. Aku lalu memanggil Tere, bermaksud melimpahkannya ke Tere.
“Re, sini donk, urusin nih keperluannya Mila. Gue lagi sibuk,” kataku sambil melambai ke Tere. “Lu bilang aja sama Tere kebutuhan lu, tar biar dia yang siapin. Oke,” kataku lagi ke Mila dan berlalu memasuki ruangan.
“Gue tuh mau ngomongnya sama elu, Mas. Kenapa sih dikit – dikit Tere. Apa – apa Tere. Lu nggak liat kalo gue tuh suka sama elu. Elu tuh nggak mau buka hati lu apa, dikit aja buat gue,” ocehan Mila membuatku batal memasuki ruangan dan membuat Tere ikut ragu melanjutkan langkahnya.
Aku berjalan ke arah Tere berdiam. Berdiri di sampingnya. Dan merangkul pundaknya. “Lu tau kenapa dikit – dikit gue sama Tere, apa – apa gue sama Tere, kemana pun sama Tere, karena Tere tetap jadi Tere, gak berusaha jadi Mila atau siapa pun. Karena namanya Tere. Karena dia bikin gue nyaman jadi diri gue sendiri, dia gak pernah menuntut gue buat buka hati gue, gak kayak elu. Kalo gue mau buka hati buat Mila, mungkin saat itu Tere uda ganti nama jadi Mila. Tapi itu nggak mungkin.”
“Gue uda ngira dari dulu. Lu suka kan, Mas sama Tere ? Tapi lu gak berani buat bilang sama dia. Berarti lu lebih pengecut dari gue,” kata Mila emosi.
“Mila. . . lu nggak tau tentang Mas Bayu. Jadi lu nggak usah banyak komentar gimana dia. Lu nggak tau tentang kita, jadi gue minta tolong sama elu, nggak perlu bikin statement seperti itu,” Tere coba menjelaskan dengan halus.
“Nggak usah munafik deh lu, Re. Lu juga nggak rela kan kalo Mas Bayu deket sama cewek lain,” mulut Mila semakin tak terkendali.
“Mil. . . mulut lu tuh ya. Jaga deh omongan lu. Lu nggak punya hak ngomong gitu ke Tere,” aku ikut terpancing emosi.
“Tere pacar saya,” pengakuan Ardian membungkam semua mulut. Tere ikut melihatnya kaget. Tapi dia terlihat tidak ingin mengatakan pembenaran atau klarifikasi kepada orang – orang yang ternyata sudah bergerombol di sini.
“Maafin Tere, Mas Bayu,” Tere berbicara pelan sebelum berlalu bersama Ardian dan tenggelam dalam dekapan Ardian.

Ara, 220116

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu

hujatan cinta

teruskan saja menghujatku yang kau hujatkan adalah kebencian yang terbungkus cinta kau tak menyadari bahwa cintamu terlalu dalam tapi memaksakan kau tak bisa memiliki cintaku dan kau hujani aku dengan makian semakin kau menghujatku semakin mereka akan tau siapa yang pantas dicintai dan siapa yang harus mencintai meski sampai mati

Biasa yang Tak Biasa

kita pernah ada di satu waktu yang tak biasa di saat kau berdua dan aku sendiri lalu kita terbiasa dengan yang tak biasa membiasakan menanyakan kabar terbiasa mengingatkan memberi kabar hingga yang tak biasa, menjadi biasa kemudian kita ada di satu sisi yang tak biasa ketika kau merasa memilikiku dan aku menganggap kamu kekasihku entahlah. . . bukankah kita sudah terbiasa dengan yang tak biasa dan membiasakan hal yang tak biasa menjadi biasa ahhh. . . rasanya kita perlu mengisi pikiran kita dengan hal yang biasa karena kita terlampau sering menjalani hubungan,    yang tak biasa agatha tbrm020216