Langsung ke konten utama

Perjuangan untuk Sebuah Kebahagiaan



HPku bergetar.
Ada pesan masuk dari seseorang, yang tentu saja membuat mataku terbelalak.
hari ini kamu cantik, kenapa tadi pulang cepet
Aku hanya tersenyum. Dan kelamaan jadi senyum-senyum sendiri. Tapi tidak berani membalas pesan dari dia.
Kurang lebih setengah jam dari pesan masuk tadi, HPku kembali bergetar. Dia menelepon. Aku salah tingkah. Padahal dia tidak melihatku. Tau di mana aku pun, juga tidak.
“Haloo, kenapa, Mas,” sapaku sedikit tergagap.
“Hai, Tha. Kamu di mana ini,” balasnya santai.
“Emm, aku lagi di butik. Lagi mau beli baju. Kenapa ?”
“Masih lama gak ? Aku susul ya ? Boleh ?”
“Ehh, ummphh, gimana ya, Mas. Aku kalo milih baju suka lama lho. Tar kamu malah bosen. Tumben sih, ada maunya nih pasti,” godaku.
“Ada yang mau aku omongin sama kamu. Rada serius sih, Tha. Makanya ngajak kamu ketemuan. Oia, hari ini kamu keliatan cantik. Tapi kemaren juga cantik kok. Sayang, tadi kamu pulang duluan. Jadi gak bisa liat kamu lama-lama,” kata dia sambil terkekeh.
“Apaan sih. Sama aja kayak kemaren. Gak berubah kali, Mas. Gitu tuh kalo lagi ada maunya, dibilangin cantik. Cowok itu sama aja, gombal ! Ehh, Mas, aku mau milih baju dulu ya. Tar kelar beli baju, makan bareng deh. Ketemuan sekalian makan aja. Gimana,” lanjutku menegaskan.
“Gitu juga boleh. Ya uda deh, aku cabut dari kantor sekarang aja. Langsung on the way ya, Tha. See you,” dia mengakhiri telepon.
Tingkat konsentrasiku sudah pasti berkurang. Dan acara memilih baju harus delay sampai waktu yang belum bisa ditentukan.
Aku memberi kabar ke dia. Dan belum ada sepuluh menit, dia sudah menunjukkan raut muka mempesonanya di pintu masuk resto.
“Uda dapet bajunya, Tha,” tanya dia setelah duduk. Dan menjabat tanganku lalu cipika cipiki.
Rasanya seperti bermain trampolin. Terjatuh ke bawah pun, akan tetap melambung lagi. Dadaku serasa penuh dengan kembang-kembang yang gak cuma tujuh rupa lagi. Sesaat aku linglung. Dan aku sadar pasti mukaku terlihat jelek.
“Ahh, itu, emmhh, tadi bajunya jelek-jelek. Maksudku, gak ada yang cocok sama aku,” balasku menutupi bahwa sebenarnya aku sudah kehilangan konsentrasi karena sikapnya.
“Uda pesen makan,” lanjutnya tanpa begitu memperhatikan ekspresiku. Untunglah. Begitu lebih baik ketimbang dia harus tau mukaku lagi culun.
Aku mengangguk. Tentu waktu aku mengangguk dia melihatku. Setelah melihat menu.Tapi aku yakin, dia sebenarnya juga kehilangan konsentrasi. Mungkin karena melihat kecantikanku. Aku senyum-senyum sendiri. Lagi.
Selama menunggu order, aku hanya diam. Dia juga diam.
“Mau ngomongin apa ?”
“Ada yang mau aku omongin.”
Kami saling bertanya. Bersamaan.
“Kamu dulu,” jawab kita lagi. Berbarengan.
Diam kembali datang. Baiklah. Aku memilih diam. Menunggu sampai dia kembali bertanya. Tapi keburu pesanan kami datang.
“Makasih ya, Mba,” kataku ke pelayan setelah selesai menghidangkan pesanan di meja kami.
“Tha,” dia memulai percakapan.
“Hmm,” balasku singkat.
“Pertama, aku mau bilang kamu cantik,” katanya setelah menyeruput jus mangganya.
“Kedua,” balasku.
“Kedua, makasih uda meluangkan waktu buat nemenin aku.”
“Intinya aja deh, Mas. Kamu gak pantes jadi tukang gombal. Gak bakat,” lanjutku diimbangi senyum yang mungkin terlihat menggoda.
“Hahh, gak bisa ngrayu kamu. Kamu terlalu jutek sih. Jatuhnya malah takut salah ngomong, trus malah jadi kikuk. Ternyata bener kata Tomi. Kamu itu jinak-jinak merpati. Susah digombalinnya,” lanjutnya lagi sambil menggulung spaghetti di garpunya.
“Tomi ? Tuh jomblo satu, gak kelar-kelar juga hidupnya. Masih aja gak bosen ngejar aku. Uda ditolak puluhan kali juga tetep ngejar aja. Tapi keren juga sih usahanya bikin aku melting,” balasku sambil ngemil kentang goreng pesananku.
“Mau, Mas,” lanjutku lagi menawarkan kentang. Dan dia membuka mulutnya. Kalo gak salah tanggap sih, berarti dia minta disuapin. Oh, damn. Bikin salah tingkah.
Aku menyuapkan kentang. Dan dia semakin membuatku salah tingkah karena senyumnya. Dan tangannya yang tiba-tiba menggenggam tangan kiriku.
Parahnya, aku hanya diam. Tidak berusaha melepas atau setidaknya menghindari tangannya.
Kita diam sampai makanan kita habis. Tersisa jus mangganya. Dan sedikit float pesananku. Tapi dia sudah memanggil pelayan untuk meminta bill. Lalu mengambil selembar uang kertas merah. Tentu tangannya sudah tidak lagi menggenggam tanganku.
“Makasih ya, Mas. Uda nraktir makan. Meski pun belom tau juga modusnya apa. Kalo cuma karena aku cantik hari ini juga gak mungkin deh. Tar aja aku semedi, sapa tau dapet wangsit,” kataku sambil membereskan beberapa smartphone yang tadinya menggeletak di meja.
“Tha, ada tawaran buat ngisi staf di divisiku. Jadi asistenku. Kamu mau ya,” katanya serius. “Kamu kan pernah cerita pengen pindah divisi. Ini ada lowongan. Langsung jadi asistenku pula. Banyak yang ngincer lho,” lanjutnya lagi. Masih tetap serius.
“Apa yang bikin kamu yakin aku mau nerima tawaran kamu, Mas,” balasku tak kalah serius.
Dia diam sesaat. Menghabiskan jus mangganya. Lalu memundurkan kursinya. Aku masih duduk manis, menyenderkan punggungku di kursi. Dan menatapnya lekat. Setiap gerakannya.
“Aku mau kamu pikirin lagi tawaranku. Karena aku pengen, kamu yang jadi asistenku. Bukan yang lain. Tapi kamu, Tha. Besok pagi aku jemput kamu. Siap jam setengah tujuh ya. Kita breakfast dulu sebelum ke kantor. Oia, aku mau, besok kamu pake ini,” katanya sambil meletakkan tas belanja yang bisa dilihat jelas itu merk yang lumayan mahal. “Aku duluan ya, Tha. Makasih uda nemenin. See you tomorrow, Cantik,” lanjutnya lagi sambil mendekatiku. Sedikit membungkukkan badannya. Mengecup pipi kiriku sementara tangan kanannya menggenggam tanganku.
Freeze. Aku diam saja. Seperti terhipnotis perilaku manisnya. Andai waktu bisa berhenti, aku berharap saat ini bisa di pause. Setelah dia menghilang dari pandangan. Baru aku keluar dari resto. Masih dengan senyum-senyum dan kadang mengelus pipiku di sepanjang perjalanan.
Sampainya di rumah aku langsung masuk kamar. Mencari tau, barang apakah yang dia berikan, dan yang dia minta untuk aku pakai besok.
Ohh my God ! Blouse lengan setali yang lebarnya sampai bahu, dengan V neck yang agak rendah, ukurannya juga terkesan agak kekecilan di badanku.
bukan gag tw ukuran kamu, tapi sengaja pilih itu
Pesan singkatnya memecah tanda tanya yang terbang di kepalaku. Tapi kalo uda tau itu kecil buat aku, kenapa harus dibeli. Kadang dia juga terkesan konyol.
uda tau kecil kenapa masih dibeliin juga ? aneh kamu mas
Setelah mengirim pesan berupa retoris, aku langsung terkapar di tempat tidur yang sudah merindukan tubuhku.
“Halo, Cantik. Selamat pagi. Uda bangun belom,” sapanya di ujung telepon.
“Selamat pagi juga, Mas. Uda donk,uda mandi juga. Kamu uda mandi,” balasku sambil meniup coklat panas yang sudah disiapkan mama.
“Aku on the way jemput kamu nih. Semalem aku susah bobok, jadi bangun kepagian banget. Kamu uda siap belom,” lanjutnya lagi.
“Matiin aja teleponnya. Masih di jalan. Bahaya tau, nyetir sama telponan. Aku tunggu di rumah ya, Mas. Dadahh. Ati-ati di jalan,” aku memutus panggilan. Lalu bergegas merapikan diri.
Setengah jam berlalu. Aku sudah siap. Tapi dia belum juga datang. Aku menilik layar HP berulang. Tapi tidak berani menelepon atau mengirimkan pesan singkat. Aku memilih menunggu saja. Kalo dia bilang mau jemput, berarti dia jemput.
Aku memilih keluar kamar. Begitu menuju ruang tamu, sudah ada sesosok lelaki yang duduk di kursi tamu sambil terpana melihatku. Dia menebarkan senyum paling manisnya yang belum pernah aku lihat. Saking manisnya, sampai aku jadi patung sedetik karena terpesona.
“Tha, kok malah diem sih. Itu uda ditungguin temennya kok. Sana buruan berangkat. Nanti telat sampe kantor,” kata mama membuyarkan. “Nitip anak, Tante ya,” lanjut mama menitipkan aku ke dia. Mama pikir anaknya yang cantik ini barang yang bisa dititipkan.
Sepanjang perjalanan kita memilih diam. Aku diam. Dia diam. Akhirnya kita sampai kantor. Dan kita lupa untuk mampir sarapan. Baiklah. Pagi ini mungkin akan menjadi sedikit berantakan. Karena perutku hanya terisi coklat panas.
“Kamu cantik, Tha,” katanya singkat. Tanpa menoleh. Apalagi melihatku. Tapi tangannya menggenggam tanganku sepanjang langkah dari tempat parkir menuju lobi kantor. Dan aku menurut saja.
Banyak mata yang menyaksikan sikap romantisnya. Tapi aku malah yang salah tingkah. Mereka pasti mengira aku ada hubungan dengan dia. Padahal, dia menyatakan cinta juga tidak. Arau mungkin belum.
“Enggak enak, Mas. Diliatin banyak orang. Dikira kita nanti ada hubungan,” kataku sambil berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya. Dia melepaskan. Lalu berjalan mendahuluiku menuju ruangannya. Tanpa kata. Tanpa bicara. Tanpa menoleh.
Sampai jam pulang kantor, jangankan menyapaku. Mengirim pesan singkat atau telepon pun tidak. Sikap macam apa ini. Dia pikir, siapa dia. Dia siapaku. Dia mau menyapa atau tidak itu hak dia.
Aku merapikan meja kerjaku. Dan keluar dari ruangan. Ada beberapa teman kantor yang memperhatikan. Mungkin karena adegan dia pagi tadi. Apalagi dia berposisi sebagai salah satu orang yang sedikit penting di perusahaan.
“Tha. . .,” Tomi mengejar langkahku. Dadanya kembang kempis. Aku tetap berjalan. “Ehh, tunggu donk. Gue dapet info dari anak-anak, lu jadian sama dia ?”
“Besok lagi kalo cari informan yang canggih yee,” balasku tanpa menoleh. Langkahku menjadi perhatian di lobi kantor. Aduh. Saat ini aku benar-benar butuh topeng. Aku ingin lari.
“Jalan aja terus. Gak usa nengok. Gak usa liat aku. Nurut sama aku. Jangan lepas genggamanku. Please, Tha,” kata seseorang yang entah dari mana datangnya. Yang tiba-tiba menggandengku. Dan aku menurut saja. Aku ini kadang sedikit payah. Iya kalau baik. Kalau jahat ?
“Mas,” balasku di tengah perjalanan menuju parkir. Tapi aku tetap tidak berani melihatnya.
Dia merangkulkan tangannya di pundakku. Dan dia menyuruhku untuk melingkarkan tanganku di pinggangnya. Sampai akhirnya kita masuk ke armada taksi yang sudah menunggu.
“Maaf atas sikapku tadi pagi, Tha,” katanya sambil melepas topi, kacamata hitam, dan jaketnya. “Aku minta nomer HP mama kamu. Aku mau minta ijin buat ngajak kamu makan dulu. Kamu dari tadi belom makan. Kamu pucet. Kita makan dulu ya,” lanjutnya lagi.
Dia mengusap kepalaku dan membiarkannya menyandar di bahunya. Rasanya nyaman. Meski pun kita tidak memiliki hubungan apa pun. Tapi kenapa aku merasa dia peduli terhadapku. Padahal selama ini dia terkenal sebagai lelaki yang pendiam, cool, low profile, dan dingin kepada wanita.
Dia masih menelepon mama, memberitahu kita pulang telat karena mampir makan sekalian. Dia juga bertanya, mama mau dibawakan apa. Kenapa bisa begitu akrab sama mama. Seperti anaknya sendiri.
“Tha, bangun dulu yuk. Kita uda sampe nih,” bisiknya sambil memegang tanganku perlahan. Takut aku kaget.
“Aku tidur ya, Mas,” tanyaku sambil mengusap mukaku. Jaket yang tadi dia pakai, dia pakai sebagai selimutku. Aku turun setelah dia membukakan pintu taksi. Dia menggandengku. Dia memperlakukanku seperti kekasihnya. Aku menikmati ini. Menikmati saat-saat ini.
Kita sudah lama kenal. Karena berbeda divisi, range pertemuan kita jadi jarang. Ada beberapa teman yang memberitahu bahwa dia sering menanyakan tentang aku. Dulu kita pernah saling mengagumi. Entahlah. Kita tidak bisa bersikap wajar dan biasa. Tapi sekarang, letupan-letupan itu kembali muncul. Berharap ada yang terbakar. Membakar gelora kita untuk saling memiliki.
###
Setelah makan malam itu, kita semakin dekat. Pertemuan kita lebih intens. Tetapi tidak kita lakukan di jam kerja. Kita professional. Bahkan aku tidak jadi pindah divisi dan menyanggupi permintaannya sebagai asisten. Karena aku tidak mau, loyalitas kerjaku dinilai buruk karena hubungan spesial dengan si A, si B, si itu, si anu.
Dua belas hari setelah makan malam itu, dia mengajakku ke butik. Katanya mau membelikanku dress untuk dipakai di acara pernikahan temannya. Masih agak ragu menerima tawarannya. Kalau aku datang bersama dengan dia, teman-temannya, teman dari temannya, saudara dari temannya yang berteman dengan dia, akan tau dia mengajak seseorang. Dan itu adalah aku.
Dia merayuku. Membujukku untuk mau menemaninya. Dan dia berjanji, kita hanya sebentar di acara resepsi. Baiklah. Aku tidak tega juga melihatnya memelas kepadaku.
“Makasih ya, Tha. Kamu baik deh. Besok jam sembilan, aku jemput kamu ya di rumah. Dandan yang cantik. Biar semua terpesona sama kamu,” kata dia sambil menggandeng tanganku keluar dari butik.
“Loh, emang mau kemana ? Tunggu, tunggu,” aku memutus pertanyaanku. Menghadapkan wajah polosnya ke mukaku yang serius. Dia tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa. “Maasss,” aku berteriak gemas sambil mengejarnya yang berlari ke area parkir.
###
aku mau kamu jadi ratu di hatiku, selamanya
bersediakah kamu ?
Pesan singkat yang dikirim semalam, masih belum aku balas. Aku tidak berani memberi jawaban. Aku belum yakin. Aku belum bisa menentukan arah hatiku.
Pukul sembilan tepat, dia sudah sampai rumah. Dress yang aku pakai dan kemeja yang dia kenakan, senada. Ternyata dia sengaja membuat kita terlihat serasi.
Sampai di tempat resepsi, dia memperlakukanku seperti putri. Tidak canggung menggandeng dan mengenalkanku ke beberapa temannya.
“Eh, Bro, nitip bentar ya, gue mau ke toilet nih,” dia berpesan ke temannya. Namanya Indra. “Tha, kamu sama Indra dulu ya. Tenang, dia uda jinak kok. Gak usah takut,” katanya lagi ke aku.
“Temen kalian yang nikah yang cowok apa yang cewek,” aku bertanya iseng.
“Semua temen kita, Non. Temen jaman kuliah dulu. Mereka cinta kilat. Yang cewek, pernah pacaran sama cowok lu. Udah serius juga sih. Tapi gak tau kenapa mereka bubar. Padahal uda cocok banget lohh. Yahh, yang namanya jodoh mana ada yang tau. Sekarang dia malah jadi cowok lu,” Indra menjelaskan. Tapi aku hanya tersenyum. Bersikap apa yang aku dengar dari Indra hanya sebuah berita lewat yang tidak perlu aku ingat.
“Sori, Tha, lama. Ngantri,” kata dia menjelaskan. Dan aku hanya tersenyum. Aku memilih diam. Sampai kedua mempelai datang. Fokusku langsung tertuju ke mempelai perempuan. Cantik. Dan ternyata mempelai perempuan juga melihatku. Rona kebahagiaan yang tadinya terpancar, secara drastis padam. Sesaat. Iya, hanya sesaat. Saat tanganku digandeng seorang lelaki yang dulu pernah mengisi hatinya.
Dan lelaki itu kini melihatku. Berusaha untuk tidak melihat kedatangan pengantin.
“Lihat, Mas. Lihat mereka. Lihat mempelai perempuannya. Dia cantik,” aku berkata dengan sedikit terbata. Dan genggaman tangannya semakin erat.
“Aku gak bisa, Tha!”
“Kamu bisa. Kamu pasti bisa. Lihat dia. Dia pernah jadi impian kamu, Mas. Please, lihat mereka,” aku memaksanya untuk melihat iring-iringan kedua mempelai. Air mataku menetes. Dan dia melihatku. Genggamannya terasa begitu erat. Sangat erat, seperti takut akan terlepas.
“Jangan paksa aku, Tha. Aku mohon. Ini terlalu sakit buat aku,” katanya yang tetap melihat ke arahku. Sementara mataku terus mengikuti langkah demi langkah mempelai menuju pelaminan.
“Pengecut kamu, Mas. Ini kenyataan yang emang harus kamu lihat. Ini yang harus kamu hadapi,” aku masih terbata. Dan mempelai perempuan tersenyum penuh arti kepadaku saat melintas di depan kami.
“Kita pulang sekarang, Tha,” dia mengajakku keluar gedung. Aku sempat melihat dia menyeka air matanya.
Di mobil dia menjatuhkan kepala di setir. Diam. Tidak berbicara. Tidak terdengar menangis. Aku juga diam. Menunggu dia lebih tenang. Tapi isakku keluar. Dan tidak bisa aku tahan. Aku memalingkan wajahku ke kaca pintu mobil.
“Tha, jangan nangis. Maafin aku ya. Aku gak mau kamu nangis. Sini, biar aku hapus air mata kamu,” katanya berusaha melihat wajahku. Dan membuatku berhadapan dengan dia. Dia sudah terlihat baik-baik saja. Malah aku yang terlihat kacau.
“Maaf aku gak cerita tentang hubunganku sama dia. Kita uda kenal lama, dari jaman kuliah dulu. Kita sama-sama tau, kita punya rasa yang sama. Tapi bener kata kamu, aku pengecut. Kedekatan kita waktu kuliah sering diartikan beda sama temen-temen. Mereka ngira aku sama dia uda jadian. Kagumku sama dia gak berubah. Sampai beberapa waktu lalu, saat aku berani menyatakan perasaanku, dan mengajak dia menikah, ternyata dia telah bertunangan. Ini kesalahanku karena aku gak berani buat bilang perasaanku,” dia menjelaskan. Tangannya menggenggam tanganku. Tidak ingin melepaskan.
“Sedangkan aku cuma pelampiasan dan pelarian kamu doank,” jawabku tegas. Dan mata kita beradu.
“Aku gak mau mengulang kesalahan masa lalu, Tha. Aku gak bermaksud menjadikan kamu pelarian atau pelampiasan, atau terserah kamu mau menyebut apa,” suaranya meninggi.
“Tapi kenyataannya kayak gitu, Mas. Kamu pikir aku ini apa ? Mainan ? Boneka ? Perasaan itu gak bisa diatur. Aku kecewa sama kamu, Mas,” aku setengah berteriak. Histeris.
“Tha, maaf. Maaf, Tha, maaf, aku gak bermaksud bikin kamu jadi seperti ini,” dia memelukku. Mengusap punggungku. Menenangkan aku. Setelah aku lebih tenang, dia mengeluarkan kotak kecil berwarna perak. Membukanya. Ada cincin di dalamnya. “Tha, maukah kamu jadi masa depanku ? Jadi pendampingku,” katanya lagi. Tatapan matanya lekat.
Aku diam. Aku tidak bisa menjawab. Degubku sudah tidak karuan.
“Mas, aku memang suka sama kamu. Dari dulu. Dari pertama aku kenal kamu. Perasaan itu gak bisa dibohongi,” kataku. Lalu menutup kotak perak itu. “Tapi maaf, aku gak bisa, Mas.”
“Kenapa, Tha ?”
Aku membuka HP dan menyuruhnya membaca pesan dari seseorang.
“Itu SMS dari Tomi. Semalem. Dan belum aku jawab sampe sekarang. Dia mempertahankan perasaannya ke aku mati-matian. Gak peduli berapa kali aku nolak dia. Dia tetep menjadi Tomi yang suka sama aku. Dia tau aku suka sama kamu. Tapi dia gak nyerah memperjuangkan cintanya. Gak mengurangi rasa sayangnya ke aku. Dia berjuang untuk mendapatkan apa yang menurutnya menjadi kebahagiaannya. Emang kadang suka norak. Dan malu-maluin. Tapi apa yang dia lakukan adalah ungkapan sayangnya ke aku.”
“Aku pernah melewatkan apa yang mungkin bisa jadi kebahagiaanku, Tha. Dan sekarang aku gak mau melewatkannya lagi. Kamu kebahagiaanku, Tha. Masa depanku. . .”
“Tapi kamu gak punya cukup nyali, Mas. Maaf, aku gak bisa. Bukan aku gak mau ngejar kebahagiaanku. Tapi aku baru sadar, itu cuma obsesi sesaat doank buat dapetin kamu,” kataku sambil menghapus air matanya.
“Kejar kebahagiaanmu, Mas. Perjuangkan. Tapi maaf, itu bukan dengan aku. Makasih buat kebersamaan kita,” aku keluar dari mobil. Berjalan di antara kerumunan tamu undangan yang sibuk di area parkir.
“Aku akan buktiin ke kamu, Tha. Aku yang lebih pantas buat kamu. Aku akan perjuangkan kamu sebagai kebahagiaanku. Inget itu. Inget itu Agatha ! Aku yang pantas. Cuma aku yang pantas untuk membahagiakan kamu. Kamu bisa buktikan itu, Tha. I love you, Agathaaa,” dia berteriak. Tapi aku tetap berjalan ke depan. Tidak menoleh. Hanya mengangkat jempol kananku.
“Halo, Tomi, sori, gue gak bisa. Gue uda jadi ratu buat seseorang,” kataku singkat lalu menutup telepon.
Tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang. Aku hapal aroma ini. Aku hapal tangan ini. Aku membiarkan pelukannya. Tangisnya menjadi. Aku tidak kuasa. Aku membalikkan badanku dan memeluknya.
“Perjuangkan aku, Mas. Dan aku juga akan perjuangkan kamu,” bisikku lirih.
“Pasti. Pasti, Tha. Aku janji.”
Dan begitulah 29 Agustus 2014 terlalui. Dimulainya perjuangan antara aku dan dia. Pria, bernama Awan. Perjuangan untuk mengejar dan mendapatkan kebahagiaan yang pantas dan layak untuk kita berdua.

agha senja
tbrm, 290814

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu

hujatan cinta

teruskan saja menghujatku yang kau hujatkan adalah kebencian yang terbungkus cinta kau tak menyadari bahwa cintamu terlalu dalam tapi memaksakan kau tak bisa memiliki cintaku dan kau hujani aku dengan makian semakin kau menghujatku semakin mereka akan tau siapa yang pantas dicintai dan siapa yang harus mencintai meski sampai mati

Biasa yang Tak Biasa

kita pernah ada di satu waktu yang tak biasa di saat kau berdua dan aku sendiri lalu kita terbiasa dengan yang tak biasa membiasakan menanyakan kabar terbiasa mengingatkan memberi kabar hingga yang tak biasa, menjadi biasa kemudian kita ada di satu sisi yang tak biasa ketika kau merasa memilikiku dan aku menganggap kamu kekasihku entahlah. . . bukankah kita sudah terbiasa dengan yang tak biasa dan membiasakan hal yang tak biasa menjadi biasa ahhh. . . rasanya kita perlu mengisi pikiran kita dengan hal yang biasa karena kita terlampau sering menjalani hubungan,    yang tak biasa agatha tbrm020216