Aku sedang mengantri dalam sebuah barisan kasir yang cukup
panjang. Aku terus mengutuk kakakku, Evan, karena dialah penyebab aku masih
terjebak dalam kerumunan pecinta makanan cepat saji.
Masih ada empat orang di depanku. Dan kelelahanku berdiri akan
berakhir. Ponselku bergetar.
“Dek, lu masih lama nggak ngantrinya ? Masih berapa orang di
depan lu sekarang,” suara Evan yang terdengar dari ponselku terkesan santai dan
tanpa dosa.
“Masih ada empat nih, Bang. Lu nggak usah bawel deh. Gue uda
capek banget ini,” balasku dengan kesal.
“Nah justru itu. Lu balik aja gih. Edo ke sini. Dia bawain.
Persis sama yang gue pesenin ke elu. Hehee. . . lu balik aja ya, Dek,” Evan
menahan tawanya. Tak tega sebenarnya. Aku langsung memutus panggilannya.
Mengambil nafas panjang dan keluar dari barisan.
Evan dan Edo tertawa tak sopan saat aku memasuki rumah. Aku
hanya berjalan cuek dan tak menghiraukan mereka.
“Kucel banget sih muka lu, Rin. Abis diapain lu,” celetuk
Edo lalu disambung dengan tawa menggelegar dari Evan.
“Nih. . . lu tanya aja sama tangan gue. . . Males banget,”
kataku sambil terus berjalan ke dapur sambil memasang tangan kanan ke hadapan
mereka.
“Sori, Dek. Gue gak tau kalo Edo ke sini. Nah pas banget dia
beliin gue. Daripada elu kelamaan kan mending gue suruh pulang aja,” Evan terus
membuntutiku di dapur karena merasa bersalah, tetapi Edo tetap tak menghentikan
tawanya. Bahkan sampai memegangi perutnya. Dia baru berhenti, setidaknya
berusaha berhenti tertawa, saat ponselnya berdering. Dan aku sangat benci dengan
nada dering ponselnya. Suara wanita sedang mendesah. Itu sangat menjijikkan.
“Hei, Bro. Gimane
nih ? Jadi lu nyusul kemari,” sepertinya akan ada pria yang datang. “Ohh, gitu.
Ya udah, tar lu kelar langsung ke sini aja,” lanjut Edo lagi. “Bu kos di sini kece.
Betah deh lu,” Edo tersenyum dan melirik ke arahku. Aku menjumput kentang
goreng Evan dan melemparnya ke muka Edo. “Udah yee, gue tunggu,” Edo meletakkan
ponselnya dan bermaksud mengejarku. Membaca gelagat Edo, aku berlari
menghindarinya dan masuk ke kamar.
“Beresin tuh ruang tamu ! Kalo enggak, gue usir paksa lu dan
kompeni lu,” teriakku dari balik pintu kamar. Aku tau Edo masih di depan pintu
kamarku.
“Iya nona manis. Apa sih yang enggak buat elu ? Lu minta gue
jadi jelek pun gue rela. Gue ikhlas deh. Demi Ariana seorang,” Edo menggombal.
“Rin, mandi gih. Temen gue tar ke sini. Gue kan perlu ngenalin calon pendamping
hidup gue juga.”
“Elu tuh berenti mimpi deh. Jangan tidur mulu. Sana beresin ruang
tamu. Sampe gue kelar mandi tuh ruang tamu belom beres, gue usir,” aku
mengancam Edo. Di kejauhan, aku mendengar Evan kembali meledakkan tawanya.
Selesai mandi, aku bermaksud ingin membuat kopi. Aku membawa
beberapa berkas kantor yang harus segera aku kerjakan. Dan itu memaksaku untuk
begadang malam ini.
“Rin, mau ngapain ? Sini dulu kenapa sih,” tanya Edo
menghentikan langkahku menuju dapur. Ada lelaki asing di ruang tamu. Mungkin
itu teman Edo dan Evan
“Sini, Dek. Kenalin nih temen kita,” Evan ikut menimpali.
Aku pun menunda membuat kopi dan memilih bergabung dengan para lelaki di sana.
Mendudukkan tubuhku di sofa. Di sebelah kanan Evan.
“Kenalan sendiri aja lah. Udah gede juga,” kata Evan singkat
lalu bangkit dari duduknya dan menyuruhku menggeser posisi, sehingga lebih
dekat dengan lelaki itu.
Aku menyodorkan tangan lebih dulu. “Ariana.”
Dia memperhatikanku lebih lama. Seperti mengingat sesuatu.
“Ariana ? Ariana, teknik industri ? Angkatan dua ribu lima,” lelaki itu
menebak. Aku mengangguk. Tapi aku tak mengenali wajah lelaki itu. “Kamu
keliatan lebih feminin. Nggak setomboy
dulu.”
Edo mengerutkan dahi. Mencoba membaca warna mukaku dan
akhirnya bertanya, “Kalian udah kenal ?”
“Gue nggak inget. Sapa yaa,” kataku polos menjawab Edo
sekalian berterus terang kepada lelaki itu, bahwa aku sungguh – sungguh lupa siapa
dia.
“Gue Ibas. Dulu gue jadi panitia penerimaan mahasiswa baru
pas angkatan lu,” lelaki itu berusaha membuatku mengingatnya. Tapi nihil. Aku
belum ingat. “Yang nolongin kamu pas kamu pingsan.”
Aku menepuk keningku, “Ibas ? Anak ekonomi ? Yang gendong
gue itu ya ? Iya. . . iya. . . gue inget. Apa kabar lu sekarang ? Beda sih sama
yang dulu.”
Edo hanya bisa melihatku dan Ibas hanyut dalam memori
sepuluh tahun lalu. Belum banyak kata yang bisa terucap. Aku masih begitu
terhenyak saat dipertemukan kembali dengan Ibas. Aku ke dapur, bermaksud
membuatkan minum untuk para lelaki yang sedang berbincang.
“Gue buatin kopi nih. Sekalian gue bikin buat lembur tar.
Diminum gih,” kataku sambil meletakkan di meja yang sudah penuh dengan makanan
ringan. Setelah bertukar nomer HP dengan Ibas, aku masuk kamar dan mulai bergumul
dengan berkas pekerjaan.
Sudah lebih dari jam sebelas malam, aku masih mendengar
suara Edo dan Ibas. Evan mungkin sudah terkapar. Tak lama, pintu kamarku
diketuk. Edo memanggilku. Aku tak menyahut. Dia kembali memanggilku dan tetap
mengetuk pintuku. Aku abaikan. Terdengar langkahnya menjauh. Lampu ruang tamu
dimatikan, entah oleh siapa. Kemudian hanya hening yang tersisa. Aku menikmati
kehangatan selimut yang menjagaku dari dingin. Sudah lebih dari tengah malam.
“Dek, bangun. Udah siang nih. Lu kerja nggak ? Gue uda mau
berangkat. Bareng nggak lu sama gue,” Evan berteriak dan menggedor pintu
kamarku. Aku sebenarnya sudah siap. Tinggal membereskan berkas yang semalam
tercecer.
“Iye. Gue uda siap kok, Bang. Tungguin. Tar lagi gue keluar.
Jangan lu tinggal,” balasku tak kalah berteriak. Aku kemudian keluar kamar dan
ke dapur. Duduk dengan manis sambil menunggu Evan menyiapkan mobil.
“Pagi, Ariana,” Ibas muncul dengan tiba – tiba dari kamar
tamu. Terlihat rapi. Berarti semalam dia tidur di sini.
“Hei. Pagi. Loh, lu nginep ya ? Sama Edo juga,” tanyaku
sambil mengoleskan selai di atas roti tawar. Aku menawarkan juga ke Ibas. Dia
duduk di sampingku. Aku siapkan roti tawar dan segelas susu.
“Edo kayaknya masih tidur. Aku tadi selesai mandi juga masih
nyenyak dianya. Lagi mimpiin kamu kali,” Ibas membalas santai. Aku kemudian
menoleh ke arahnya dan memperhatikan dia lebih lama. Karena merasa diamati, dia
hanya tersenyum polos dan berkata, “Apa ? Bisa jadi kan ? Kan Edo suka sama kamu.
Dia juga udah pernah cerita, tapi aku yang nggak paham aja ternyata yang
dimaksud itu kamu.”
Evan berteriak memanggilku. Aku bergegas menghabiskan
sarapanku. Tapi Ibas lebih dulu keluar. Mungkin hanya sekedar menyapa Evan atau
perbincangan lelaki yang tak aku pahami. Belum sampai aku berdiri, mobil Evan
melaju dan aku ditinggal. Aku bermaksud mengejar Evan, tapi dicegah Ibas.
“Nikmati aja sarapannya. Aku uda bilang sama Evan, nanti aku
yang anterin kamu, sekalian aku ke kantor. Atau aku harus ijin ke Edo juga,”
Ibas menggodaku. Selesai sarapan, aku mengambil sepatu hak tinggi yang senada
dengan baju kerjaku.
“Banyak yang berubah ya dari kamu. Setauku kamu itu dulu
cuek. Sekarang cewek banget,” kata Ibas dari balik kemudi. “Aku sempet sih
nyari kontak kamu. Tapi karena nggak banyak kenalan juga di teknik industri,
jadi ya rada susah.”
“Dan ternyata, lu temen Evan. Sempit. Kantor lu mana sih,”
balasku singkat sambil membalas email
dari kepala bagian yang menanyakan tentang pekerjaanku.
“Masih sering pingsan ?”
“Ehh, gue itu pingsan yang kepergok elu itu cuma sekali
doank kali, Bas. Ya gimana nggak pingsan, malemnya gue begadang ngerjain tugas
nggak penting dari senior, paginya uda suruh bangun sebelum ayam melek. Dan
lagi gue belom sempet sarapan. Sampe kampus, gue suruh lari, suruh teriak –
teriak, gimana gue nggak pingsan. Coba lu yang gitu, pingsan juga lu,” aku
menyerocos penuh semangat. Ibas terkekeh.
“Kalo sekarang kamu pingsan, aku masih kuat gendong nggak ya,”
Ibas kembali tertawa. Aku meninju lengannya. “Aduhh. . . sakit tau. Tar nggak
ada yang gendong kamu loh.”
“Ibas. . . apaan sih ? Gue ngambek loh. . . Gue bilangin
Evan loh, biar nggak boleh maen ke rumah lagi,” balasku manja. Ibas mengusap
kepalaku. Aku menatapnya dalam. Rasanya nyaman. Senyaman dulu. Sepuluh tahun
lalu. Dia lalu memegang pipi kananku. Mengusapnya sesaat lalu kembali
berkonsentrasi pada kemudi mobilnya. Aku jadi salah tingkah. Aku buang
pandangan ke luar jendela.
Memori itu teringat lagi begitu jelas. Saat teriakan para
senior memberi perintah kepada para mahasiswa baru. Kondisiku sedang tidak
begitu bagus, staminaku menurun drastis. Lalu seorang senior yang berdiri di
depanku memperhatikan wajahku yang mungkin kelihatan pucat. Dia bergegas
memberitahu tim kesehatan yang bersiap di barisan belakang. Tapi seingatku
belum sempat mereka sampai di tempat aku berdiri, tubuhku sudah merasa sangat
ringan. Pandanganku kabur. Aku berusaha tetap tersadar tapi tubuhku roboh. Dan
Ibas lah yang menyelamatkan tubuhku sehingga tidak roboh menyentuh bumi.
Samar aku masih bisa melihat wajahnya. Aku sempat memegang
kaosnya, berharap agar tidak terjatuh saat Ibas setengah berlari membawaku ke
pos kesehatan.
“Hei. . . udah baikan ? Bisa duduk ? Minum teh manis dulu ya,” kata
Ibas begitu aku sadar. Dia membantuku duduk. Ada beberapa mahasiswa baru
sepertiku yang mungkin juga pingsan atau hanya merasa kelelahan.
“Makasih. Gue udah baikan. Thanks ya,” balasku setelah duduk. Aku
meminum teh manis yang sudah disiapkan. Lalu kita sekedar berkenalan. Yang aku
tau, namanya Ibas, fakultas ekonomi. Tidak ada selain itu. Aku sempat
menatapnya. Tapi tak lagi berani memandangi wajahnya setelah dia memergoki
kegiatan mataku. Aku malu.
“Oke, Nona. Di mana kah aku harus mengantarmu,” Ibas
membuyarkan lamunanku dan membuatku sedikit kaget.
“Ohh. Setelah traffic
light ke kanan. Kantor lu di mana ?
Lu nggak sengaja anterin gue doank kan, Bas ?”
Ponselku bergetar, dari kepala bagian, katanya aku harus
bertemu dengan klien di luar kantor pagi ini. “Gue nggak jadi ke kantor, Bas.
Gue disuruh ketemu klien di kantor dia. Tar gue telfon dulu orangnya sapa tau
mau diajak ketemu deket sini aja. Gue lagi nunggu kiriman kontaknya. Aduh, maaf
banget ya, Bas. Lu malah jadi repot gara – gara gue. Lu telat nggak tar ? Atau
gue naek taksi ajalah,” aku masih sibuk dengan ponselku. Ibas hanya tersenyum
santai melihat kepanikanku. Aku sudah mendapat nomer HP dari klienku. Segera
aku hubungi. Tapi sepertinya tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang dalam
perjalanan.
“Kamu telfon siapa, Rin,” tanya Ibas setelah melihat ke
ponselnya.
“Klien gue. Nggak diangkat nih. Apa masih di jalan ya ? Gue
kirimin pesen sopan nggak ya ? Takutnya nggak berkenan. Kan gue belom tau
karakter orangnya. Sapa tau galak. Gimana donk, Bas,” aku membalas Ibas dan
tetap mencoba menghubungi klienku. Belum ada jawaban juga.
“Mending ke kantor aja dulu. Kalo uda ada kejelasan, kamu
tinggal berangkat ke kantornya. Daripada kamu hectic gini,” saran Ibas. Kemudinya mengarah ke kantorku. Sesaat
kemudian, aku sudah di kantor. Ibas memutuskan untuk menungguku di lobi kantor.
Aku bergegas ke meja kerja. Dan tetap menghubungi klienku. Kali ini ada
jawaban.
“Selamat pagi,” sapa klienku ramah. Dari suaranya, terdengar
cukup santai.
“Selamat pagi, Pak Hendra. Saya Ariana dari perusahaan Multi.
Maaf mengganggu waktunya. Pagi ini saya ada jadwal bertemu di kantor Bapak. Apakah
Bapak sudah di kantor ? Atau kita bisa bertemu di luar kantor sekalian breakfast,” tanyaku hati – hati.
“Saya hampir sampai di kantor Anda. Bisa kita bertemu di
lobi ?”
“Ohh, baik, Pak. Saya akan segera ke lobi. Terimakasih.
Selamat pagi,” aku mengakhiri panggilan dan menghubungi Ibas.
“Hai, Bas. Klien gue uda deket kantor. Katanya mau ketemu di
lobi. Tar gue sekalian turun. Lu jangan pulang dulu ya. Dah, Ibas,” aku tidak
menunggu jawaban Ibas. Segera aku siapkan berkas, lalu aku sempatkan untuk
mengirim laporan kepada kepala bagian tentang pekerjaan yang sudah aku lembur
semalam. Lalu aku bergegas menuju lobi untuk menemui Pak Hendra yang belum aku
tau seperti apa wajahnya.
Beruntunglah karena hanya aku, perempuan satu – satunya yang
ada di lobi. Ibas juga masih menungguku di lobi. Dia memilih membaca koran
pagi.
“Oke, Rin, mau sarapan di mana,” tanya Ibas tiba – tiba.
“Gue ada janji, Bas sama klien. Gue tadi ngajakin sarapan
juga ke dia. Nunggu dia yaa,” balasku singkat.
“Iya. Mau sarapan di mana kita ?”
“Duh, Ibas. Gue itu mau ketemu klien dulu. Dan tadi gue juga
uda ngajakin dia sa. . ra. . pan. . .” aku menatap Ibas yang memasang senyum
kemenangan. Aku mengambil ponselku di saku blazer
dan menghubungi nomer HP Pak Hendra. Ibas mengambil ponselnya dan menunjukkan
layar ponselnya kepadaku. Tertera namaku di sana.
“Jadi, mau sarapan di mana kita,” tanya Ibas lagi setelah
aku kembali duduk di sampingnya. Di mobilnya.
“Berarti lu udah tau dong, Bas dari gue pertama telfon
tadi,” aku bertanya memastikan. Ibas mengangguk. “Kok lu nggak bilang. Nggak
terima telfon gue pas di mobil,” aku memiringkan badanku dan menatap lekat
Ibas. Dia merasa aku perhatikan tapi tetap melajukan mobilnya dengan santai.
Hanya menoleh sesaat.
“Sengaja, Rin. Kamu keliatan manis kalo lagi bingung,”
katanya sambil melihatku dan mengusap kepalaku. Lagi. Aku memanyunkan mulutku.
Meninju pelan lengan kiri Ibas. “Nah, apalagi kalo kamu lagi sebel gitu. Kan
lumayan tuh, aku dipegang-pegang sama kamu,” Ibas tertawa lepas. Aku kembali
salah tingkah. Aku membenarkan dudukku. “Kamu gimana sama Edo,” pertanyaan Ibas
kali ini, sungguh di luar dugaanku. Aku kembali menoleh ke arahnya dan
mengernyitkan dahi. “Gue salah nanya ?”
“Gue nggak ada apa – apa sama Edo. Gue sih nganggep dia
kayak abang gue sendiri. Secara dia juga temenan sama Evan dari mereka SMA.
Busuknya Edo ya gue tau semua. Cuma gue nggak ada perasaan apa – apa sama dia.
Emang nggak klik aja sama dia. Lu sendiri gimana ?”
“Aku juga sama sih. Nggak klik sama Edo,” kata Ibas singkat.
Aku kembali meninju lengan kirinya. Kita tertawa. “Aku udah punya cewek, Rin. Tahun
depan kita tunangan. Kamu ?”
“Aku sendiri aja,” aku mendadak jadi susah bicara. “Kamu uda
lama pacaran ?”
“Dari lima tahun yang lalu,” Ibas menjawab singkat. “Semalem
Edo cerita tentang kamu, Rin. Semuanya. Tapi ya udahlah. Itu masa lalu kamu. Jadikan
pengalaman biar nggak jatuh lagi nantinya. Biar kamu lebih ati – ati lagi,”
Ibas mengusap kepalaku lagi. Entah dibawa kemana, tapi mobil Ibas sudah
berhenti dekat gerobak bubur ayam. Dia turun memesan dua porsi dan kembali
masuk mobil. Agak penuh memang, sampai kursi yang disediakan pembeli kurang.
Tak lama, seorang lelaki mengantar dua mangkok bubur ayam dan dua botol the ke
mobil Ibas.
Tak terlalu banyak percakapan antara aku dan Ibas selama
menikmati sarapan. Selesai membayar, Ibas melajukan mobilnya menuju taman kota.
Lalu kita membahas pekerjaan yang memang diserahkan kepada kita. Setelah
berdiskusi, kita memutuskan kedua perusahaan akan melakukan kerja sama dalam waktu
satu tahun ke depan. Sebagai uji coba. Jika memang cocok, akan tetap berlanjut.
Hal ini tentu akan berpengaruh pada frekuensi kita bertemu.
“Rin, aku mau cerita tapi kamu jangan marah ya,” Ibas
membuka obrolan setelah diskusi tentang pekerjaan kita selesai. Dan sekarang
kita sedang duduk di kafe, dekat taman kota. “Aku pernah suka sama kamu.” Aku
tersenyum. Meski pun sebenarnya aku dibuat bingung dengan pengakuan Ibas. “Dulu
waktu kamu pingsan. Aku nungguin kamu sampai sadar. Karena waktu itu cukup
banyak yang tepar kayak kamu. Dan tim kesehatan kekurangan tenaga, jadi aku
ikut bantu. Tapi bodohnya aku dulu, aku nggak nanya kontak kamu. Cuma tau nama
kamu aja. Hari berikutnya aku masih merhatiin kamu. Tapi nggak tau gimana
caranya isa ketemu kamu lagi. Pengen deketin, tapi aku nggak punya kenalan anak
industri. Mau langsung deketin ke orangnya, iya kalo kamu suka aku, kalo enggak
kan malu juga akunya.”
“Kenapa nggak nanya ? Aku suka nggak sama kamu, atau aku uda
punya pacar belum. Kan kamu bisa nanya dulu,” aku balas bertanya. Mata Ibas
lekat memandangku. Tangan kanannya meraih tangan kiriku. Aku membiarkan seorang
lelaki yang mau bertunangan memegang tanganku. Aku memang merasa nyaman di
dekat Ibas. Aku tak memungkiri itu.
“Aku malu, Rin. Aku belom pernah pacaran sebelumnya. Paling
cuma deket aja sama cewek, tapi nggak sampe pacaran. Sekalinya pacaran ya sama
yang sekarang ini,” Ibas menjelaskan. Mendadak aku merasa bersalah dengan
perlakuan Ibas. Aku menarik tanganku dari genggaman Ibas. Dan dia bisa membaca
kecanggunganku. “Seenggaknya aku uda bilang perasaanku ke kamu. Meski pun itu
udah lama banget. Sepuluh tahun yang lalu. Nggak kerasa ya,” Ibas mencoba
menetralkan suasana.
“Kalo dulu kamu bilang, mungkin nggak ya sekarang kita masih
bareng,” tanyaku membuat Ibas menyipitkan matanya. “Aku juga suka sama kamu,
Ibas. Tapi karena kamu nggak ada tanda – tanda akan hal itu, ya aku pikir cuma
sebelah tangan aja,” penjelasanku membuat Ibas menajamkan pandangan ke arahku.
“Gue suka sama elu, Bas. Meski pun itu udah berlalu. Meski pun itu udah sepuluh
tahun,” aku terbata. Aku berusaha menahan air mataku. Ibas berdiri, meraih
tubuhku dan memelukku. Aku tak pernah merasa senyaman ini dipeluk seorang
lelaki, selain Papa dan Evan. Dia mengusap kepalaku. “Semuanya uda terlambat
kan, Bas. Pengakuan kita sia – sia.”
Ibas tak berkata. Dia hanya diam dan memelukku. Membiarkan
aku larut dalam tangis. Dia mengecup pipi kananku dan berbisik, “Nggak ada yang
sia – sia, Rin. Setidaknya kita udah saling jujur sama perasaan kita.”
Aku kembali duduk setelah Ibas melepas pelukannya. Ibas
mengulang menggenggam tanganku. Aku membiarkannya. Semakin lama genggamannya
terasa lebih erat. Kita menikmati waktu berdua. Dari pagi sampai siang ini.
Ibas mengajakku untuk makan siang. Lalu mengantarku kembali ke
kantor dan bertemu kepala bagianku untuk memastikan bahwa kerja sama telah
disepakati. Dia juga sedikit mempromosikan aku.
“Thanks ya, Bas
buat hari ini,” kataku saat menemani Ibas di dalam lift. Dia mengangguk dan tersenyum.
“Makasih ya, Rin buat pengakuan kamu. Satu sama ya,” Ibas
kembali mengusap kepalaku. Dia mengecup keningku, tepat sebelum pintu lift terbuka. Aku mencubit pinggangnya
dan berharap di lift tidak terpasang
CCTV. “Nanti sore aku jemput. Nggak usah dianterin sampe depan. Kamu balik ke meja
kamu aja,” kata Ibas santai lalu memencet tombol dan membuat pintu lift tertutup.
Karena pekerjaanku sudah selesai dan urusan klien beres, aku
tidak terlalu banyak berkutat dengan laptop hari ini. Hanya mengecek email dan meneruskan ke bagian yang berkepentingan.
Dan hari begitu cepat menuju jam pulang kantor.
Aku sengaja tak memberitahu Ibas. Bermaksud untuk naik taksi
untuk pulang. Atau meminta Evan menjemputku. Tapi ternyata Ibas sudah ada di
lobi. Dia tersenyum saat aku berjalan ke arahnya.
“Lu nggak perlu repot jemput gue, Bas. Gue bisa kok naik
taksi atau minta jemput Evan. Gue kan jadi nggak enak kalo lu harus bolak –
balik anterin gue.”
“Nyante aja kali, Rin. Tadi aku abis anterin cewekku pulang.
Terus sekalian jemput kamu. Lagian tadi aku juga uda bilang kan sama Evan kalo
aku yang anter jemput kamu. Udahlah santai aja,” kata Ibas sambil membantuku
membawa laptop. Aku mendadak bisu. Tak tahu apa yang harus aku katakan. “Aku
tadi cerita sama dia, kalo aku abis ketemu sama temen kuliah, yang aku suka dan
baru ngaku sekarang. Dia ketawa aja,” Ibas menjelaskan. Tapi aku sungguh tak
tahu harus bersikap seperti apa.
“Lu cerita ke cewek lu ? Dia nggak marah,” tanyaku lanjut.
Ibas menggeleng. Menurutnya jujur itu lebih baik. Dan dia tau seperti apa
karakter pasangannya. Sepanjang jalan aku lebih banyak diam. Pun Ibas. Mungkin
canggung. Atau lainnya. Entahlah.
Sampai rumah, Ibas langsung pamit pulang. Aku pun juga
bergegas membersihkan diri dan berniat tidur lebih awal. Hari ini sangat
melelahkan. Banyak kejadian tidak terduga. Dan memang karena kelelahan., selesai
mandi aku tertidur sampai pagi.
Setiap hari Ibas menelfonku. Pagi hari, membangunkanku.
Siang di jam istirahat, sekedar menanyakan apakah aku sudah makan. Malam
sebelum aku tidur. Dan banyak hal yang kita bicarakan. Dari obrolan tentang
masa kecil sampai urusan kantor.
“Cewek lu tau kan, lu sering telfon gue,” tanyaku iseng. Dia
terdiam.
“Menurut kamu ?”
“Kan lu pernah cerita ke gue, lu pasti bilang ke cewek lu,
lu komunikasi sama siapa aja, ketemu siapa aja. Ya gue taunya lu bilang ke
dia,” lanjutku mendesaknya memberi jawaban.
“Untuk yang pertama itu, aku cerita. Setelah itu aku nggak
bilang ke dia,” dia tegas. Aku yang dibuatnya diam. “Nggak mungkin jugalah aku
cerita ke dia kalo aku intens hubungi
kamu, Rin.”
“Lu nggak takut ?”
“Kan aku udah bilang di awal itu. Dan dia udah tau. Tapi
setelah itu, aku nggak pernah cerita lagi. Jadi ngapain mesti takut. Aku juga
tau gimana cewekku.”
“Bukan. Bukan takut sama cewek lu. Maksud gue, lu nggak takut
kalo lu jatuh cinta sama gue,” aku tertawa. Ibas juga tertawa. Tapi tak ada
jawaban dari pertanyaankku.
Setelah itu, kita semakin dekat, Ibas juga semakin sering
menelfonku. Kadang jika aku tak bisa menerima telfonnya, dia hanya mengirimkan
pesan singkat. Beberapa kali dalam seminggu, kita pasti bertemu untuk sekedar
ngobrol. Entah siang saat makan siang, atau sore setelah menjemputku.
Dan kenyamanan bersama Ibas, terkadang membuatku lupa, bahwa
dia akan bertunangan. Enam bulan sudah kita dekat. Rasanya masih seperti
kemarin saja aku pingsan, di mana Ibas lah yang menolongku. Rasanya baru saja
aku jatuh hati pada Ibas di awal aku menjadi mahasiswi. Itu sudah sangat lama.
Sudah sepuluh tahun yang lalu. Hampir sebelas tahun. Tetapi perasaan itu entah
bagaimana caranya, tumbuh. Rasanya tak sama seperti dulu. Rasanya berbeda. Dulu
aku dan Ibas saling suka tapi tak ada yang mengatakan. Tak ada yang memiliki
hati kita. Sedangkan sekarang, aku menyimpan rasa, yang entah bagaimana dengan
perasaan Ibas. Bahkan aku tak berani bertanya kepadanya. Apakah dia masih
menyimpan perasaan itu ? Ataukah perasaan itu kembali muncul setelah
pengakuanku. Meski pun dia akan bertunangan. Atau mungkin, dia tak memiliki
perasaan apa pun kepadaku saat ini.
Ibas mengajakku makan malam. Aku mengiyakan. Dia menjemputku
di rumah. Kebetulan Evan sedang tidak ada di rumah. Jadi dia tidak perlu
berbasa – basi ala lelaki dengan Evan.
“Minggu depan aku tunangan, Rin,” kata Ibas berat dan
membuatku serasa ditampar. Jadi selama ini dia tidak menyimpan perasaan apa pun
terhadapku. Baiklah. Setidaknya aku tau.
“Baguslah,” jawabku singkat. Aku tak tau kalimat apa yang
pantas untuk menjawabnya. Aku berusaha tetap makan nasi goreng langganan Ibas,
yang enam bulan terakhir ini menjadi langgananku juga. Semakin lama, aku tidak
dapat melihat dengan jelas. Karena air mataku keluar begitu saja. Ibas tau aku
menahan tangis. Dia menyingkirkan piringku dan membenamkan kepalaku di dadanya.
Beberapa saat kemudian dia membayar dan membawaku kembali ke mobil.
Aku hanya duduk dan menutup mukaku. Aku menangis. Tak bisa
aku tahan lagi. Aku tak tau apa yang aku tangisi. Tapi aku tak bisa berpura –
pura, aku baik – baik saja dengan kabar Ibas.
“Rin, maaf ya kalo aku uda terlalu jauh membawa kamu. Aku
nggak bermaksud mempermainkan perasaan kamu. Tapi aku juga nggak bisa bohong.
Perasaanku sama kamu dulu, tumbuh dengan sendirinya. Nggak bisa aku tahan.
Nggak bisa aku paksakan buat berhenti. Meski pun aku tau ini salah. Dan pasti
akan berakhir saling menyakiti. Semoga kamu ngerti,” Ibas menjelaskan dengan
hati – hati. Takut melukai perasaanku.
“Gue yang salah, Bas. Harusnya gue tau diri, harusnya gue
nggak jatuh cinta lagi sama lu. Harusnya gue nggak buka hati gue dan membiarkan
memori kita satu dekade ini terulang. Yang akhirnya bikin gue ngrasa nyaman
sama elu. Harusnya gue isa nahan perasaan gue. Harusnya gue nggak usah
nanggepin perhatian lu. Harusnya gue tau, lu uda dimilikin orang lain,” aku
terisak. Ibas menggenggam tanganku. Sesekali dia menyeka air mataku.
“Bukan kamu yang salah. Nggak ada yang salah. Kamu bisa
ngatur pikiran kamu, Rin. Tapi kamu nggak bisa ngatur perasaan kamu. Bahkan
yang menurut orang lain salah. Itu benar buat kamu,” Ibas masih menggenggam
tanganku. “Aku jatuh hati lagi sama kamu. Aku jatuh cinta sama kamu. Tapi aku
nggak bisa melepaskan dia. Kamu bukan pelampiasan saat aku jenuh dengan dia.
Kamu bukan pelarian saat aku ada masalah dengan dia. Kamu sesuatu yang aku
kejar dulu. Dan Tuhan kembali memberiku kesempatan untuk mengejar kamu. Tapi
aku memilih untuk tetap diam dalam ketidakberdayaanku. Aku nggak bisa
melepaskan dia, Rin. Maaf.”
Ibas mengantarku pulang. Evan sudah di rumah. Ibas mampir
sebentar sekedar menyapa Evan yang ternyata sudah hampir tidur.
“Aku pulang ya, Rin,” dia merapikan rambutku. Mengusap
pipiku. “Kamu jaga diri. Jaga kesehatan,” lanjutnya lagi. Aku mengangguk.
“Ariana, one last kiss, for us, please,”
Ibas menggenggam tanganku. Mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku bisa merasakan
nafasnya yang hangat. Dia melepaskan genggaman tangannya dan memegang
pinggangku. Bibirnya menyentuh bibirku. Ku biarkan. Sedetik. Dua detik. Aku
membalas ciumannya. Sedetik. Dua detik. Hingga lima detik.
Ibas memelukku erat. Sangat erat. Aku terbenam dalam
dadanya. Membiarkan harapanku lebur dalam dekapannya.
Setelah malam itu, aku tidak lagi menghubungi Ibas. Meski
pun Ibas masih sering menghubungiku. Aku abaikan. Dan saat diundang di acara
pertunangannya, aku beralasan sedang tidak enak badan. Evan yang datang. Karena
mereka memang berteman.
Semua sudah berlalu. Aku tetap Ariana yang dipuja Edo. Tapi
masih saja aku belum bisa membuka hatiku pada lelaki aneh itu.
Aku mengirimkan email
kepada Ibas. Satu hari sebelum dia menikah. Sekalian permintaan maaf karena
tidak bisa hadir di resepsi pernikahannya. Bukan menghindar. Tapi memang itu
terlalu menyakitkan buatku.
Kau banyak menyimpan cerita
yang ingin ku dengar
Aku masih ingin lebih lama
bersamamu
Masih memiliki gejolak untuk
memilikimu
Tapi aku menyadari siapa
diriku
Dan di mana aku berdiri
Rasanya tak pantas aku di sana
Menjadi bagian dari
kebimbangan hatimu
Maka ku biarkan mimpiku punah
Aku biarkan sedihku musnah
Demi bahagiamu
Dengan pilihan hatimu
Ariana, 280116
Agatha, 280116
Komentar
Posting Komentar