Aku
berjalan dengan santai dari tempat aku memarkirkan motor sampai masuk kantor.
Masih sepi. Setelah menempelkan jempol di alat yang menempel di dinding dekat
ruang resepsionis, aku duduk di sofa ruang tamu. Mengambil gadget yang ada di tas lalu mulai mengusap layarnya. Membalas
beberapa pesan di BBM, Line, dan Whatsapp.
“Hai,
Ra. Pagi amat sampe kantor,” sapa Aril yang pagi ini terlihat rapi dengan
kemeja warna coklat muda, sambil absen.
“Yoi,”
balasku singkat, sesaat melihatnya lalu kembali ke layar gadget.
“Mau
bareng,” tanya Aril yang sudah berdiri di depanku. Aroma parfumnya membuat
darahku berdesir. Wangi laut.
“Boleh
deh.”
Aku
berdiri setelah menyimpan gadget di
tas. Dan sebaiknya aku menyiapkan mental untuk berjalan bersama Aril. Apalagi
hanya berdua.
Bukan
sekedar isu murahan lagi, Aril dan aku pernah terlibat cinta. Cinta yang hanya
disimpan. Tanpa pernah diungkapkan. Cinta yang berawal dari nyaman. Lalu
mengubah yang biasa menjadi perhatian. Dari pertama kita berkenalan, bahkan
sampai setahun yang lalu aku memutuskan hubungan dengan seorang lelaki yang
sudah memacariku selama dua tahun, entah mengapa hatiku tak bisa lepas dari
Aril.
Tapi
tidak begitu dengan Aril. Dia lalu menganggapku sebagai orang biasa di
hidupnya, setelah aku menerima Evan, tiga tahun lalu. Dia sengaja menjauh dan
menjaga jarak. Aku tau niat baiknya. Dan aku menghargai itu. Tapi dia masih
saja seperti itu sampai sekarang.
“Kamu.
. . apa kabar, Ra,” tanya Aril setelah memencet sebuah tombol bertuliskan angka
tiga di sebuah ruangan sempit yang akan membawa kita ke lantai tiga.
“Baik.”
“Baguslah,”
balas Aril. Hening. “Kamu nggak nanyain kabarku, Ra,” kata Aril tanpa
basa-basi.
“Kamu
apa kabar, Mas,” tanyaku tanpa menunggu lama. Tanpa melihatnya.
“Seperti
yang kamu lihat.”
“Kamu
bisa bohongin mereka. Tapi kamu nggak bisa bohongin diri kamu, Mas.”
Aril
tersenyum. Kecewa. Kali ini aku melihatnya, melihat dia menunduk.
Pintu
lift terbuka. Aku keluar dari kotak
sempit yang membawa kita dari lantai 1 ke lantai tiga. Aril mengikuti. Tapi senyumnya
kini berubah. Orang yang melihat tak tau, ada beribu kesedihan yang dia
sembunyikan.
“Ehh,
uda jalan berdua lagi. Wahh alamat bakal ada undangan nih. Emang ya, kalo cinta
itu tetep balik lagi,” seru Rina dari balik meja kerjanya.
“Ebuset. . . Ngapain lu jam segini uda di
kantor ? Dari rumah jam berapa lu ? Uda mandi belom tuh,” tanyaku begitu tau
Rina sudah berada di kantor dan sudah sibuk dengan tumpukan berkas di mejanya.
“Ahh.
. . rese lu, Ra. Bantuin donk. Tar
ada pemeriksaan dari pusat nih. Gue baru dikasih tau Ikmal tadi pagi jam tiga.
Gila aja tuh anak. Bahan, gue tinggal di kantor, alhasil gue milih berangkat
pagi daripada tar kena semprot Ikmal.”
“Iya.
. . tar gue bantuin. Tapi nunggu proposal gue clear ya. Tinggal dikit kok. Cuma revisi anggarannya aja. Abis itu,
gue bantuin elu deh.”
“Lu
bantuin juga nggak, Ril. Lu uda free
kerjaan kan ? Bantuin yaa. Ya itung-itung tar lu isa menikmati wajah Tiara yang
selalu membayangi malam-malam kesepian lu,” cerocos Rina tanpa basa-basi.
“No, thanks,” jawab Aril singkat sambil
berlalu. Tanpa menoleh.
“Pengecut
lu, Ril. Nggak ada Tiara aja lu isa nangis darah. Giliran ada Tiara, lu nggak
punya nyali. Banci akhh lu,” seru Rina spontan. Tapi Aril tetap tak menoleh.
Dia merogoh sakunya. Mengambil ponselnya. Dan aku pun merasakan ada sesuatu
yang bergetar di dalam tasku.
“Nggak
usah dengerin Rina, Ra. Dia ember,” suara Aril terdengar melalui gadgetku.
“Kayak
nggak tau dia kayak gimana aja, Mas. Have
a great day yaa, Mas. Kalo emang free
tar bantuin kita,” balasku santai sambil melihat Rina bersorak kegirangan dalam
suara tertahan begitu tau yang meneleponku adalah Aril.
“Tuh
kan, Ra ? Lu tau sendiri kan ? Gayanya yang sok cool dan anti cinta itu. Gue tuh gemes banget sama tingkahnya yang
konyol. Bersikap seolah semua wanita itu sama. Merasa dia isa hebat tanpa
cinta. Ahh. . . bullshit tuh anak,”
Rina menyerangku dengan pendapatnya tentang Aril setelah aku menjauhkan gadget dari telinga.
“Heh,
lu kan nggak tau masalahnya dia apaan. Lu nggak ngerti apa yang bikin dia acuh
gitu. Jadi lu nggak usah deh nge-judge
dia kayak gitu. Kita nggak pernah ngerti seperti apa perasaannya,” balasku
sambil mengusap layar gadget.
“Kita
? Gue aja kali, Ra. Gue emang nggak pernah tau gimana perasaan Aril. Tapi elu ?
Elu lebih dari tau gimana perasaannya ke elu. Dan kalian cuma diem-dieman aja.
Ohh. . . God. Hati kalian kebuat dari
apa sih ? Uda sama-sama tau saling suka. Wait.
Uda sama-sama tau saling cinta, tapi kalian memilih buat diem. Kalian
mementingkan gengsi. Apa sih yang ngebutain hati kalian,” Rina memberondong
banyak pertanyaan yang aku sendiri tak tau darimana harus aku jawab.
Hampir
semua orang di perusahaan tau, bagaimana hubunganku dengan Aril. Bagaimana aku
mencintai Aril dengan segala sikap dinginnya. Bagaimana Aril bersikap acuh
kepadaku di depan banyak orang. Tapi dia begitu manis saat berdua denganku.
Apakah aku perlu merekamnya dan membuktikan kepada orang-orang ? Untuk apa ?
Buat apa ? Itu tak perlu buatku. Aku tak membutuhkan pengakuan. Aku sudah
nyaman saat dia mau berbagi sedihnya denganku, di waktu aku sudah terlelap dan
dia membangunkanku lewat teleponnya. Aku sudah senang saat dia berbagi bahagia
meski lewat BBM ketika seorang perempuan mau diajaknya menghabiskan malam
minggu berdua.
Dan
hubungan ini, seolah aku saja yang menginginkan satu hubungan serius dengan
Aril. Cuma aku. Terkesan seperti itu di mata banyak orang. Sampai mereka
menganggapku hanya menjadikan Evan sebagai pelarian karena aku tak mampu
menghancurkan bingkai besi hati Aril. Dan sepertinya bayang Aril memang tak mau
menjauh. Omongan orang membuat Evan meragukan ketulusanku. Dan puncaknya,
adalah saat Evan melihatku berbincang dengan Aril di lobi kantor. Padahal kita
membahas tentang pekerjaan. Aku pun sengaja memakai cincin di jari manis tangan
kiriku untuk membuat Aril benar-benar lenyap. Tapi justru Evan yang menjadikan
momen itu untuk mengakhiri hubungan. Dan aku baru tau, dia menduakanku selama
hampir dua tahun. Iya. Dan itu sungguh menyakitkan.hubung
Sore
hari setelah kejadian itu, tanpa sepengetahuanku, Aril menemui Evan dan
menghajarnya sampai pelipis Evan harus mendapat jahitan. Aku tidak menyalahkan
Aril. Aku juga tidak berusaha menemui Evan. Ini di luar kemampuanku. Aku tau
ada satu sisi di hati Aril yang tak mau melihatku dipermainkan. Apalagi oleh
orang yang aku percaya. Tapi ada juga satu sisi di hatiku yang begitu membenci
Evan.
Aku
pun mulai merasakan ada jarak yang semakin jauh dengan Aril. Kita tak lagi
bersapa saat berpapasan. Karena Aril masih tetap dengan acuhnya, aku pun
menjadi acuh dengan sendirinya terhadap Aril. Tapi ini bukan balas dendam. Aku
harus melupakan Aril. Walau pada kenyataannya, itu begitu sulit. Sangat sulit.
Sampai
beberapa minggu yang lalu, Aril datang ke rumah. Dengan keadaan yang sangat
buruk selama aku mengenalnya. Matanya sembab. Bengkak. Mulutnya tak lagi bisa berucap.
Tangisnya tak mampu melukiskan kesedihannya. Dia hancur. Saat dia merasa sudah
yakin pada seorang wanita, ingin mengajak wanita itu untuk menikah, tetapi
wanita itu ternyata hanya mempermainkannya. Aril hanya dijadikan pelarian saat
dia merasa jenuh dengan tunangannya. Yang menikahinya sehari sebelum Aril
datang ke rumahku.
Tapi
tak ada yang tau kesedihan Aril. Tak ada yang paham perasaan Aril. Mereka hanya
menganggap Aril, lelaki yang dingin terhadap wanita. Menganggap Aril terlalu
pemilih. Mereka tak akan pernah bisa paham hancurnya Aril. Betapa berserakan
puing-puing hatinya. Aril menyembunyikan dengan sangat rapi.
“Lu
nglamun ya, Ra ? Ebusetdah, gue
ngomong daritadi ternyata lu nggak dengerin gue. Alamak,” seru Rina. Membawaku pada alam nyata.
**
“Akhirnya.
. . kelar juga. Capek gue bantuin elu, Rin,” kataku sambil memegang pinggang.
“Makasih,
Tiara cantik. Gue traktir lunch deh. Tapi
di kantin aja ya. Gue lagi bokek,” balas Rina memelas sambil mengedipkan
matanya.
“Hi, Ladies. Gimana ? Kelar kan tanpa gue,”
Aril tiba-tiba muncul. Senyumnya manis sekali. Rina yang gregetan langsung menimpuknya dengan buku tentang pajak yang ada di
atas mejanya. Tawa kita terlepas. Riang. Sampai tangan Aril menggandeng
tanganku dan membawaku berlalu dari meja Rina.
Mendadak
riuh yang mengisi ruang kerja di lantai tiga menghilang. Semua diam. Terdiam. Semua
mata melihat ke arahku dan Aril. Melihat seorang lelaki tampan yang berbadan
tinggi dan tegap, menggandeng seorang perempuan yang terlihat seksi dengan highheel-nya. Mengikuti langkah kita
yang menghilang di balik pintu lift.
Aku
ikut diam dengan perlakuan Aril. Bahkan lift yang biasanya cepat membawa kita
dari lantai tiga ke lantai satu, terasa begitu lama. Genggaman Aril semakin
kuat.
“Ra.
. .,” Aril membuka suara. Dia memalingkan tubuhku untuk menghadap ke arahnya. Aku
masih saja diam. Tak menolak. “Maaf,” lanjut Aril sebelum akhirnya mendekatkan
tubuhnya. Aku bisa merasakan nafasnya yang begitu tertahan ketika bibirnya
menyentuh bibirku dengan lembut. Dia semakin merapatkan tubuhku dengan
tubuhnya. Sedetik. Dua detik. Sudah lebih dari lima detik bibirnya berada di
bibirku. Tangannya memeluk pinggangku. Tanganku memegang kemejanya. Sepuluh
detik. Aku mencoba mengakhiri dan membawa tubuhku menjauh darinya. Dan pintu lift terbuka. Aku melangkah keluar. Diikuti
oleh Aril.
“Kita
mulai dari sekarang, Ra. Dan kita akhiri keterpurukan hati kita. Untuk selamanya,”
kata Aril mantap saat berjalan menuju pintu lobi kantor.
“Maksud
kamu, Mas ?”
“Tiara,
maukah kamu menjadi bagian dari hidupku. Menjadi pendampingku. Sebagai istriku.
Menjadi ibu dari anak-anak kita nanti. Dan melewati hidup bersama,” kata Aril
tak terlalu lirih tapi juga tak begitu kencang. Dia kembali membawa tubuhku
untuk menghadapnya. Dia keluarkan cincin dari saku kemejanya, memegang tangan
kiriku, dan bermaksud memasangkan di jari manisku.
“Maaf,
Mas. Aku nggak bisa,” kataku lirih tak memandangnya. Aku lepaskan tanganku. Dan
Aril terlihat bingung.
“Kenapa,
Ra ? Apa terlalu lama aku membuatmu menunggu ? Apa karena kamu belum yakin sama
niatku,” Aril seperti lelaki yang takut mengecewakan orang yang disayanginya.
“Aku
nggak bisa mas. Nggak akan pernah bisa. Mungkin aku terlalu banyak berharap
sama kamu, Mas. Sampai aku nggak sadar, ada orang yang bersedia mencintaiku
tulus, meski pun aku tak pernah memalingkan sedikit pun hatiku dari hatimu. Dia
menungguku membuka hati untuk cintanya. Dan bukankah itu lebih berharga,
dibandingkan hanya memandang orang yang mencintai kita terpuruk untuk
mendapatkan cinta kita ? Aku belajar untuk mencintai apa yang aku miliki. Bukan
yang aku inginkan.”
“Bagaimana
aku bisa mencintaimu, jika aku tak memilikimu?”
“Itulah
yang aku katakan pada diriku. Gimana aku bisa mencintai kamu, Mas, kalo aku
nggak bisa memiliki kamu? Untuk apa mencintai yang nggak bisa dimiliki.
Bukankah itu akan menyakiti hati yang telah kita miliki ? Dan aku nggak mau
melakukan itu.”
“Apa
bener-bener uda terlambat, Ra ?”
“Bukan
tentang terlambat atau enggak, Mas. Maaf. Aku harus mengakhiri sebelum dimulai.
Tapi semoga jalan ini akan membawa kebahagiaan untuk kita, meski kita nggak
bisa bersatu,” kataku lalu berlalu. Menghampiri seorang lelaki yang berdiri di
samping pintu mobilnya. Yang menunggu kedatanganku. Yang tersenyum begitu
melihat langkahku menuju kepadanya.
“Hi, Sweatheart,” sapa lelaki berbadan
tinggi dengan senyum manisnya. Tak semanis senyum Aril, memang, tapi dia selalu
membuatku tersenyum.
“Hai,
Bang,” balasku sambil mengecup pipinya. Dia mengusap kepalaku.
“Siap
untuk minggu depan,” tanyanya sambil memandangku lekat.
“Aku
nggak pernah merasa sesiap ini sebelumnya. Makasih calon suamiku yang kece,”
balasku semangat sambil memeluknya.
Ara, 190615
Komentar
Posting Komentar