HPku bergetar.
Ada pesan masuk dari seseorang,
yang tentu saja membuat mataku terbelalak.
hari ini kamu cantik,
kenapa tadi pulang cepet
Aku hanya
tersenyum. Dan kelamaan jadi senyum-senyum sendiri. Tapi tidak berani membalas
pesan dari dia.
Kurang
lebih setengah jam dari pesan masuk tadi, HPku kembali bergetar. Dia menelepon.
Aku salah tingkah. Padahal dia tidak melihatku. Tau di mana aku pun, juga
tidak.
“Haloo,
kenapa, Mas,” sapaku sedikit tergagap.
“Hai,
Tha. Kamu di mana ini,” balasnya santai.
“Emm, aku
lagi di butik. Lagi mau beli baju. Kenapa ?”
“Masih
lama gak ? Aku susul ya ? Boleh ?”
“Ehh,
ummphh, gimana ya, Mas. Aku kalo milih baju suka lama lho. Tar kamu malah
bosen. Tumben sih, ada maunya nih pasti,” godaku.
“Ada yang
mau aku omongin sama kamu. Rada serius sih, Tha. Makanya ngajak kamu ketemuan.
Oia, hari ini kamu keliatan cantik. Tapi kemaren juga cantik kok. Sayang, tadi
kamu pulang duluan. Jadi gak bisa liat kamu lama-lama,” kata dia sambil
terkekeh.
“Apaan
sih. Sama aja kayak kemaren. Gak berubah kali, Mas. Gitu tuh kalo lagi ada
maunya, dibilangin cantik. Cowok itu sama aja, gombal ! Ehh, Mas, aku mau milih
baju dulu ya. Tar kelar beli baju, makan bareng deh. Ketemuan sekalian makan
aja. Gimana,” lanjutku menegaskan.
“Gitu
juga boleh. Ya uda deh, aku cabut dari kantor sekarang aja. Langsung on the way ya, Tha. See you,” dia mengakhiri telepon.
Tingkat
konsentrasiku sudah pasti berkurang. Dan acara memilih baju harus delay sampai waktu yang belum bisa
ditentukan.
Aku
memberi kabar ke dia. Dan belum ada sepuluh menit, dia sudah menunjukkan raut
muka mempesonanya di pintu masuk resto.
“Uda
dapet bajunya, Tha,” tanya dia setelah duduk. Dan menjabat tanganku lalu cipika
cipiki.
Rasanya
seperti bermain trampolin. Terjatuh ke bawah pun, akan tetap melambung lagi.
Dadaku serasa penuh dengan kembang-kembang yang gak cuma tujuh rupa lagi.
Sesaat aku linglung. Dan aku sadar pasti mukaku terlihat jelek.
“Ahh,
itu, emmhh, tadi bajunya jelek-jelek. Maksudku, gak ada yang cocok sama aku,”
balasku menutupi bahwa sebenarnya aku sudah kehilangan konsentrasi karena
sikapnya.
“Uda
pesen makan,” lanjutnya tanpa begitu memperhatikan ekspresiku. Untunglah.
Begitu lebih baik ketimbang dia harus tau mukaku lagi culun.
Aku
mengangguk. Tentu waktu aku mengangguk dia melihatku. Setelah melihat menu.Tapi
aku yakin, dia sebenarnya juga kehilangan konsentrasi. Mungkin karena melihat
kecantikanku. Aku senyum-senyum sendiri. Lagi.
Selama
menunggu order, aku hanya diam. Dia
juga diam.
“Mau
ngomongin apa ?”
“Ada yang
mau aku omongin.”
Kami
saling bertanya. Bersamaan.
“Kamu
dulu,” jawab kita lagi. Berbarengan.
Diam
kembali datang. Baiklah. Aku memilih diam. Menunggu sampai dia kembali
bertanya. Tapi keburu pesanan kami datang.
“Makasih
ya, Mba,” kataku ke pelayan setelah selesai menghidangkan pesanan di meja kami.
“Tha,”
dia memulai percakapan.
“Hmm,”
balasku singkat.
“Pertama,
aku mau bilang kamu cantik,” katanya setelah menyeruput jus mangganya.
“Kedua,”
balasku.
“Kedua,
makasih uda meluangkan waktu buat nemenin aku.”
“Intinya
aja deh, Mas. Kamu gak pantes jadi tukang gombal. Gak bakat,” lanjutku
diimbangi senyum yang mungkin terlihat menggoda.
“Hahh,
gak bisa ngrayu kamu. Kamu terlalu jutek sih. Jatuhnya malah takut salah
ngomong, trus malah jadi kikuk. Ternyata bener kata Tomi. Kamu itu jinak-jinak
merpati. Susah digombalinnya,” lanjutnya lagi sambil menggulung spaghetti di
garpunya.
“Tomi ?
Tuh jomblo satu, gak kelar-kelar juga hidupnya. Masih aja gak bosen ngejar aku.
Uda ditolak puluhan kali juga tetep ngejar aja. Tapi keren juga sih usahanya
bikin aku melting,” balasku sambil
ngemil kentang goreng pesananku.
“Mau,
Mas,” lanjutku lagi menawarkan kentang. Dan dia membuka mulutnya. Kalo gak
salah tanggap sih, berarti dia minta disuapin. Oh, damn. Bikin salah tingkah.
Aku
menyuapkan kentang. Dan dia semakin membuatku salah tingkah karena senyumnya.
Dan tangannya yang tiba-tiba menggenggam tangan kiriku.
Parahnya,
aku hanya diam. Tidak berusaha melepas atau setidaknya menghindari tangannya.
Kita diam
sampai makanan kita habis. Tersisa jus mangganya. Dan sedikit float pesananku. Tapi dia sudah
memanggil pelayan untuk meminta bill.
Lalu mengambil selembar uang kertas merah. Tentu tangannya sudah tidak lagi
menggenggam tanganku.
“Makasih
ya, Mas. Uda nraktir makan. Meski pun belom tau juga modusnya apa. Kalo cuma
karena aku cantik hari ini juga gak mungkin deh. Tar aja aku semedi, sapa tau
dapet wangsit,” kataku sambil membereskan beberapa smartphone yang tadinya menggeletak di meja.
“Tha, ada
tawaran buat ngisi staf di divisiku. Jadi asistenku. Kamu mau ya,” katanya
serius. “Kamu kan pernah cerita pengen pindah divisi. Ini ada lowongan.
Langsung jadi asistenku pula. Banyak yang ngincer lho,” lanjutnya lagi. Masih
tetap serius.
“Apa yang
bikin kamu yakin aku mau nerima tawaran kamu, Mas,” balasku tak kalah serius.
Dia diam
sesaat. Menghabiskan jus mangganya. Lalu memundurkan kursinya. Aku masih duduk
manis, menyenderkan punggungku di kursi. Dan menatapnya lekat. Setiap
gerakannya.
“Aku mau
kamu pikirin lagi tawaranku. Karena aku pengen, kamu yang jadi asistenku. Bukan
yang lain. Tapi kamu, Tha. Besok pagi aku jemput kamu. Siap jam setengah tujuh
ya. Kita breakfast dulu sebelum ke
kantor. Oia, aku mau, besok kamu pake ini,” katanya sambil meletakkan tas
belanja yang bisa dilihat jelas itu merk
yang lumayan mahal. “Aku duluan ya, Tha. Makasih uda nemenin. See you tomorrow, Cantik,” lanjutnya
lagi sambil mendekatiku. Sedikit membungkukkan badannya. Mengecup pipi kiriku
sementara tangan kanannya menggenggam tanganku.
Freeze. Aku diam saja. Seperti
terhipnotis perilaku manisnya. Andai waktu bisa berhenti, aku berharap saat ini
bisa di pause. Setelah dia menghilang
dari pandangan. Baru aku keluar dari resto. Masih dengan senyum-senyum dan
kadang mengelus pipiku di sepanjang perjalanan.
Sampainya
di rumah aku langsung masuk kamar. Mencari tau, barang apakah yang dia berikan,
dan yang dia minta untuk aku pakai besok.
Ohh my God ! Blouse lengan setali yang lebarnya sampai bahu, dengan V neck yang agak rendah, ukurannya juga
terkesan agak kekecilan di badanku.
bukan gag tw ukuran kamu,
tapi sengaja pilih itu
Pesan
singkatnya memecah tanda tanya yang terbang di kepalaku. Tapi kalo uda tau itu
kecil buat aku, kenapa harus dibeli. Kadang dia juga terkesan konyol.
uda tau
kecil kenapa masih dibeliin juga ? aneh kamu mas
Setelah
mengirim pesan berupa retoris, aku langsung terkapar di tempat tidur yang sudah
merindukan tubuhku.
“Halo,
Cantik. Selamat pagi. Uda bangun belom,” sapanya di ujung telepon.
“Selamat
pagi juga, Mas. Uda donk,uda mandi juga. Kamu uda mandi,” balasku sambil meniup
coklat panas yang sudah disiapkan mama.
“Aku on the way jemput kamu nih. Semalem aku
susah bobok, jadi bangun kepagian banget. Kamu uda siap belom,” lanjutnya lagi.
“Matiin
aja teleponnya. Masih di jalan. Bahaya tau, nyetir sama telponan. Aku tunggu di
rumah ya, Mas. Dadahh. Ati-ati di jalan,” aku memutus panggilan. Lalu bergegas
merapikan diri.
Setengah
jam berlalu. Aku sudah siap. Tapi dia belum juga datang. Aku menilik layar HP
berulang. Tapi tidak berani menelepon atau mengirimkan pesan singkat. Aku
memilih menunggu saja. Kalo dia bilang mau jemput, berarti dia jemput.
Aku
memilih keluar kamar. Begitu menuju ruang tamu, sudah ada sesosok lelaki yang
duduk di kursi tamu sambil terpana melihatku. Dia menebarkan senyum paling
manisnya yang belum pernah aku lihat. Saking manisnya, sampai aku jadi patung
sedetik karena terpesona.
“Tha, kok
malah diem sih. Itu uda ditungguin temennya kok. Sana buruan berangkat. Nanti
telat sampe kantor,” kata mama membuyarkan. “Nitip anak, Tante ya,” lanjut mama
menitipkan aku ke dia. Mama pikir anaknya yang cantik ini barang yang bisa
dititipkan.
Sepanjang
perjalanan kita memilih diam. Aku diam. Dia diam. Akhirnya kita sampai kantor.
Dan kita lupa untuk mampir sarapan. Baiklah. Pagi ini mungkin akan menjadi
sedikit berantakan. Karena perutku hanya terisi coklat panas.
“Kamu
cantik, Tha,” katanya singkat. Tanpa menoleh. Apalagi melihatku. Tapi tangannya
menggenggam tanganku sepanjang langkah dari tempat parkir menuju lobi kantor.
Dan aku menurut saja.
Banyak
mata yang menyaksikan sikap romantisnya. Tapi aku malah yang salah tingkah.
Mereka pasti mengira aku ada hubungan dengan dia. Padahal, dia menyatakan cinta
juga tidak. Arau mungkin belum.
“Enggak
enak, Mas. Diliatin banyak orang. Dikira kita nanti ada hubungan,” kataku
sambil berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya. Dia melepaskan. Lalu
berjalan mendahuluiku menuju ruangannya. Tanpa kata. Tanpa bicara. Tanpa
menoleh.
Sampai
jam pulang kantor, jangankan menyapaku. Mengirim pesan singkat atau telepon pun
tidak. Sikap macam apa ini. Dia pikir, siapa dia. Dia siapaku. Dia mau menyapa
atau tidak itu hak dia.
Aku
merapikan meja kerjaku. Dan keluar dari ruangan. Ada beberapa teman kantor yang
memperhatikan. Mungkin karena adegan dia pagi tadi. Apalagi dia berposisi
sebagai salah satu orang yang sedikit penting di perusahaan.
“Tha. .
.,” Tomi mengejar langkahku. Dadanya kembang kempis. Aku tetap berjalan. “Ehh,
tunggu donk. Gue dapet info dari anak-anak, lu jadian sama dia ?”
“Besok
lagi kalo cari informan yang canggih yee,” balasku tanpa menoleh. Langkahku menjadi
perhatian di lobi kantor. Aduh. Saat ini aku benar-benar butuh topeng. Aku ingin
lari.
“Jalan
aja terus. Gak usa nengok. Gak usa liat aku. Nurut sama aku. Jangan lepas
genggamanku. Please, Tha,” kata seseorang yang entah dari mana datangnya. Yang tiba-tiba
menggandengku. Dan aku menurut saja. Aku ini kadang sedikit payah. Iya kalau
baik. Kalau jahat ?
“Mas,”
balasku di tengah perjalanan menuju parkir. Tapi aku tetap tidak berani
melihatnya.
Dia merangkulkan
tangannya di pundakku. Dan dia menyuruhku untuk melingkarkan tanganku di
pinggangnya. Sampai akhirnya kita masuk ke armada taksi yang sudah menunggu.
“Maaf
atas sikapku tadi pagi, Tha,” katanya sambil melepas topi, kacamata hitam, dan
jaketnya. “Aku minta nomer HP mama kamu. Aku mau minta ijin buat ngajak kamu
makan dulu. Kamu dari tadi belom makan. Kamu pucet. Kita makan dulu ya,”
lanjutnya lagi.
Dia
mengusap kepalaku dan membiarkannya menyandar di bahunya. Rasanya nyaman. Meski
pun kita tidak memiliki hubungan apa pun. Tapi kenapa aku merasa dia peduli
terhadapku. Padahal selama ini dia terkenal sebagai lelaki yang pendiam, cool, low profile, dan dingin kepada wanita.
Dia masih
menelepon mama, memberitahu kita pulang telat karena mampir makan sekalian. Dia
juga bertanya, mama mau dibawakan apa. Kenapa bisa begitu akrab sama mama. Seperti
anaknya sendiri.
“Tha,
bangun dulu yuk. Kita uda sampe nih,” bisiknya sambil memegang tanganku
perlahan. Takut aku kaget.
“Aku
tidur ya, Mas,” tanyaku sambil mengusap mukaku. Jaket yang tadi dia pakai, dia
pakai sebagai selimutku. Aku turun setelah dia membukakan pintu taksi. Dia menggandengku.
Dia memperlakukanku seperti kekasihnya. Aku menikmati ini. Menikmati saat-saat
ini.
Kita sudah
lama kenal. Karena berbeda divisi, range
pertemuan kita jadi jarang. Ada beberapa teman yang memberitahu bahwa dia
sering menanyakan tentang aku. Dulu kita pernah saling mengagumi. Entahlah. Kita
tidak bisa bersikap wajar dan biasa. Tapi sekarang, letupan-letupan itu kembali
muncul. Berharap ada yang terbakar. Membakar gelora kita untuk saling memiliki.
###
Setelah
makan malam itu, kita semakin dekat. Pertemuan kita lebih intens. Tetapi tidak
kita lakukan di jam kerja. Kita professional. Bahkan aku tidak jadi pindah
divisi dan menyanggupi permintaannya sebagai asisten. Karena aku tidak mau,
loyalitas kerjaku dinilai buruk karena hubungan spesial dengan si A, si B, si
itu, si anu.
Dua belas
hari setelah makan malam itu, dia mengajakku ke butik. Katanya mau membelikanku
dress untuk dipakai di acara
pernikahan temannya. Masih agak ragu menerima tawarannya. Kalau aku datang
bersama dengan dia, teman-temannya, teman dari temannya, saudara dari temannya
yang berteman dengan dia, akan tau dia mengajak seseorang. Dan itu adalah aku.
Dia merayuku.
Membujukku untuk mau menemaninya. Dan dia berjanji, kita hanya sebentar di
acara resepsi. Baiklah. Aku tidak tega juga melihatnya memelas kepadaku.
“Makasih
ya, Tha. Kamu baik deh. Besok jam sembilan, aku jemput kamu ya di rumah. Dandan
yang cantik. Biar semua terpesona sama kamu,” kata dia sambil menggandeng
tanganku keluar dari butik.
“Loh,
emang mau kemana ? Tunggu, tunggu,” aku memutus pertanyaanku. Menghadapkan wajah
polosnya ke mukaku yang serius. Dia tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa. “Maasss,”
aku berteriak gemas sambil mengejarnya yang berlari ke area parkir.
###
aku mau kamu jadi ratu di
hatiku, selamanya
bersediakah kamu ?
Pesan
singkat yang dikirim semalam, masih belum aku balas. Aku tidak berani memberi jawaban.
Aku belum yakin. Aku belum bisa menentukan arah hatiku.
Pukul sembilan
tepat, dia sudah sampai rumah. Dress yang
aku pakai dan kemeja yang dia kenakan, senada. Ternyata dia sengaja membuat
kita terlihat serasi.
Sampai di
tempat resepsi, dia memperlakukanku seperti putri. Tidak canggung menggandeng
dan mengenalkanku ke beberapa temannya.
“Eh, Bro,
nitip bentar ya, gue mau ke toilet nih,” dia berpesan ke temannya. Namanya Indra.
“Tha, kamu sama Indra dulu ya. Tenang, dia uda jinak kok. Gak usah takut,”
katanya lagi ke aku.
“Temen
kalian yang nikah yang cowok apa yang cewek,” aku bertanya iseng.
“Semua
temen kita, Non. Temen jaman kuliah dulu. Mereka cinta kilat. Yang cewek,
pernah pacaran sama cowok lu. Udah serius juga sih. Tapi gak tau kenapa mereka
bubar. Padahal uda cocok banget lohh. Yahh, yang namanya jodoh mana ada yang
tau. Sekarang dia malah jadi cowok lu,” Indra menjelaskan. Tapi aku hanya
tersenyum. Bersikap apa yang aku dengar dari Indra hanya sebuah berita lewat
yang tidak perlu aku ingat.
“Sori,
Tha, lama. Ngantri,” kata dia menjelaskan. Dan aku hanya tersenyum. Aku memilih
diam. Sampai kedua mempelai datang. Fokusku langsung tertuju ke mempelai
perempuan. Cantik. Dan ternyata mempelai perempuan juga melihatku. Rona kebahagiaan
yang tadinya terpancar, secara drastis padam. Sesaat. Iya, hanya sesaat. Saat
tanganku digandeng seorang lelaki yang dulu pernah mengisi hatinya.
Dan lelaki
itu kini melihatku. Berusaha untuk tidak melihat kedatangan pengantin.
“Lihat,
Mas. Lihat mereka. Lihat mempelai perempuannya. Dia cantik,” aku berkata dengan
sedikit terbata. Dan genggaman tangannya semakin erat.
“Aku gak
bisa, Tha!”
“Kamu
bisa. Kamu pasti bisa. Lihat dia. Dia pernah jadi impian kamu, Mas. Please, lihat mereka,” aku memaksanya
untuk melihat iring-iringan kedua mempelai. Air mataku menetes. Dan dia melihatku.
Genggamannya terasa begitu erat. Sangat erat, seperti takut akan terlepas.
“Jangan
paksa aku, Tha. Aku mohon. Ini terlalu sakit buat aku,” katanya yang tetap
melihat ke arahku. Sementara mataku terus mengikuti langkah demi langkah
mempelai menuju pelaminan.
“Pengecut
kamu, Mas. Ini kenyataan yang emang harus kamu lihat. Ini yang harus kamu hadapi,”
aku masih terbata. Dan mempelai perempuan tersenyum penuh arti kepadaku saat
melintas di depan kami.
“Kita
pulang sekarang, Tha,” dia mengajakku keluar gedung. Aku sempat melihat dia
menyeka air matanya.
Di mobil
dia menjatuhkan kepala di setir. Diam. Tidak berbicara. Tidak terdengar
menangis. Aku juga diam. Menunggu dia lebih tenang. Tapi isakku keluar. Dan tidak
bisa aku tahan. Aku memalingkan wajahku ke kaca pintu mobil.
“Tha,
jangan nangis. Maafin aku ya. Aku gak mau kamu nangis. Sini, biar aku hapus air
mata kamu,” katanya berusaha melihat wajahku. Dan membuatku berhadapan dengan
dia. Dia sudah terlihat baik-baik saja. Malah aku yang terlihat kacau.
“Maaf aku
gak cerita tentang hubunganku sama dia. Kita uda kenal lama, dari jaman kuliah
dulu. Kita sama-sama tau, kita punya rasa yang sama. Tapi bener kata kamu, aku
pengecut. Kedekatan kita waktu kuliah sering diartikan beda sama temen-temen. Mereka
ngira aku sama dia uda jadian. Kagumku sama dia gak berubah. Sampai beberapa waktu
lalu, saat aku berani menyatakan perasaanku, dan mengajak dia menikah, ternyata
dia telah bertunangan. Ini kesalahanku karena aku gak berani buat bilang
perasaanku,” dia menjelaskan. Tangannya menggenggam tanganku. Tidak ingin
melepaskan.
“Sedangkan
aku cuma pelampiasan dan pelarian kamu doank,” jawabku tegas. Dan mata kita
beradu.
“Aku gak
mau mengulang kesalahan masa lalu, Tha. Aku gak bermaksud menjadikan kamu
pelarian atau pelampiasan, atau terserah kamu mau menyebut apa,” suaranya
meninggi.
“Tapi
kenyataannya kayak gitu, Mas. Kamu pikir aku ini apa ? Mainan ? Boneka ? Perasaan
itu gak bisa diatur. Aku kecewa sama kamu, Mas,” aku setengah berteriak. Histeris.
“Tha,
maaf. Maaf, Tha, maaf, aku gak bermaksud bikin kamu jadi seperti ini,” dia
memelukku. Mengusap punggungku. Menenangkan aku. Setelah aku lebih tenang, dia
mengeluarkan kotak kecil berwarna perak. Membukanya. Ada cincin di dalamnya. “Tha,
maukah kamu jadi masa depanku ? Jadi pendampingku,” katanya lagi. Tatapan matanya
lekat.
Aku diam.
Aku tidak bisa menjawab. Degubku sudah tidak karuan.
“Mas, aku
memang suka sama kamu. Dari dulu. Dari pertama aku kenal kamu. Perasaan itu gak
bisa dibohongi,” kataku. Lalu menutup kotak perak itu. “Tapi maaf, aku gak
bisa, Mas.”
“Kenapa,
Tha ?”
Aku
membuka HP dan menyuruhnya membaca pesan dari seseorang.
“Itu SMS
dari Tomi. Semalem. Dan belum aku jawab sampe sekarang. Dia mempertahankan
perasaannya ke aku mati-matian. Gak peduli berapa kali aku nolak dia. Dia tetep
menjadi Tomi yang suka sama aku. Dia tau aku suka sama kamu. Tapi dia gak
nyerah memperjuangkan cintanya. Gak mengurangi rasa sayangnya ke aku. Dia berjuang
untuk mendapatkan apa yang menurutnya menjadi kebahagiaannya. Emang kadang suka
norak. Dan malu-maluin. Tapi apa yang dia lakukan adalah ungkapan sayangnya ke
aku.”
“Aku
pernah melewatkan apa yang mungkin bisa jadi kebahagiaanku, Tha. Dan sekarang
aku gak mau melewatkannya lagi. Kamu kebahagiaanku, Tha. Masa depanku. . .”
“Tapi
kamu gak punya cukup nyali, Mas. Maaf, aku gak bisa. Bukan aku gak mau ngejar
kebahagiaanku. Tapi aku baru sadar, itu cuma obsesi sesaat doank buat dapetin
kamu,” kataku sambil menghapus air matanya.
“Kejar
kebahagiaanmu, Mas. Perjuangkan. Tapi maaf, itu bukan dengan aku. Makasih buat
kebersamaan kita,” aku keluar dari mobil. Berjalan di antara kerumunan tamu
undangan yang sibuk di area parkir.
“Aku akan
buktiin ke kamu, Tha. Aku yang lebih pantas buat kamu. Aku akan perjuangkan
kamu sebagai kebahagiaanku. Inget itu. Inget itu Agatha ! Aku yang pantas. Cuma
aku yang pantas untuk membahagiakan kamu. Kamu bisa buktikan itu, Tha. I love you,
Agathaaa,” dia berteriak. Tapi aku tetap berjalan ke depan. Tidak menoleh. Hanya
mengangkat jempol kananku.
“Halo,
Tomi, sori, gue gak bisa. Gue uda jadi ratu buat seseorang,” kataku singkat
lalu menutup telepon.
Tiba-tiba
ada yang memelukku dari belakang. Aku hapal aroma ini. Aku hapal tangan ini. Aku
membiarkan pelukannya. Tangisnya menjadi. Aku tidak kuasa. Aku membalikkan
badanku dan memeluknya.
“Perjuangkan
aku, Mas. Dan aku juga akan perjuangkan kamu,” bisikku lirih.
“Pasti.
Pasti, Tha. Aku janji.”
Dan begitulah
29 Agustus 2014 terlalui. Dimulainya perjuangan antara aku dan dia. Pria,
bernama Awan. Perjuangan untuk mengejar dan mendapatkan kebahagiaan yang pantas
dan layak untuk kita berdua.
agha senja
tbrm,
290814
Komentar
Posting Komentar