Suasananya masih sama. Masih
seperti dua puluh tahun yang lalu. Dan rumah itu, masih terlihat kokoh. Masih
mampu menyimpan kenangan-kenangan yang pernah terlalui.
Namun aku tak mampu mendekati
rumah itu. Hanya bisa memandangnya dalam jauh. Aku takut saat si pemilik
keluar, lalu pikiranku mengacau dan memaksa kembali ke silam.
Sejenak aku menikmati keramaian
dalam rumah itu. Keramaian yang mungkin pernah tercipta olehku.
Namaku Wisnu. Arsitek. Tiga puluh
satu tahun. Berkeluarga ? Iya. Aku tulang punggung bagi ibu dan dua adikku
setelah kepergian bapak, setahun lalu.
Menikah ? Belum terpikirkan
olehku. Aku masih ingin mengejar sukses. Ingin membahagiakan ibu dan
adik-adikku. Ingin menikmati lajangku. Dan masih ingin menikmati
kenangan-kenangan bersama seseorang di masa kecilku. Tanpa harus menyakiti
seseorang yang nantinya akan menjadi istriku.
Lebih simpelnya aku tak pernah
bisa jatuh cinta. Selain kepada seorang gadis kecil, yang selalu membawakan aku
roti isi tiap pagi.
Gadis kecil yang selalu tersenyum
saat berpapasan denganku. Senyumnya manis. Lesung pipinya menggoda. Yang selalu
meluangkan waktu untuk menemaniku bermain layangan di terik. Tanpa takut
kulitnya terpapar sinar matahari.
Yang juga menemaniku bermain di
sawah, mencari belut. Dia pula yang menjadi teman bercerita saat aku merasa
sepi. Dan selalu menemaniku menikmati terangnya purnama sambil mengkhayalkan
masa depan.
Dia pernah bertanya, apakah kelak
kita akan bertemu, dan apakah yang kita lakukan saat itu, akan kembali terulang
meski kita sudah saling dewasa.
Dalam hatiku, aku yakin Tuhan
menjodohkan aku dengan dia. Keyakinan yang mungkin terlalu berlebihan untuk
bocah lelaki seumuranku waktu itu. Sebelas tahun.
Itu malam terakhir kita menikmati
bintang di halaman rumahnya. Dan terakhir kali aku menggenggam tangannya. Tapi
itu adalah kali pertama aku mengecup keningnya.
Malam sebelum keberangkatanku ke
Bali. Karena bapak dimutasikan ke sana. Dan sejak saat itu, aku sama sekali
tidak mendengar kabarnya.
Pernah aku mencoba mencari kabar
dan keberadaannya di sosial media. Nihil. Tapi aku tak pernah berhenti mencari.
Dan Tuhan pun tau usahaku.
Puas menikmati pemandangan rumah
itu, aku melanjutkan langkahku menuju suatu tempat lainnya. Lapangan yang biasa
aku datangi untuk bermain layangan, kini hanya tinggal beberapa bagian saja.
Lainnya telah berubah menjadi ruko.
Puskesmas yang dulu ada di dekat
lapangan masih ada sampai sekarang. Bangunannya memang baru. Tapi kenangan yang
pernah terukir di sana tetap tersimpan. Dan pohon mahoni di samping puskesmas
itu, masih juga kokoh.
Aku ingat dulu pernah menyayat
dengan batu di bagian dekat akar. Menuliskan namaku dan nama gadis kecil itu.
Kerinduan menggerakkan kakiku melangkah kea rah mahoni tua.
Tanganku gemetar saat mencoba
menjamah batangnya yang tangguh. Dan ku temukan sayatan itu. Masih ada.
Sayatannya masih ada. Meski tak terlalu jelas tapi masih bisa terbaca. Aku keluarkan
kameraku dan ku jepret dari beberapa angle.
Aku duduk di bawah pohon.
Memejamkan mata. Dan tergulirlah kenangan masa itu.
Aku tak sempat menyatakan
perasaanku kepada gadis kecil itu. Yang entah seperti apa sekarang parasnya.
Aku takut akan membuatnya menjauhiku. Meski aku begitu tau, dia memiliki
perhatian lebih padaku dibanding bocah lelaki lainnya.
Aku takut jika perasaanku ini
hanya dianggap kencur di waktu itu. Takut jika yang lain menertawaiku.
Dan penyesalannya sampai saat
ini. Sampai detik ini. Yang aku sayangkan, mengapa dia tidak berusaha mencari
tau tentang aku.
Lamunanku membuyar ketika derap
langkah seseorang yang keluar dari puskesmas terdengar. Aku seperti pernah
mengenalnya. Merasa pernah mengenalnya. Tapi siapa. Teman masa kecilkukah ?
Aku hampir tak percaya. Dia gadis
kecilku. Dia alasanku kembali ke kota ini. Lesung pipinya. Dia gadisku. Aku
bisa memastikan itu dia, dari lesung pipinya. Iya. Aku yakin itu dia. Aku
berdiri dan ingin menghampirinya.
Tetapi seorang lelaki berbadan
tegap lebih dulu sampai di hadapannya. Mencium pipinya. Memeluknya sesaat.
Merangkulnya sambil berjalan menuju Willys. Impian masa kecilnya terwujud. Dia
selalu bermimpi punya kekasih yang suka dengan Willys. Seketika aku merasa, aku
bukan apa-apa. Dan dia tetap menjadi pujaan.
Tapi aku bahagia. Aku bisa
melihatnya sesaat. Meski kebahagiaan itu tak sebanding dengan leburnya hatiku.
Aku memutuskan untuk beristirahat
di hotel. Semoga akan menjadi malam yang panjang. Hingga cukup waktu untuk
memutar kembali memori bersama gadis kecilku. Aku sangat merindukanmu.
Dalam
berjuta malam
Ku
menanti dirimu
Tak
kan lelah hati ini
Walau
dirimu jauh
Namun
biarkanlah
Hati
ini selalu untukmu
Pagi ke dua di kota Yogyakarta.
Aku sudah memberanikan diri untuk berkunjung ke rumahnya. Pagi sekali aku sudah
mandi. Pukul enam aku sudah keluar dari lobi hotel. Rencananya aku akan membawa
parsel. Sekedar buah tangan. Jadi aku mampir dulu di toko buah.
Dan keterkejutanku tercipta
karena pria dengan willys sudah ada di sana. Membeli pisang. Mata kami sempat
bertemu. Dia tersenyum. Aku jadi glagepan.
Aku senyum sebisanya. Dia berlalu.
Mataku belum bisa memutus
pandangan dari geraknya. Dan parahnya si pemilik toko buah menyadari sikap
anehku. Tapi dari kekepoannya aku mendapat info. Pria itu setiap dua hari
sekali selalu membeli pisang. Mungkin buat anak kecil di rumah. Begitu kata si
ibu pemilik toko. Jadi mereka sudah menikah.
Baiklah. Aku akan segera membeli
lem untuk menyatukan hatiku yang sudah tak karuan bentuk kepingannya.
Aku sudah berada di depan pintu.
Lalu aku ketuk pintu. Langsung ada jawaban. Terdengar langkah yang memburu.
Tapi tak lebih kencang dari degup jantungku.
Wanita yang terlihat sebaya
dengan dia yang membukakan pintu. Menanyakan maksud kedatanganku.
Mempersilahkan duduk di teras. Dan dia kembali ke dalam. Setelah aku sampaikan
tujuanku.
Dan seseorang telah berdiri di
depan pintu. Melihatku. Sedikit berpikir. Seperti mengingat.
Aku berdiri menyerahkan parsel
buah. Dan aku keluarkan selembar foto. Aku berikan.
Dia melihatnya. Sepersekian detik
ku pikir jantungnya berhenti berdetak. Wajahnya penuh dengan rona
ketidakpercayaan. Dia melihatku. Tersenyum. Lalu memelukku, meneriakkan namaku
dengan histeris. Mengguncang-guncangkan badanku. Memelukku lagi. Kali ini
dengan isak.
Aku memeluknya. Mengusap
punggungnya. Menenangkan. Dan entah apa yang membuatku berani untuk mencium
keningnya.
Suasana kembali tenang tapi
tangannya tak pernah melepaskan tanganku. Seperti takut kehilangan. Dan pria
willys itu keluar menggendong bocah kecil. Aku tak enak hati. Buru-buru aku
lepaskan genggamannya.
Pria willys itu mencoba
mengingatku. Dan dia tau tadi pagi kita ada di toko buah yang sama. Kami
berjabat tangan. Lalu gadis kecilku memperkenalkan kami. Aku sedikit canggung.
Tapi pria willys itu tak hentinya menggoda gadis kecilku. Katanya setiap malam
purnama, gadis kecilku selalu memandang langit. Karena dia yakin, aku pun melihat
purnama yang sama.
Yang membuatku lega adalah pria
itu bukan kekasihnya. Tapi adiknya. Dan kegembiraan jelas terlihat di hatiku.
Dan keluarga gadis kecilku. Bocah kecil tadi adalah anak yang ditinggalkan di
puskesmas. Yang sampai sekarang diasuhnya bersama adiknya.
Sesaat kemudian tawa itu berubah
menjadi duka yang mendalam. Sebelum ayah mereka meninggal, beliau ingin melihat
gadis kecilku menikah. Tapi keinginan ayahnya tak bisa dia penuhi. Alasannya
hanya satu. Karena aku. Iya. Karena cintanya hanya buatku. Dan dia percaya bahwa
suatu saat nanti kami akan dipertemukan. Karena dia pun meyakini, kita
berjodoh.
Kekuatan cinta yang akhirnya
mempertemukan kita. Dan yang menguatkan kita untuk saling menjaga rasa.
Sepulang dari Yogyakarta, aku
menyampaikan keputusanku untuk menikah dengan gadis kecilku. Tentu ini membuat
ibu dan adik-adikku kaget. Tapi inilah alasanku mengapa waktu lalu aku belum
ingin menikah cepat. Karena aku harus menemukan tulang rusukku, yang aku yakini
adalah gadis kecilku.
Bukan
matahari bila tak menyinari
Bukan
kuntum bunga bila tak mewangi
Dan bukanlah cinta bila tidak sepenuh hati
Gadis kecil yang telah menjadi
perempuan cantik. Tapi hatinya tetap sama. Untukku.
Perempuan cantikku, Sekar.
Komentar
Posting Komentar