Langsung ke konten utama

Dekade

Aku sedang mengantri dalam sebuah barisan kasir yang cukup panjang. Aku terus mengutuk kakakku, Evan, karena dialah penyebab aku masih terjebak dalam kerumunan pecinta makanan cepat saji.
Masih ada empat orang di depanku. Dan kelelahanku berdiri akan berakhir. Ponselku bergetar.
“Dek, lu masih lama nggak ngantrinya ? Masih berapa orang di depan lu sekarang,” suara Evan yang terdengar dari ponselku terkesan santai dan tanpa dosa.
“Masih ada empat nih, Bang. Lu nggak usah bawel deh. Gue uda capek banget ini,” balasku dengan kesal.
“Nah justru itu. Lu balik aja gih. Edo ke sini. Dia bawain. Persis sama yang gue pesenin ke elu. Hehee. . . lu balik aja ya, Dek,” Evan menahan tawanya. Tak tega sebenarnya. Aku langsung memutus panggilannya. Mengambil nafas panjang dan keluar dari barisan.
Evan dan Edo tertawa tak sopan saat aku memasuki rumah. Aku hanya berjalan cuek dan tak menghiraukan mereka.
“Kucel banget sih muka lu, Rin. Abis diapain lu,” celetuk Edo lalu disambung dengan tawa menggelegar dari Evan.
“Nih. . . lu tanya aja sama tangan gue. . . Males banget,” kataku sambil terus berjalan ke dapur sambil memasang tangan kanan ke hadapan mereka.
“Sori, Dek. Gue gak tau kalo Edo ke sini. Nah pas banget dia beliin gue. Daripada elu kelamaan kan mending gue suruh pulang aja,” Evan terus membuntutiku di dapur karena merasa bersalah, tetapi Edo tetap tak menghentikan tawanya. Bahkan sampai memegangi perutnya. Dia baru berhenti, setidaknya berusaha berhenti tertawa, saat ponselnya berdering. Dan aku sangat benci dengan nada dering ponselnya. Suara wanita sedang mendesah. Itu sangat menjijikkan.
“Hei, Bro. Gimane nih ? Jadi lu nyusul kemari,” sepertinya akan ada pria yang datang. “Ohh, gitu. Ya udah, tar lu kelar langsung ke sini aja,” lanjut Edo lagi. “Bu kos di sini kece. Betah deh lu,” Edo tersenyum dan melirik ke arahku. Aku menjumput kentang goreng Evan dan melemparnya ke muka Edo. “Udah yee, gue tunggu,” Edo meletakkan ponselnya dan bermaksud mengejarku. Membaca gelagat Edo, aku berlari menghindarinya dan masuk ke kamar.
“Beresin tuh ruang tamu ! Kalo enggak, gue usir paksa lu dan kompeni lu,” teriakku dari balik pintu kamar. Aku tau Edo masih di depan pintu kamarku.
“Iya nona manis. Apa sih yang enggak buat elu ? Lu minta gue jadi jelek pun gue rela. Gue ikhlas deh. Demi Ariana seorang,” Edo menggombal. “Rin, mandi gih. Temen gue tar ke sini. Gue kan perlu ngenalin calon pendamping hidup gue juga.”
“Elu tuh berenti mimpi deh. Jangan tidur mulu. Sana beresin ruang tamu. Sampe gue kelar mandi tuh ruang tamu belom beres, gue usir,” aku mengancam Edo. Di kejauhan, aku mendengar Evan kembali meledakkan tawanya.
Selesai mandi, aku bermaksud ingin membuat kopi. Aku membawa beberapa berkas kantor yang harus segera aku kerjakan. Dan itu memaksaku untuk begadang malam ini.
“Rin, mau ngapain ? Sini dulu kenapa sih,” tanya Edo menghentikan langkahku menuju dapur. Ada lelaki asing di ruang tamu. Mungkin itu teman Edo dan Evan
“Sini, Dek. Kenalin nih temen kita,” Evan ikut menimpali. Aku pun menunda membuat kopi dan memilih bergabung dengan para lelaki di sana. Mendudukkan tubuhku di sofa. Di sebelah kanan Evan.
“Kenalan sendiri aja lah. Udah gede juga,” kata Evan singkat lalu bangkit dari duduknya dan menyuruhku menggeser posisi, sehingga lebih dekat dengan lelaki itu.
Aku menyodorkan tangan lebih dulu. “Ariana.”
Dia memperhatikanku lebih lama. Seperti mengingat sesuatu. “Ariana ? Ariana, teknik industri ? Angkatan dua ribu lima,” lelaki itu menebak. Aku mengangguk. Tapi aku tak mengenali wajah lelaki itu. “Kamu keliatan lebih feminin. Nggak setomboy dulu.”
Edo mengerutkan dahi. Mencoba membaca warna mukaku dan akhirnya bertanya, “Kalian udah kenal ?”
“Gue nggak inget. Sapa yaa,” kataku polos menjawab Edo sekalian berterus terang kepada lelaki itu, bahwa aku sungguh – sungguh lupa siapa dia.
“Gue Ibas. Dulu gue jadi panitia penerimaan mahasiswa baru pas angkatan lu,” lelaki itu berusaha membuatku mengingatnya. Tapi nihil. Aku belum ingat. “Yang nolongin kamu pas kamu pingsan.”
Aku menepuk keningku, “Ibas ? Anak ekonomi ? Yang gendong gue itu ya ? Iya. . . iya. . . gue inget. Apa kabar lu sekarang ? Beda sih sama yang dulu.”
Edo hanya bisa melihatku dan Ibas hanyut dalam memori sepuluh tahun lalu. Belum banyak kata yang bisa terucap. Aku masih begitu terhenyak saat dipertemukan kembali dengan Ibas. Aku ke dapur, bermaksud membuatkan minum untuk para lelaki yang sedang berbincang.
“Gue buatin kopi nih. Sekalian gue bikin buat lembur tar. Diminum gih,” kataku sambil meletakkan di meja yang sudah penuh dengan makanan ringan. Setelah bertukar nomer HP dengan Ibas, aku masuk kamar dan mulai bergumul dengan berkas pekerjaan.
Sudah lebih dari jam sebelas malam, aku masih mendengar suara Edo dan Ibas. Evan mungkin sudah terkapar. Tak lama, pintu kamarku diketuk. Edo memanggilku. Aku tak menyahut. Dia kembali memanggilku dan tetap mengetuk pintuku. Aku abaikan. Terdengar langkahnya menjauh. Lampu ruang tamu dimatikan, entah oleh siapa. Kemudian hanya hening yang tersisa. Aku menikmati kehangatan selimut yang menjagaku dari dingin. Sudah lebih dari tengah malam.
“Dek, bangun. Udah siang nih. Lu kerja nggak ? Gue uda mau berangkat. Bareng nggak lu sama gue,” Evan berteriak dan menggedor pintu kamarku. Aku sebenarnya sudah siap. Tinggal membereskan berkas yang semalam tercecer.
“Iye. Gue uda siap kok, Bang. Tungguin. Tar lagi gue keluar. Jangan lu tinggal,” balasku tak kalah berteriak. Aku kemudian keluar kamar dan ke dapur. Duduk dengan manis sambil menunggu Evan menyiapkan mobil.
“Pagi, Ariana,” Ibas muncul dengan tiba – tiba dari kamar tamu. Terlihat rapi. Berarti semalam dia tidur di sini.
“Hei. Pagi. Loh, lu nginep ya ? Sama Edo juga,” tanyaku sambil mengoleskan selai di atas roti tawar. Aku menawarkan juga ke Ibas. Dia duduk di sampingku. Aku siapkan roti tawar dan segelas susu.
“Edo kayaknya masih tidur. Aku tadi selesai mandi juga masih nyenyak dianya. Lagi mimpiin kamu kali,” Ibas membalas santai. Aku kemudian menoleh ke arahnya dan memperhatikan dia lebih lama. Karena merasa diamati, dia hanya tersenyum polos dan berkata, “Apa ? Bisa jadi kan ? Kan Edo suka sama kamu. Dia juga udah pernah cerita, tapi aku yang nggak paham aja ternyata yang dimaksud itu kamu.”
Evan berteriak memanggilku. Aku bergegas menghabiskan sarapanku. Tapi Ibas lebih dulu keluar. Mungkin hanya sekedar menyapa Evan atau perbincangan lelaki yang tak aku pahami. Belum sampai aku berdiri, mobil Evan melaju dan aku ditinggal. Aku bermaksud mengejar Evan, tapi dicegah Ibas.
“Nikmati aja sarapannya. Aku uda bilang sama Evan, nanti aku yang anterin kamu, sekalian aku ke kantor. Atau aku harus ijin ke Edo juga,” Ibas menggodaku. Selesai sarapan, aku mengambil sepatu hak tinggi yang senada dengan baju kerjaku.
“Banyak yang berubah ya dari kamu. Setauku kamu itu dulu cuek. Sekarang cewek banget,” kata Ibas dari balik kemudi. “Aku sempet sih nyari kontak kamu. Tapi karena nggak banyak kenalan juga di teknik industri, jadi ya rada susah.”
“Dan ternyata, lu temen Evan. Sempit. Kantor lu mana sih,” balasku singkat sambil membalas email dari kepala bagian yang menanyakan tentang pekerjaanku.
“Masih sering pingsan ?”
“Ehh, gue itu pingsan yang kepergok elu itu cuma sekali doank kali, Bas. Ya gimana nggak pingsan, malemnya gue begadang ngerjain tugas nggak penting dari senior, paginya uda suruh bangun sebelum ayam melek. Dan lagi gue belom sempet sarapan. Sampe kampus, gue suruh lari, suruh teriak – teriak, gimana gue nggak pingsan. Coba lu yang gitu, pingsan juga lu,” aku menyerocos penuh semangat. Ibas terkekeh.
“Kalo sekarang kamu pingsan, aku masih kuat gendong nggak ya,” Ibas kembali tertawa. Aku meninju lengannya. “Aduhh. . . sakit tau. Tar nggak ada yang gendong kamu loh.”
“Ibas. . . apaan sih ? Gue ngambek loh. . . Gue bilangin Evan loh, biar nggak boleh maen ke rumah lagi,” balasku manja. Ibas mengusap kepalaku. Aku menatapnya dalam. Rasanya nyaman. Senyaman dulu. Sepuluh tahun lalu. Dia lalu memegang pipi kananku. Mengusapnya sesaat lalu kembali berkonsentrasi pada kemudi mobilnya. Aku jadi salah tingkah. Aku buang pandangan ke luar jendela.
Memori itu teringat lagi begitu jelas. Saat teriakan para senior memberi perintah kepada para mahasiswa baru. Kondisiku sedang tidak begitu bagus, staminaku menurun drastis. Lalu seorang senior yang berdiri di depanku memperhatikan wajahku yang mungkin kelihatan pucat. Dia bergegas memberitahu tim kesehatan yang bersiap di barisan belakang. Tapi seingatku belum sempat mereka sampai di tempat aku berdiri, tubuhku sudah merasa sangat ringan. Pandanganku kabur. Aku berusaha tetap tersadar tapi tubuhku roboh. Dan Ibas lah yang menyelamatkan tubuhku sehingga tidak roboh menyentuh bumi.
Samar aku masih bisa melihat wajahnya. Aku sempat memegang kaosnya, berharap agar tidak terjatuh saat Ibas setengah berlari membawaku ke pos kesehatan.
“Hei. . . udah baikan ? Bisa duduk ? Minum teh manis dulu ya,” kata Ibas begitu aku sadar. Dia membantuku duduk. Ada beberapa mahasiswa baru sepertiku yang mungkin juga pingsan atau hanya merasa kelelahan.
Makasih. Gue udah baikan. Thanks ya,” balasku setelah duduk. Aku meminum teh manis yang sudah disiapkan. Lalu kita sekedar berkenalan. Yang aku tau, namanya Ibas, fakultas ekonomi. Tidak ada selain itu. Aku sempat menatapnya. Tapi tak lagi berani memandangi wajahnya setelah dia memergoki kegiatan mataku. Aku malu.
“Oke, Nona. Di mana kah aku harus mengantarmu,” Ibas membuyarkan lamunanku dan membuatku sedikit kaget.
“Ohh. Setelah traffic light ke kanan. Kantor lu di mana ? Lu nggak sengaja anterin gue doank kan, Bas ?”
Ponselku bergetar, dari kepala bagian, katanya aku harus bertemu dengan klien di luar kantor pagi ini. “Gue nggak jadi ke kantor, Bas. Gue disuruh ketemu klien di kantor dia. Tar gue telfon dulu orangnya sapa tau mau diajak ketemu deket sini aja. Gue lagi nunggu kiriman kontaknya. Aduh, maaf banget ya, Bas. Lu malah jadi repot gara – gara gue. Lu telat nggak tar ? Atau gue naek taksi ajalah,” aku masih sibuk dengan ponselku. Ibas hanya tersenyum santai melihat kepanikanku. Aku sudah mendapat nomer HP dari klienku. Segera aku hubungi. Tapi sepertinya tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang dalam perjalanan.
“Kamu telfon siapa, Rin,” tanya Ibas setelah melihat ke ponselnya.
“Klien gue. Nggak diangkat nih. Apa masih di jalan ya ? Gue kirimin pesen sopan nggak ya ? Takutnya nggak berkenan. Kan gue belom tau karakter orangnya. Sapa tau galak. Gimana donk, Bas,” aku membalas Ibas dan tetap mencoba menghubungi klienku. Belum ada jawaban juga.
“Mending ke kantor aja dulu. Kalo uda ada kejelasan, kamu tinggal berangkat ke kantornya. Daripada kamu hectic gini,” saran Ibas. Kemudinya mengarah ke kantorku. Sesaat kemudian, aku sudah di kantor. Ibas memutuskan untuk menungguku di lobi kantor. Aku bergegas ke meja kerja. Dan tetap menghubungi klienku. Kali ini ada jawaban.
“Selamat pagi,” sapa klienku ramah. Dari suaranya, terdengar cukup santai.
“Selamat pagi, Pak Hendra. Saya Ariana dari perusahaan Multi. Maaf mengganggu waktunya. Pagi ini saya ada jadwal bertemu di kantor Bapak. Apakah Bapak sudah di kantor ? Atau kita bisa bertemu di luar kantor sekalian breakfast,” tanyaku hati – hati.
“Saya hampir sampai di kantor Anda. Bisa kita bertemu di lobi ?”
“Ohh, baik, Pak. Saya akan segera ke lobi. Terimakasih. Selamat pagi,” aku mengakhiri panggilan dan menghubungi Ibas.
“Hai, Bas. Klien gue uda deket kantor. Katanya mau ketemu di lobi. Tar gue sekalian turun. Lu jangan pulang dulu ya. Dah, Ibas,” aku tidak menunggu jawaban Ibas. Segera aku siapkan berkas, lalu aku sempatkan untuk mengirim laporan kepada kepala bagian tentang pekerjaan yang sudah aku lembur semalam. Lalu aku bergegas menuju lobi untuk menemui Pak Hendra yang belum aku tau seperti apa wajahnya.
Beruntunglah karena hanya aku, perempuan satu – satunya yang ada di lobi. Ibas juga masih menungguku di lobi. Dia memilih membaca koran pagi.
“Oke, Rin, mau sarapan di mana,” tanya Ibas tiba – tiba.
“Gue ada janji, Bas sama klien. Gue tadi ngajakin sarapan juga ke dia. Nunggu dia yaa,” balasku singkat.
“Iya. Mau sarapan di mana kita ?”
“Duh, Ibas. Gue itu mau ketemu klien dulu. Dan tadi gue juga uda ngajakin dia sa. . ra. . pan. . .” aku menatap Ibas yang memasang senyum kemenangan. Aku mengambil ponselku di saku blazer dan menghubungi nomer HP Pak Hendra. Ibas mengambil ponselnya dan menunjukkan layar ponselnya kepadaku. Tertera namaku di sana.
“Jadi, mau sarapan di mana kita,” tanya Ibas lagi setelah aku kembali duduk di sampingnya. Di mobilnya.
“Berarti lu udah tau dong, Bas dari gue pertama telfon tadi,” aku bertanya memastikan. Ibas mengangguk. “Kok lu nggak bilang. Nggak terima telfon gue pas di mobil,” aku memiringkan badanku dan menatap lekat Ibas. Dia merasa aku perhatikan tapi tetap melajukan mobilnya dengan santai. Hanya menoleh sesaat.
“Sengaja, Rin. Kamu keliatan manis kalo lagi bingung,” katanya sambil melihatku dan mengusap kepalaku. Lagi. Aku memanyunkan mulutku. Meninju pelan lengan kiri Ibas. “Nah, apalagi kalo kamu lagi sebel gitu. Kan lumayan tuh, aku dipegang-pegang sama kamu,” Ibas tertawa lepas. Aku kembali salah tingkah. Aku membenarkan dudukku. “Kamu gimana sama Edo,” pertanyaan Ibas kali ini, sungguh di luar dugaanku. Aku kembali menoleh ke arahnya dan mengernyitkan dahi. “Gue salah nanya ?”
“Gue nggak ada apa – apa sama Edo. Gue sih nganggep dia kayak abang gue sendiri. Secara dia juga temenan sama Evan dari mereka SMA. Busuknya Edo ya gue tau semua. Cuma gue nggak ada perasaan apa – apa sama dia. Emang nggak klik aja sama dia. Lu sendiri gimana ?”
“Aku juga sama sih. Nggak klik sama Edo,” kata Ibas singkat. Aku kembali meninju lengan kirinya. Kita tertawa. “Aku udah punya cewek, Rin. Tahun depan kita tunangan. Kamu ?”
“Aku sendiri aja,” aku mendadak jadi susah bicara. “Kamu uda lama pacaran ?”
“Dari lima tahun yang lalu,” Ibas menjawab singkat. “Semalem Edo cerita tentang kamu, Rin. Semuanya. Tapi ya udahlah. Itu masa lalu kamu. Jadikan pengalaman biar nggak jatuh lagi nantinya. Biar kamu lebih ati – ati lagi,” Ibas mengusap kepalaku lagi. Entah dibawa kemana, tapi mobil Ibas sudah berhenti dekat gerobak bubur ayam. Dia turun memesan dua porsi dan kembali masuk mobil. Agak penuh memang, sampai kursi yang disediakan pembeli kurang. Tak lama, seorang lelaki mengantar dua mangkok bubur ayam dan dua botol the ke mobil Ibas.
Tak terlalu banyak percakapan antara aku dan Ibas selama menikmati sarapan. Selesai membayar, Ibas melajukan mobilnya menuju taman kota. Lalu kita membahas pekerjaan yang memang diserahkan kepada kita. Setelah berdiskusi, kita memutuskan kedua perusahaan akan melakukan kerja sama dalam waktu satu tahun ke depan. Sebagai uji coba. Jika memang cocok, akan tetap berlanjut. Hal ini tentu akan berpengaruh pada frekuensi kita bertemu.
“Rin, aku mau cerita tapi kamu jangan marah ya,” Ibas membuka obrolan setelah diskusi tentang pekerjaan kita selesai. Dan sekarang kita sedang duduk di kafe, dekat taman kota. “Aku pernah suka sama kamu.” Aku tersenyum. Meski pun sebenarnya aku dibuat bingung dengan pengakuan Ibas. “Dulu waktu kamu pingsan. Aku nungguin kamu sampai sadar. Karena waktu itu cukup banyak yang tepar kayak kamu. Dan tim kesehatan kekurangan tenaga, jadi aku ikut bantu. Tapi bodohnya aku dulu, aku nggak nanya kontak kamu. Cuma tau nama kamu aja. Hari berikutnya aku masih merhatiin kamu. Tapi nggak tau gimana caranya isa ketemu kamu lagi. Pengen deketin, tapi aku nggak punya kenalan anak industri. Mau langsung deketin ke orangnya, iya kalo kamu suka aku, kalo enggak kan malu juga akunya.”
“Kenapa nggak nanya ? Aku suka nggak sama kamu, atau aku uda punya pacar belum. Kan kamu bisa nanya dulu,” aku balas bertanya. Mata Ibas lekat memandangku. Tangan kanannya meraih tangan kiriku. Aku membiarkan seorang lelaki yang mau bertunangan memegang tanganku. Aku memang merasa nyaman di dekat Ibas. Aku tak memungkiri itu.
“Aku malu, Rin. Aku belom pernah pacaran sebelumnya. Paling cuma deket aja sama cewek, tapi nggak sampe pacaran. Sekalinya pacaran ya sama yang sekarang ini,” Ibas menjelaskan. Mendadak aku merasa bersalah dengan perlakuan Ibas. Aku menarik tanganku dari genggaman Ibas. Dan dia bisa membaca kecanggunganku. “Seenggaknya aku uda bilang perasaanku ke kamu. Meski pun itu udah lama banget. Sepuluh tahun yang lalu. Nggak kerasa ya,” Ibas mencoba menetralkan suasana.
“Kalo dulu kamu bilang, mungkin nggak ya sekarang kita masih bareng,” tanyaku membuat Ibas menyipitkan matanya. “Aku juga suka sama kamu, Ibas. Tapi karena kamu nggak ada tanda – tanda akan hal itu, ya aku pikir cuma sebelah tangan aja,” penjelasanku membuat Ibas menajamkan pandangan ke arahku. “Gue suka sama elu, Bas. Meski pun itu udah berlalu. Meski pun itu udah sepuluh tahun,” aku terbata. Aku berusaha menahan air mataku. Ibas berdiri, meraih tubuhku dan memelukku. Aku tak pernah merasa senyaman ini dipeluk seorang lelaki, selain Papa dan Evan. Dia mengusap kepalaku. “Semuanya uda terlambat kan, Bas. Pengakuan kita sia – sia.”
Ibas tak berkata. Dia hanya diam dan memelukku. Membiarkan aku larut dalam tangis. Dia mengecup pipi kananku dan berbisik, “Nggak ada yang sia – sia, Rin. Setidaknya kita udah saling jujur sama perasaan kita.”
Aku kembali duduk setelah Ibas melepas pelukannya. Ibas mengulang menggenggam tanganku. Aku membiarkannya. Semakin lama genggamannya terasa lebih erat. Kita menikmati waktu berdua. Dari pagi sampai siang ini.
Ibas mengajakku untuk makan siang. Lalu mengantarku kembali ke kantor dan bertemu kepala bagianku untuk memastikan bahwa kerja sama telah disepakati. Dia juga sedikit mempromosikan aku.
Thanks ya, Bas buat hari ini,” kataku saat menemani Ibas di dalam lift. Dia mengangguk dan tersenyum.
“Makasih ya, Rin buat pengakuan kamu. Satu sama ya,” Ibas kembali mengusap kepalaku. Dia mengecup keningku, tepat sebelum pintu lift terbuka. Aku mencubit pinggangnya dan berharap di lift tidak terpasang CCTV. “Nanti sore aku jemput. Nggak usah dianterin sampe depan. Kamu balik ke meja kamu aja,” kata Ibas santai lalu memencet tombol dan membuat pintu lift tertutup.
Karena pekerjaanku sudah selesai dan urusan klien beres, aku tidak terlalu banyak berkutat dengan laptop hari ini. Hanya mengecek email dan meneruskan ke bagian yang berkepentingan. Dan hari begitu cepat menuju jam pulang kantor.
Aku sengaja tak memberitahu Ibas. Bermaksud untuk naik taksi untuk pulang. Atau meminta Evan menjemputku. Tapi ternyata Ibas sudah ada di lobi. Dia tersenyum saat aku berjalan ke arahnya.
“Lu nggak perlu repot jemput gue, Bas. Gue bisa kok naik taksi atau minta jemput Evan. Gue kan jadi nggak enak kalo lu harus bolak – balik anterin gue.”
“Nyante aja kali, Rin. Tadi aku abis anterin cewekku pulang. Terus sekalian jemput kamu. Lagian tadi aku juga uda bilang kan sama Evan kalo aku yang anter jemput kamu. Udahlah santai aja,” kata Ibas sambil membantuku membawa laptop. Aku mendadak bisu. Tak tahu apa yang harus aku katakan. “Aku tadi cerita sama dia, kalo aku abis ketemu sama temen kuliah, yang aku suka dan baru ngaku sekarang. Dia ketawa aja,” Ibas menjelaskan. Tapi aku sungguh tak tahu harus bersikap seperti apa.
“Lu cerita ke cewek lu ? Dia nggak marah,” tanyaku lanjut. Ibas menggeleng. Menurutnya jujur itu lebih baik. Dan dia tau seperti apa karakter pasangannya. Sepanjang jalan aku lebih banyak diam. Pun Ibas. Mungkin canggung. Atau lainnya. Entahlah.
Sampai rumah, Ibas langsung pamit pulang. Aku pun juga bergegas membersihkan diri dan berniat tidur lebih awal. Hari ini sangat melelahkan. Banyak kejadian tidak terduga. Dan memang karena kelelahan., selesai mandi aku tertidur sampai pagi.
Setiap hari Ibas menelfonku. Pagi hari, membangunkanku. Siang di jam istirahat, sekedar menanyakan apakah aku sudah makan. Malam sebelum aku tidur. Dan banyak hal yang kita bicarakan. Dari obrolan tentang masa kecil sampai urusan kantor.
“Cewek lu tau kan, lu sering telfon gue,” tanyaku iseng. Dia terdiam.
“Menurut kamu ?”
“Kan lu pernah cerita ke gue, lu pasti bilang ke cewek lu, lu komunikasi sama siapa aja, ketemu siapa aja. Ya gue taunya lu bilang ke dia,” lanjutku mendesaknya memberi jawaban.
“Untuk yang pertama itu, aku cerita. Setelah itu aku nggak bilang ke dia,” dia tegas. Aku yang dibuatnya diam. “Nggak mungkin jugalah aku cerita ke dia kalo aku intens hubungi kamu, Rin.”
“Lu nggak takut ?”
“Kan aku udah bilang di awal itu. Dan dia udah tau. Tapi setelah itu, aku nggak pernah cerita lagi. Jadi ngapain mesti takut. Aku juga tau gimana cewekku.”
“Bukan. Bukan takut sama cewek lu. Maksud gue, lu nggak takut kalo lu jatuh cinta sama gue,” aku tertawa. Ibas juga tertawa. Tapi tak ada jawaban dari pertanyaankku.
Setelah itu, kita semakin dekat, Ibas juga semakin sering menelfonku. Kadang jika aku tak bisa menerima telfonnya, dia hanya mengirimkan pesan singkat. Beberapa kali dalam seminggu, kita pasti bertemu untuk sekedar ngobrol. Entah siang saat makan siang, atau sore setelah menjemputku.
Dan kenyamanan bersama Ibas, terkadang membuatku lupa, bahwa dia akan bertunangan. Enam bulan sudah kita dekat. Rasanya masih seperti kemarin saja aku pingsan, di mana Ibas lah yang menolongku. Rasanya baru saja aku jatuh hati pada Ibas di awal aku menjadi mahasiswi. Itu sudah sangat lama. Sudah sepuluh tahun yang lalu. Hampir sebelas tahun. Tetapi perasaan itu entah bagaimana caranya, tumbuh. Rasanya tak sama seperti dulu. Rasanya berbeda. Dulu aku dan Ibas saling suka tapi tak ada yang mengatakan. Tak ada yang memiliki hati kita. Sedangkan sekarang, aku menyimpan rasa, yang entah bagaimana dengan perasaan Ibas. Bahkan aku tak berani bertanya kepadanya. Apakah dia masih menyimpan perasaan itu ? Ataukah perasaan itu kembali muncul setelah pengakuanku. Meski pun dia akan bertunangan. Atau mungkin, dia tak memiliki perasaan apa pun kepadaku saat ini.
Ibas mengajakku makan malam. Aku mengiyakan. Dia menjemputku di rumah. Kebetulan Evan sedang tidak ada di rumah. Jadi dia tidak perlu berbasa – basi ala lelaki dengan Evan.
“Minggu depan aku tunangan, Rin,” kata Ibas berat dan membuatku serasa ditampar. Jadi selama ini dia tidak menyimpan perasaan apa pun terhadapku. Baiklah. Setidaknya aku tau.
“Baguslah,” jawabku singkat. Aku tak tau kalimat apa yang pantas untuk menjawabnya. Aku berusaha tetap makan nasi goreng langganan Ibas, yang enam bulan terakhir ini menjadi langgananku juga. Semakin lama, aku tidak dapat melihat dengan jelas. Karena air mataku keluar begitu saja. Ibas tau aku menahan tangis. Dia menyingkirkan piringku dan membenamkan kepalaku di dadanya. Beberapa saat kemudian dia membayar dan membawaku kembali ke mobil.
Aku hanya duduk dan menutup mukaku. Aku menangis. Tak bisa aku tahan lagi. Aku tak tau apa yang aku tangisi. Tapi aku tak bisa berpura – pura, aku baik – baik saja dengan kabar Ibas.
“Rin, maaf ya kalo aku uda terlalu jauh membawa kamu. Aku nggak bermaksud mempermainkan perasaan kamu. Tapi aku juga nggak bisa bohong. Perasaanku sama kamu dulu, tumbuh dengan sendirinya. Nggak bisa aku tahan. Nggak bisa aku paksakan buat berhenti. Meski pun aku tau ini salah. Dan pasti akan berakhir saling menyakiti. Semoga kamu ngerti,” Ibas menjelaskan dengan hati – hati. Takut melukai perasaanku.
“Gue yang salah, Bas. Harusnya gue tau diri, harusnya gue nggak jatuh cinta lagi sama lu. Harusnya gue nggak buka hati gue dan membiarkan memori kita satu dekade ini terulang. Yang akhirnya bikin gue ngrasa nyaman sama elu. Harusnya gue isa nahan perasaan gue. Harusnya gue nggak usah nanggepin perhatian lu. Harusnya gue tau, lu uda dimilikin orang lain,” aku terisak. Ibas menggenggam tanganku. Sesekali dia menyeka air mataku.
“Bukan kamu yang salah. Nggak ada yang salah. Kamu bisa ngatur pikiran kamu, Rin. Tapi kamu nggak bisa ngatur perasaan kamu. Bahkan yang menurut orang lain salah. Itu benar buat kamu,” Ibas masih menggenggam tanganku. “Aku jatuh hati lagi sama kamu. Aku jatuh cinta sama kamu. Tapi aku nggak bisa melepaskan dia. Kamu bukan pelampiasan saat aku jenuh dengan dia. Kamu bukan pelarian saat aku ada masalah dengan dia. Kamu sesuatu yang aku kejar dulu. Dan Tuhan kembali memberiku kesempatan untuk mengejar kamu. Tapi aku memilih untuk tetap diam dalam ketidakberdayaanku. Aku nggak bisa melepaskan dia, Rin. Maaf.”
Ibas mengantarku pulang. Evan sudah di rumah. Ibas mampir sebentar sekedar menyapa Evan yang ternyata sudah hampir tidur.
“Aku pulang ya, Rin,” dia merapikan rambutku. Mengusap pipiku. “Kamu jaga diri. Jaga kesehatan,” lanjutnya lagi. Aku mengangguk. “Ariana, one last kiss, for us, please,” Ibas menggenggam tanganku. Mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku bisa merasakan nafasnya yang hangat. Dia melepaskan genggaman tangannya dan memegang pinggangku. Bibirnya menyentuh bibirku. Ku biarkan. Sedetik. Dua detik. Aku membalas ciumannya. Sedetik. Dua detik. Hingga lima detik.
Ibas memelukku erat. Sangat erat. Aku terbenam dalam dadanya. Membiarkan harapanku lebur dalam dekapannya.
Setelah malam itu, aku tidak lagi menghubungi Ibas. Meski pun Ibas masih sering menghubungiku. Aku abaikan. Dan saat diundang di acara pertunangannya, aku beralasan sedang tidak enak badan. Evan yang datang. Karena mereka memang berteman.
Semua sudah berlalu. Aku tetap Ariana yang dipuja Edo. Tapi masih saja aku belum bisa membuka hatiku pada lelaki aneh itu.
Aku mengirimkan email kepada Ibas. Satu hari sebelum dia menikah. Sekalian permintaan maaf karena tidak bisa hadir di resepsi pernikahannya. Bukan menghindar. Tapi memang itu terlalu menyakitkan buatku.
Kau banyak menyimpan cerita yang ingin ku dengar
Aku masih ingin lebih lama bersamamu
Masih memiliki gejolak untuk memilikimu
Tapi aku menyadari siapa diriku
Dan di mana aku berdiri
Rasanya tak pantas aku di sana
Menjadi bagian dari kebimbangan hatimu
Maka ku biarkan mimpiku punah
Aku biarkan sedihku musnah
Demi bahagiamu
Dengan pilihan hatimu
Ariana, 280116



Agatha, 280116

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu

hujatan cinta

teruskan saja menghujatku yang kau hujatkan adalah kebencian yang terbungkus cinta kau tak menyadari bahwa cintamu terlalu dalam tapi memaksakan kau tak bisa memiliki cintaku dan kau hujani aku dengan makian semakin kau menghujatku semakin mereka akan tau siapa yang pantas dicintai dan siapa yang harus mencintai meski sampai mati

Biasa yang Tak Biasa

kita pernah ada di satu waktu yang tak biasa di saat kau berdua dan aku sendiri lalu kita terbiasa dengan yang tak biasa membiasakan menanyakan kabar terbiasa mengingatkan memberi kabar hingga yang tak biasa, menjadi biasa kemudian kita ada di satu sisi yang tak biasa ketika kau merasa memilikiku dan aku menganggap kamu kekasihku entahlah. . . bukankah kita sudah terbiasa dengan yang tak biasa dan membiasakan hal yang tak biasa menjadi biasa ahhh. . . rasanya kita perlu mengisi pikiran kita dengan hal yang biasa karena kita terlampau sering menjalani hubungan,    yang tak biasa agatha tbrm020216