Langsung ke konten utama

yuka


Kini. . .
Ku hanya ingin lupakan semua
Mengenangmu menyesakkan jiwa
Kan ku hapus air mata
Hingga ku dapat sembuhkan luka
Alunan suara khas sang vokalis perempuan masih menghentak. Menyiagakan bola mata yang berkelir coklat. Ada lelah yang menyerang berbarengan dengan kantuk yang sangat. Namun segala nikmat dunia seolah tak ingin bergumul dengan raga yang melemah. Mencoba bertahan dalam ketiadaan cinta. Klise memang. Tapi itulah yang mesti dialami seorang Yuka.
Mata yang indah masih terlihat indah meski pun tebaran tisu yang menyapu luh berhasil menggantikan selimut. Yuka. Perempuan berusia dua puluh satu tahun yang tak pernah bisa tertebak apa yang dipikirkan oleh hatinya dan dirasakan oleh akalnya. Perempuan muda yang ingin lekas menjadi dewasa. Menjadi wanita. Yuka. Perempuan yang merasa kurang memiliki tinggi meski lebih dari seratus enam puluh sentimeter tubuhnya menjulang. Bentuk wajah bulat condong ke oval. Rambut hitam bergelombang. Dan kulit coklat yang memang alami adanya.
Perempuan berkacamata dan berhias sebuah lesung di pipi kanan. Deretan bulu mata yang berjajar rapi dan lentik. Alis hitam yang hampir menyatu di simetris wajah dan terlihat tak pernah terjamah sebilah tajam. Sebuah gelang karet hitam selalu melingkar di pergelangan tangan kanan. Tak pernah dilepas dan tak berniat terlepas.
Mantan kekasih yang hilang datang
Ungkapkan besarnya penyesalan
Bagaimana dia menghancurkan aku
Percayalah kau tak aku sesali
Suara familiar seorang Duta Modjo memenuhi ruang kecil berukuran 5 kali 4 meter. Raga yang semakin melemah tiada lagi bisa bertahan dalam larut malam. Perlahan mata indah itu menutup dengan tenang. Melepas segala kepenatan hati. Mengistirahatkan pikir yang tiada henti bekerja.
Angin subuh membelai menggoda Yuka. Dan bola mata yang coklat bening itu seperti basuhan embun menyegarkan. Jendela kayu yang terbagi rata dalam suatu garis vertikal khas pedesaan terbuka dengan sedikit dorongan tangan Yuka. Sejauh mata memandang hanya warna hijau terbentang. Titik-titik menguning padi yang telah siap dipanen menambah kekaguman Yuka. Oksigen yang sangat bersih dan sehat terhirup oleh lubang hidung Yuka.
Tubuhnya tersandar di kusen jendela. Tak lama. Karena seorang wanita tua mengetuk pintu kamar dan masuk menghampiri Yuka. Tak layak disebut ibu oleh Yuka. Pautan usia yang sangat jauh mengisyaratkan, wanita itu lebih pantas disebut nenek. Dan memang, wanita tua yang tak pernah lelah membagikan senyum itu adalah nenek Yuka dari ibunya. Tercipta sedikit obrolan santai antara kedua hawa beda usia. Usai menyapukan tangan keriputnya di kepala Yuka, wanita tua itu keluar dan meninggalkan Yuka.
Tuntas menata kamar, Yuka keluar menuju dapur. Wanita tua yang tadi masuk ke dalam kamar masih bersibuk menyiapkan sarapan untuk mengisi perut Yuka. Cucu yang dimiliki dari anak perempuannya. Tanpa berlama, Yuka tak segan duduk di lantai rumah yang hanya berlapis adonan pasir dan semen. Tanpa ubin atau pun keramik.
Dia bertanya kepada neneknya, bagaimana rasanya membesarkan seorang anak. Anak yang berarti ibunya. Wanita tua itu hanya tersenyum dan tangan keriputnya tak berhenti menyiapkan ubi yang diambil dari kebun. Setiap manusia itu mempunyai cara yang berbeda-beda untuk mencintai manusia lain. Ada yang menggenggam cintanya terlalu erat. Ada yang menggandeng cinta itu dengan kasih. Ada juga yang membiarkan cintanya lepas dan membebas. Setiap manusia juga memiliki cara yang berbeda untuk menanggapi cinta yang diberi oleh sesamanya. Setidaknya, itulah penjelasan dari wanita tua yang kini tengah berada di meja makan.
Yuka melahap habis ubi yang telah digoreng nenek. Tak ada yang aneh. Meski pun fast food, junk food, dan kemewahan metropolitan selalu menggoda Yuka di kesehariannya. Sesaat setelah merampungkan sarapan kecilnya, Yuka membiarkan tubuhnya terduduk di kursi kayu depan rumah. Di teras rumah neneknya. Melihat para tetangga berjalan menuju tempat kerja, di sepanjang hijau menyapu pandang. Sawah.
Dalam keasyikan melamun, menikmati hawa desa yang nyaman, seorang lelaki datang menggugah Yuka untuk kembali ke alam sadarnya. Untuk beberapa detik Yuka terhipnotis oleh kehadiran lelaki yang terlihat rapi. Namun tak lama, wajah dingin Yuka kembali terlukis.
Lelaki itu bernama Yoga. Lelaki yang datang membawa pesona luar biasa bagi para gadis desa. Lelaki tampan dengan rambut tak terlalu pendek. Sengaja dia biarkan rambutnya terkesan berantakan. Lelaki yang mengenakan kacamata berwarna walnut dan pakaian seadanya untuk standar para penduduk metropolis.
Menyadari bahwa dirinya dan seorang lelaki yang datang menghampirinya menjadi perhatian warga, Yuka menarik lelaki itu masuk ke dalam rumah. Wanita tua yang merasa asing melihat sang lelaki hanya tersenyum saat matanya beradu pandang dengan lelaki tampan itu.
Segelas teh manis dan ubi yang sengaja disimpan nenek telah terhidang di meja ruang tamu. Yuka mengenalkan pemuda tak diundang kepada wanita tua yang duduk di sampingnya. Beberapa waktu berlalu, namun masih terlihat kecanggungan antara Yuka dan Yoga untuk berbagi perbincangan dengan nenek. Mengetahui gelagat yang begitu kentara, wanita tua itu berjalan keluar rumah. Bergabung dengan warga kampung bergender wanita yang lain. Di sebuah saung milik warga yang letaknya tak jauh dari rumah.
Ketegangan tercipta tak lama setelah nenek keluar rumah. Ada semacam bara amarah dari seorang Yuka. Yang ikut menyulut emosi Yoga. Pertanyaan yang menjadi sebuah pernyataan. Pernyataan yang membuat pertanyaan baru. Semua yang terpendam meletup tak berbatas.
Air mata Yuka keluar perlahan. Tanpa Yuka sadari. Suaranya semakin parau menantang tuduhan Yoga. Sebuah vonis yang berdasarkan naluri lelaki yang terlukai hatinya. Pembelaan Yuka seolah tak berarti untuk mengobati sakit hati Yoga. Gelas yang tadinya berisi teh manis, melayang hampir mengenai wajah rupawan Yoga. Tamparan keras dari tangan halus Yuka, mendarat apik di pipi kiri Yoga.
Semua diam. Keduanya terdiam. Berdiam. Saling menunggu babak baru dimulai. Tubuh Yuka gemetar. Melemas dan menjatuhkan diri di lantai rumah. Yoga yang tadinya tak mau peduli, terlihat panik. Lelaki tampan itu mengangkat Yuka dan merebahkan tubuh Yuka di kursi tamu. Warna muka Yuka memucat.
Beberapa jam setelah wajah Yuka memucat. . . . .
Wajah Yuka masih terlihat pucat. Tapi setidaknya tidak sepucat waktu dia pingsan. Kotak berukuran sedang yang penuh dengan tabung-tabung kecil, tergeletak sedikit berserakan di atas meja. Masih tersisa tanya dalam benak sang lelaki tampan. Yang tak pernah melepaskan tangannya, menggenggam jemari lentik Yuka.
Yuka berusaha memulihkan tingkat kesadarannya. Lelaki tampan yang tadinya di samping Yuka memindahkan badannya. Amarah yang sedari tadi memuncak, teredam sudah karena ketidaksadaran Yuka untuk beberapa waktu. Yoga yang sebelumnya meragukan semua penyangkalan Yuka atas tuduhannya malah melunak menghadapi Yuka. Yuka yang masih saja terlihat angkuh. Yuka yang tetap tajam memandang Yoga. Yuka yang berusaha menjauh dari Yoga.
Semua tanda tanya yang menyelubung pikiran Yoga tak lagi bisa ditahan. Perlahan lelaki tampan itu menyelidik Yuka. Apa yang sedang terjadi dengan Yuka? Mengapa isi dari tabung-tabung kecil tadi seperti jimat yang tak bisa terlepas dari Yuka? Kenapa Yuka mendadak mengubah sikap terhadap dirinya? Sejak kapan Yuka yang bergaya hidup metropolis bisa dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan pedesaan? Yang jauh dari kehidupan instan. Yang harus melakukan kewajiban sebelum mendapat hak. Ini bukan kehidupan Yuka. Segala ketidaktahuan Yoga sepertinya terbaca oleh Yuka.
Namun memang tak semudah orang bertanya yang secara langsung mengetahui jawabannya. Yuka bahkan tak memberikan secuil informasi kepada lelaki tampan yang penasaran. Yuka menjaga rapat, apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Yang tau hanya dia dan wanita tua yang kini kembali ke ruang tamu dengan segelas air putih. Ditujukan untuk Yuka.
Yoga yang mulai merasa buntu tak menyerah begitu saja. Pemilik wajah rupawan tersebut memutuskan untuk bermalam di tempat nenek. Yuka masih saja menghindar dari Yoga. Sedari senja, Yuka memilih untuk berdiam dalam kamarnya. Menulisi lembaran kosong kertas putih bergaris dengan rangkaian kata puitis pujangga. Banyak lembar yang telah terpenuhi dengan goresan penanya. Lukisan kepedihan. Bercerita tentang kebahagiaan. Rasa keputusasaan. Keinginan untuk terus bertahan. Meski dalam kebimbangan dan keterpurukan.
Yoga tak berdiam diri. Wanita tua yang tak lelah menemaninya dari sore hingga malam datang, turut masuk dalam playlist daftar orang yang bisa dijadikan saksi. Tentang apa yang terjadi dengan Yuka. Seperti telah mendapat bayaran besar. Nenek pun tak membuka sedikit informasi tentang Yuka. Menurutnya, tak peduli tua atau muda. Besar atau kecil. Tak melihat pangkat dan jabatan. Kepercayaan seseorang itu mahal. Menjaga kepercayaan seseorang adalah hal yang dianggap mudah. Namun seperti ada berjuta beban terpikul di pundak. Hal yang terlihat mudah bisa jadi memiliki faktor keberhasilan tingkat rendah. Banyak orang terlalu menyepelekan tanggung jawab atas kepercayaan yang telah diberikan. Karena mereka menganggap hal tersebut mudah dilakukan.
Hanya satu hal yang dapat Yoga simpulkan. Yuka memiliki rahasia besar. Bukan lagi tentang pengkhianatan. Yang selama ini merasuki pikirannya. Ini melebihi dari yang Yoga pikirkan. Dan malamlah yang sudi menemani Yoga. Dia keluar rumah dan duduk di kursi teras. Entah kapan terakhir kali lelaki tampan itu menghisap gulungan tembakau. Semenjak Yuka mengisi kekosongan harinya. Setelah Yuka membuat harinya lebih berwarna, tak pernah dia menyentuh bahkan menghisap tembakau. Namun kekecewaan yang dia rasakan. Yang dia sangkakan bahwa Yuka menduakannya. Sakit hati yang begitu dalam. Membuat lelaki tampan tersebut kembali bercinta dengan tembakau.
Sebatang. Dua batang. Tiga batang. Entah berapa batang yang Yoga habiskan sepanjang malam. Bahkan sampai fajar mengetuk di ufuk timur, dia masih perkasa bercinta bersama tembakau. Bibirnya memucat. Tak lagi merah menggoda. Kantong matanya terlihat sangat mengganggu penampilan. Tapi tak pernah dia hiraukan. Tangannya bermaksud ingin meraih gelas berisi kopi sisa semalam. Belum sampai tegukan terakhir membasahi kerongkongannya, gelas yang diraihnya terjatuh. Suara pecahnya bersamaan dengan tangis wanita tua yang ikut memecah.
Bergegas Yoga masuk ke dalam rumah. Mencari tau apa yang terjadi. Nenek tak bisa lagi berkata. Tangis pilunya hampir tak terdengar. Sedangkan Yoga hanya berdiri memaku. Bermaksud menenangkan wanita tua yang terduduk di samping Yuka pun ingin dia lakukan. Tetapi dia sendiri tak bisa menenangkan gejolak dalam hatinya. Segala macam rasa pernah dia rasakan. Bahkan pedih karena perpisahan yang terpahit pun berhasil dia lewati. Tetapi yang dia rasakan kini melebihi dari rasa kecewa dan kehilangan macam apa pun.
Beberapa waktu setelah gelas berisi kopi pecah. . . . .
Yoga duduk bersila. Tepat di depan pintu kamar yang dipakai Yuka. Matanya merah. Sembab. Bibirnya membisu. Nafasnya tak bisa teratur. Sementara wanita tua yang tangisnya tadi tak terdengar, ikut duduk di samping Yoga. Tangannya menggenggam sapu tangan berwarna hitam. Yang sering dipakai Yuka.
Rumah yang tadinya sepi menjadi ramai karena kedatangan tetangga nenek. Dalam keramaian, Yoga memilih untuk tetap diam. Menyelami sisi terdalam hatinya. Menikmati rasa kecewanya. Mencoba mensyukuri segala kenikmatan yang didapatkannya. Setelah beberapa saat, ketika waktu menunjuk pukul sepuluh pagi, para tetangga yang tadi datang berbondong keluar rumah. Membawa rasa kehilangan nenek pergi. Yoga turut beranjak. Meski dalam kepedihan yang teramat, Yoga masih saja terlihat tampan di mata gadis desa. Penampilannya tak karuan. Kacamata warna walnutnya menggantung. Mengaburkan sendu matanya.
Kira-kira pukul setengah dua belas siang. Yoga menggandeng tangan wanita tua kembali ke rumahnya. Ketenangan berubah menjadi kesunyian. Yoga berniat ingin menemani nenek. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan.
Saat senja datang menutup lantang hari. . . . .
Yoga masih terduduk di kursi kayu teras rumah. Kursi yang diduduki Yuka saat dirinya datang kemarin. Nenek keluar membawa tiga gelas berisi teh manis. Untuk dirinya, untuk Yoga yang mau menemaninya. Dan dia buatkan segelas untuk cucunya. Untuk Yuka yang akan selalu hidup di hatinya. Dia mempersilahkan Yoga untuk masuk ke kamar Yuka. Untuk mencari tau sendiri, jawaban atas semua pertanyaannya. Ketidaktauannya yang terjadi pada Yuka.
Yoga lantas masuk ke kamar Yuka. Serentak bulu kuduknya berdiri. Ada sedikit ragu waktu kakinya melangkah namun wanita tua mencoba meyakinkan dirinya. Di meja kecil yang tersudut di pojok ruang, Yoga mendapati sebuah buku. Seperti catatan harian. Dia buka sampul buku. Halaman pertama terpasang rapi sebuah foto. Foto Yuka bersama seorang lelaki. Lelaki yang sangat dia kenal. Dan lelaki itu tengah memandang wajahnya sendiri. Iya. Lelaki itu adalah Yoga. Foto pertama yang mereka abadikan bersama.
Yoga tak bisa membendung air matanya. Dia buka halaman berikutnya. Selanjutnya. Lagi. Dan begitu seterusnya. Berisi perasaan Yuka dan kumpulan puisi buatannya. Sampailah pada suatu lembar. Yoga menyandarkan tubuhnya di sudut ruang. Dan batinnya mulai membaca sebuah pesan yang ditulis Yuka semalam.
Pesan untuk Yoga
Suatu saat kamu baca pesan ini, mungkin aku udah pergi. Bukan maksud aku buat nyakitin kamu. Semua yang aku lakukan karena aku sayang sama kamu. Beberapa bulan yang lalu aku divonis. Dokter cuma bilang waktuku nggak akan lama. Meski aku berusaha untuk nggak terpengaruh kata dokter. Tapi kanker otak yang kebetulan memilih aku, tanpa sepengetauanku udah masuk ke stadium akhir. Sebelumnya aku bahkan nggak pernah tau Tuhan ngasih aku kenikmatan ini.
Kalo kamu masih inget, sebulan yang lalu kita sempet tengkar hebat. Dua minggu sebelumnya aku ke rumah sakit buat general check up. Karena waktu itu aku sering ngrasain kepalaku ada yang nggak beres. Hasilnya baru bisa diambil sehari setelah check up. Dan waktu itu aku minta tolong Adrian buat ngambil. Dari hasil itu Adrian tau aku kena kanker otak. Dan Adrian ngasih aku perhatian lebih. Kamu tau kenapa aku minta bubar? Karena aku tau, waktuku nggak akan bisa nemenin kamu lagi. Karena aku nggak mau kamu terlalu berharap sama hubungan kita. Karena aku pengen kamu dapetin yang lebih baek dari aku. Tapi mungkin di mata kamu, aku selingkuh sama Adrian. Itu nggak bener. Aku cuma menganggap Adrian kakak aku. Nggak lebih, meski aku tau, Adrian punya perasaan lebih ketimbang jadi kakak.
Baru seminggu yang lalu aku memutuskan buat tinggal sama nenek. Aku pengen habisin sisa waktuku sama nenek. Satu-satunya keluarga yang masih peduli sama aku. Dan aku yakin, kamu tau keberadaanku pasti dari Lana. Karena cuma dia yang tau tempat nenek. Dan cuma dia yang tau di mana aku. Dasar mulut ember. Padahal aku udah minta dia buat jaga rahasia. Tapi aku tau kenapa dia ngasih tau kamu. Dia nggak akan pernah tega ngliat kita terpisah. Sampein salam juga ya buat Lana J
MAAF! Maaf kalo jalan yang aku pilih buat ninggalin kamu nggak bisa kamu terima. Semoga ini adalah pilihan yang tepat. Buat aku, kamu. Dan buat kita. Sampai aku pergi pun, di hatiku hanya tersedia tempat untuk mentahtakan kamu. Nggak ada yang bisa gantiin kamu. Selamanya kamu akan jadi cinta pertamaku. Dan sampai kapan pun, kamu adalah cinta terakhirku. Terimakasih buat semua yang udah kamu beri. Makasih kamu bisa ngerti. Aku berharap kita masih diberi kesempatan lagi buat ketemu. Entah kapan, tapi aku percaya kita pasti ketemu.
Yang akan selalu hidup di hati Yoga,, YUKA
-ruang-
dalam sebuah cekam aku berjuang
bertahan lewat dekapan malam
di mana kini duniaku pergi
menjauh,, menghilang,, menyisa sepi
tersesak,, tersesat
terperangkap,, terjerat
aku jatuh
menjatuhkan mimpi yang terlalu berat
dalam kekosongan dan kehampaan
menutup celah untuk cercah cahaya
di mana singgah sang harapan
pada ruang hati yang terlukakah
yuka,, 070209
Mata Yoga semakin memerah. Tak hanya air mata yang turut temani kepedihan dan penyesalan yang menggebu. Isak tangisnya tak bisa lagi dibendung. Tak lagi tersisa harga diri sang lelaki berwajah rupawan. Nenek yang tadinya terduduk di ruang tamu, berjalan ke kamar Yuka dan menemani Yoga. Peluk hangat seorang Yuka seolah kembali Yoga rasakan. Serentak bulu kuduknya berdiri. Nenek pun juga merasakan kehadiran Yuka.
Dua buah lilin berukuran sedang berwarna ungu yang ada di meja Yuka ditegakkan. Diberdirikan pada sebuah meja bundar kecil. Sejajar dalam satu garis horisontal. Di antaranya ada sebuah palang. Setelah menyalakan lilin, mereka berdua berlutut. Menyatukan tangan dan memejamkan mata. Berdoa untuk ketenangan Yuka yang telah dipanggil Tuhan. Usai berdoa, wanita tua itu keluar meninggalkan Yoga.
Yoga menidurkan tubuhnya di tempat tidur Yuka. Wangi Yuka masih tersisa. Yoga memejamkan matanya namun air matanya tetap mengalir. Ada tangan halus yang mengusapnya. Menggenggam jemari Yoga erat. Menatap wajah Yoga sesaat. Berharap kepedihan itu akan segera berlalu. Pemilik tangan halus itu meninggalkan sebuah kecupan yang begitu hangat di kening Yoga. Dengan cepat Yoga tersadar. Dia sangat yakin, tangan halus itu milik Yuka. Yang baru saja menemani Yoga adalah Yuka. Yoga pun tersenyum penuh arti. Seolah berkata dia akan baik-baik saja.
Setelah melihat senyum Yoga, aku pun bisa pergi dengan tenang. Meninggalkan setengah jiwaku, meninggalkan separuh hatiku. Meninggalkan dunia yang tercipta fana. Karena akulah Yuka. Yang selamanya akan ada di hati dan di jiwa seorang lelaki bernama Yoga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu

hujatan cinta

teruskan saja menghujatku yang kau hujatkan adalah kebencian yang terbungkus cinta kau tak menyadari bahwa cintamu terlalu dalam tapi memaksakan kau tak bisa memiliki cintaku dan kau hujani aku dengan makian semakin kau menghujatku semakin mereka akan tau siapa yang pantas dicintai dan siapa yang harus mencintai meski sampai mati

Biasa yang Tak Biasa

kita pernah ada di satu waktu yang tak biasa di saat kau berdua dan aku sendiri lalu kita terbiasa dengan yang tak biasa membiasakan menanyakan kabar terbiasa mengingatkan memberi kabar hingga yang tak biasa, menjadi biasa kemudian kita ada di satu sisi yang tak biasa ketika kau merasa memilikiku dan aku menganggap kamu kekasihku entahlah. . . bukankah kita sudah terbiasa dengan yang tak biasa dan membiasakan hal yang tak biasa menjadi biasa ahhh. . . rasanya kita perlu mengisi pikiran kita dengan hal yang biasa karena kita terlampau sering menjalani hubungan,    yang tak biasa agatha tbrm020216