Langsung ke konten utama

hitam pun CINTA

Ku tatap senja di balik jendela kamar. Jingganya menembus bening kaca di hadapku. Akh. . . hari ini aku lelah sekali. Aku tersentak dalam lamunan panjang menerawang saat ponselku menyanyikan lagu yang sendu,
Mantan kekasih yang hilang datang
Ungkapkan besarnya penyesalan
Bagaimana dia menghancurkan aku
Percayalah kau tak aku sesali
Aku raih ponsel bercasing biru metalik dan membaca nama yang tertera di layar ponsel. "Halo Vin," sapaku lebih dulu. Tapi nggak ada balesan dari Vino sama sekali. Yang terdengar cuma suara berisik dan nggak jelas.
"Niat nelfon nggak sih? Mau pamer pulsa doang? Gue juga ada tau!," gerutuku sambil memutus telfon.
Belum sempat aku keluar dari kamar ada lagi suara ponsel. Kali ini pesan masuk entah dari siapa. Aku ambil lagi ponselku dan berjalan keluar sambil membaca sms dari Vino.
Gw tnggu dt4 biasa. Urgent!
"Napa sih nih anak? Kalo ada perlu ngomong aja langsung! Seenak udelnya nyuruh-nyuruh gue. Emang dia pikir gue robot apa," aku mengomel sendiri. Aku banting ponselku di sofa empuk ruang keluarga.
"Harusnya gue yang tanya sama elo, napa sih loe? Marah nggak jelas, uring-uringan, lagi dapet ya?," tanya Tian sama nggak jelasnya. "Ada yang mau curhat ma gue ne," lanjutnya lagi sambil melirik tempat kosong di sebelahnya.
Aku sandarkan juga badan letihku di sampingnya, sesaat menghela nafas dan mulai memutar otak bagaimana membalas sms dari Vino. Tian merangkulku, membenamkan kepalaku di dadanya. "Elo percaya kan sama gue? Masih nggak mau cerita sama gue apa yang bikin loe bete," selidik Tian sambil mengusap-usap kepalaku.
"Vino," jawabku singkat sambil memainkan jari-jari Tian. "Gue sebel banget sama dia. Masih punya ati nggak sih tuh orang? Belom puas dia udah nyakitin gue," cerososku. Tian cuma ngetawain aku. Dia ngakak nggak abis-abis. Dikira aku badut Ancol. Tapi bibir manyunku langsung mengheningkan lagi tawa Tian yang meledak.
"Mesti gue bilang berapa kali lagi sih sama elo! Jauhin tuh cowok brengsek. Dia terlalu beruntung bisa dapetin elo. Asli, gue nggak pernah sreg sama tuh bajingan," tanggap Tian dengan muka serius. Aku menoleh ke arahnya tapi nggak ada sesungging pun senyum. Aku menunduk. Perlahan bening itu keluar, setiap kali Tian bertutur lidahku jadi kelu, mulutku bagai terbungkam. "Elo sadar dong Ai! Hati loe tuh dari apa sih? Berapa kali lagi loe mau maafin dia? Sampe kapan lagi loe ngasih kesempatan ke dia? Inget janji loe sendiri," bentak Tian memuntahkan emosinya.
Isakanku menghentikan Tian. Tangannya mengusap air mata yang tertumpah. Hangat. Setiap kali aku di dekat Tian yang terasa cuma hangat. Lelaki ini selalu ada di sampingku. "Gue juga nggak mau kayak gini terus. Gue mesti selesein semua masalah ini. Sendirian tanpa bantuan siapa pun," jawabku lirih. Belum sempat Tian membalas, aku tetap lanjutkan kata-kataku,"Kali ini aja gue minta tolong sama elo. Gue nggak mau ngrepotin elo lagi. Udah cukup Tian! "
Senyum Tian menandakan satu makna yang dalam. Aku cuma bisa membalas dengan senyumku. Tanpa berlama aku masuk ke kamar dan mengambil kunci mobil lalu bergegas ke Cafe Borejue, tempat aku dan Vino biasa ketemu. Kali ini semua masalah yang aku punya sama Vino mesti dikelarin sampe bener-bener clear.
Vino udah nungguin di dalem cafe. Aku langsung samperin di meja nomer tiga belas, meja favorit kita. Dulu. Aku langsung duduk di kursi tepat di depan dia duduk. " Gue nggak punya banyak waktu, jadi langsung aja ngomong nggak pake basa-basi," kataku sambil membuka-buka menu yang ada di atas meja.
" Gue udah pesen makan buat elo, jadi entar kita makan dulu baru gue ngomong. Elo mau kan," desaknya sambil memegang tanganku. Entah karena merasa kaget atau apa, aku menghamburkan tangannya. Dan spontan langsung membanting buku menu yang tadinya aku pegang.
" Sorry Vin, tapi kalo elo cuma mau buang waktu gue, mending gue balik sekarang aja," balasku sedikit menyentak sambil bergegas berdiri dan keluar dari Cafe Borejue. Aku ingin Vino mencegahku atau mungkin menghentikan langkahku. Apa pun untuk menahan aku keluar dari cafe. Tapi, nol besar! Aku masih terlalu berharap.
Sampai aku membuka pintu mobil pun nggak ada reaksi dari Vino buat mencegah aku pulang. Terserahlah, anggap semua telah selesai. Iya, mulai detik ini nggak bakal ada lagi Vino. Aku memacu mobilku, aku setel kaset yang tertinggal di dash board.
Berakhirlah sudah semua
Kisah ini dan jangan kau tangisi lagi
Sekali pun aku tak ‘kan pernah
Mencoba kembali padamu
Sejuta kata maaf terasa ‘kan percuma
Rasa ku t’lah mati untuk menyadarinya

Lagu dari Kerispatih. Aku terlalu mendalami setiap kata dalam lagu itu. Memang benar kata Tian, aku terlalu indah buat Vino. Buat cowok brengsek yang udah nyakitin aku, yang udah membagi cintanya. Dia selingkuh, bukan dengan siapa, tapi sama Jenny. Jenny yang aku kira sahabat setia, yang aku harap bisa jadi sahabat sejati. Mereka berdua sama aja brengseknya. Di dunia ini nggak ada yang sejati, untuk apa pun dan untuk siapa pun.
Tian berdiri di pagar depan rumah sambil terus menggenggam ponselnya. Warna mukanya terlihat sangat khawatir. " Ngapain berdiri di situ," tanyaku lewat kaca mobil. Tian membuka pintu mobil, melihat aku, dan tersenyum. Seakan luruh semua khawatir yang tadi ada. Karena akukah?
" Elo tunggu sini, gue mau ambil jaket gue di dalem! Bentar aja Ai," teriaknya sambil berlari masuk ke rumah. Tak lebih dari dua menit Tian berada tepat di samping pintu mobil. " Elo pindah dong duduknya, masa gue disetirin ama cewek sih! Apa kata temen gue kalo sampe tau," katanya lagi.
Penasaran? Ya iyalah, secara aku nggak ngerti sama sekali apa maunya ne cowok. " Mau ke mana," tanyaku singkat. Tian nggak mau ngasih tau. Harusnya aku bisa ngobrol seru sama Tian tapi aku bingung mesti ngomong apaan. Aku makin penasaran lagi waktu Tian membelokkan mobil ke arah hotel. Aku berpikir Tian cowok yang mencari kesempatan dalam kesulitan.
" Besok temen gue mau dateng, dia minta tolong ke gue buat pesen kamar di hotel ini. Jadi kita mampir bentar ya," katanya membuyarkan pikiran jahatku. Aku mengangguk dan menunggu Tian di dalam mobil. Selesai pesen kamar, Tian langsung ngajakin aku jalan. Bener-bener jalan. Mobilku diparkir di hotel terus kita jalan kaki.
Entah sudah berapa lama aku nggak menikmati malam dengan berjalan kaki. Makan di pinggir jalan, dengan makanan yang seadanya, diiringi senandung dari pengamen, suara deru mesin motor dan mobil, lalu lalang jalan, dan lampu kota yang berkelip seperti taburan bintang. Kebiasaan ini tak pernah aku dapat dari Vino. Dia terlalu memanjakan aku dengan kemewahan dan gaya hidup glamour.
" Hari ini gue seneng banget! Elo ngajarin gue kalo kesenangan nggak cuma bisa didapet sama kemewahan doang. Nyatanya gue ngrasa bangun dari tidur panjang gue, seolah ada yang baru dalam hidup gue. Makasih ya Tian! Elo kok baek banget sih ma gue," lanjutku dengan tanya seadanya.
Tian diam. Tangannya menggenggam erat tanganku yang dingin. Dan sekali lagi dia menghangatkan dingin yang ingin membekukanku. Setiap sentuhannya seolah ingin meledakkan hatiku. Tapi kenapa, kenapa baru sekarang aku menyadarinya? Aku memiliki harta yang indah, yang tak tergantikan dengan apa pun. Dia bahkan selalu ada setiap waktu aku butuh seseorang untuk bersandar, untuk berbagi beban.
Aku pulang pukul sebelas malam setelah mengantar Tian ke rumah temennya. Katanya mau ngerjain tugas kuliah yang belom kelar. Semoga besok menyenangkan dan akan ada kejutan yang lebih dasyat dari hari ini.
Baru aja aku pejamkan mata, lagu sendu yang terdengar lewat ponselku bergema. Memecahkan keheningan malam. Dari Vino. Aku dalam sebuah persimpangan. Angkat ato enggak. Vino bukan tipe orang yang suka mengganggu privacy orang kalo nggak bener-bener butuh.
" Halo. . .," sapaku lewat telepon sedikit gugup.
" Ai, ne gue Vino! Gue nggak tau mesti gimana lagi buat ngebuktiin penyesalan gue ke elo. Gue sayang sama elo, Ai. Gue tau banget elo pasti kecewa sama gue, tapi untuk yang terakhir kali, gue mohon elo mau terima maaf gue. Gue pengin elo mau jalan lagi sama gue. Gue janji ini buat yang terakhir kalinya, gue nggak bakal ngecewain loe lagi. Elo mau kan Ai," kata Vino lembut. Nadanya memelas tapi aku masih ragu benarkah yang dia katakan.
" Gue bingung Vin, berapa kali lagi gue mesti ngasih elo kesempatan. Berapa kali lagi elo mau nyakitin gue? Sekarang elo mohon kayak gini ke gue. Besok elo nyakitin gue lagi. Gue bosen sama hubungan kita," balasku terisak. Vino cuma bisa bikin aku makan ati, cuma bisa bikin aku nangis tapi aku masih sayang sama dia. Mungkin aku nggak pernah mau jujur kalo aku masih sayang ke dia. Aku takut.
" Percaya sama gue! Sekali ini aja gue minta elo kasih gue kesempatan. Gue nggak bakal nyakitin elo, gue nggak bakal buat elo kecewa lagi. Gue janji Ai! Gue bakal berubah jadi lebih baek. Buat elo! Buat Aira, buat cewek yang tulus sama gue. Gue mohon sama elo, Ai," pintanya memelas. Aku mendengar suara Vino yang tulus. Aku terhanyut oleh permintaannya. Dan entah apa yang membuat aku sekali lagi mau, menerima Vino dalam perjalanan cintaku.
" Jangan kecewain gue Vin, gue udah bosen! Gue pengin elo nepatin kata-kata elo," balasku singkat dan menutup telepon. Aku telah mendapat kejutan indah dari Vino. Dan aku harap besok adalah hari yang menyenangkan. Semoga.
Pagi ini Vino rela dateng pagi-pagi cuma buat nganter aku berangkat kuliah. Sebenarnya yang dilakukan Vino standart tapi kalo dia dateng dengan sebuket bunga mawar merah dan Strawberry Shortcake, itu yang bikin aku luluh. So Sweat!
Aku mesti ngasih tau Tian tentang hubunganku yang udah baik sama Vino. Aku mengirimkan pesan singkat ke nomer ponselnya.
pg tian..udh bgn blom? ad kbr yg ngejutin ney
smlm vino mnt maaf k gw n skrg qta udh baikan lg
gw seneng bgt dh :) hve a nice day
Vino nungguin aku selesai kuliah karena dia mau ngajakin aku ke Cafe Borejue. Inikah titik balik dari seorang Vino? Sampai detik ini, hariku memang menyenangkan. Aku ingin bagikan bahagiaku ke Tian tapi ponselku mati. Mungkin karena semalam Vino telpon jadi baterainya drop. Aku coba hidupkan ponselku barang kali masih bernyawa.
Puji Tuhan! Ternyata ada pesan singkat dari Tian.
gw dkung ap pun kptsan lo. good luck ai :p
Seperti mendapat restu dari orang yang aku percaya. Banyak sekali pesan yang tertuju untukku. Tapi belom sempat aku baca, ada telepon masuk dari Mike.
" Hai Mike, tumben loe telfon gue? Ada angin apaan ney," tanyaku tak sabar menunggu balasan Mike, temen deket Tian.
" Ai, loe bisa ke rumah sakit sekarang nggak? Tian masuk ICU, dia kritis. Cepetan ya Ai," balas Mike mencoba tenang meski aku tau dia tak mungkin bisa tenang.
Aku tak sadar bening yang coba aku tahan tertumpah juga. Vino mengantarkan aku ke rumah sakit. Aku seperti orang yang bingung harus berbuat apa. Vino mencoba menenangkan aku. Dia genggam tanganku, erat seperti Tian menggenggam. Tapi aku tak sedikit pun merasa lebih tenang atau rasakan hangat.
Aku langsung berlari ke ruang ICU. Ada Mike yang terduduk di lantai. Matanya sembab, merah, seperti habis menangis. Dia menatapku. Dalam pandangnya terselip sebuah kecewa yang teramat karenaku. Entahlah, aku kacau! Mike mengulurkan sebuah agenda berwarna hitam. Aku hapal agenda itu, seperti sudah mengenalnya lama. Benar saja, itu kado yang aku berikan untuk Tian.
" Tian pengin loe nyimpen agendanya dia," kata Mike lirih hampir tak terdengar seperti berbicara. Apa yang terjadi? Separah apa keadaan Tian sampai dia menitipkan semua rahasia yang tersimpan dalam agenda hitamnya? " Yang sabar ya Ai, Tuhan pasti ngasih jalan yang terbaik buat kita semua," lanjut Mike lagi.
Aku terjatuh dalam pelukan Vino. Benarkah? Aku tak bisa lagi berpura-pura tegar, seolah aku mampu menghadapi segala coba. Seperti tak berdaya menatap ada.
untuk Aira yang selalu menghias hati Tian ;p
Tuhan menemukan kita, aku bahagia karena bisa mengenalmu. Tapi ternyata Tuhan menemukan kita dalam jalan yang nggak aku inginkan. Aku ingin selalu ada di dekatmu, mendekapmu saat kau terombang-ambing dalam kegelisahan. Aku ingin selalu ada bagaimana pun keadaan Ai. Yang aku ingin adalah sebagai seorang kekasih untuk Ai. Aku bisa mendekapmu, selalu ada di sampingmu tapi hanya sebagai seorang kakak. Aku penjarakan egoku dan mencoba menerima pemberian Tuhan penuh syukur. Aku masih bisa melihat Ai, aku bisa menjaga Ai. Tian sayang Aira. Sebagai adek Tian. Itu yang bisa Tian beri sebagai seorang kakak tiri Ai.
Tian tau kalo nggak boleh berharap lebih dari Ai. Tapi aku nggak bisa boong karena rasa cinta dan sayang Tian tulus buat Aira. Cinta tak harus memiliki, tadinya aku nggak percaya tapi aku bisa mengerti, cinta adalah memiliki dengan cara yang lain. Cinta Tian bisa memiliki Ai meski sebatas hubungan kakak adek. Asalkan kamu seneng aku juga ikutan happy :)
Aku nggak mau liat Ai sedih lagi, apalagi kalo Ai sedih gara" aku. Duwh, bakal nyesel seumur hidup dech aku! Aku cuma pengin Ai dapet yang terbaik. Tuhan menemukan kita dengan orang yang salah sebelum mempersatukan kita dengan orang pilihanNya. Percaya dech Ai..
Orang bilang merah itu cinta, Tian percaya dan meyakini kalo hitam pun cinta. Cinta yang tetap mau menerima bagaimana pun keadaan orang yang kita cinta, cinta yang tetap mencintai meski bukan kita orang yang mereka cinta. Tian nggak tau kapan akan pergi ninggalin Ai. Suatu saat nanti Ai pasti akan ngerti kenapa Tian ninggalin Ai. Bukan karna aku nggak sayang sama Ai tapi inilah jalan terbaik yang dipilihkan Tuhan buat Tian, buat Ai, dan buat orang" yang ada di deket kita semua.
Jagain agenda ini ya Ai. Jaga juga semua yang kamu miliki, yang udah Tuhan percayain ke kamu. Jangan sampe kamu kecewa sama keputusan yang udah kamu ambil. Take care Ai. c u in heaven my lovely sis
Tian yang selalu sayang sama Aira :)
Tian pergi ke surga yang Tuhan janjikan setelah mengalami masa kritis akibat kecelakaan mobil. Mike mencoba menghubungi aku tapi nomer ponselku nggak aktif. Sampai Tian menghembuskan nafas terakhirnya, cuma namaku yang disebut, cuma agenda hitam pemberianku yang menemani masa kritisnya. Aku menyesalkan kejadian ini, tapi yang terlihat mataku sekarang cuma gundukan tanah yang masih merah dengan nisan bertuliskan Christian Putra Atmadja.
Aira sayang Tian. Aira janji bakal jaga semua yang Ai punya. Selamat jalan Tian. Take care in heaven my lovely bro. .
agha senja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu

hujatan cinta

teruskan saja menghujatku yang kau hujatkan adalah kebencian yang terbungkus cinta kau tak menyadari bahwa cintamu terlalu dalam tapi memaksakan kau tak bisa memiliki cintaku dan kau hujani aku dengan makian semakin kau menghujatku semakin mereka akan tau siapa yang pantas dicintai dan siapa yang harus mencintai meski sampai mati

Biasa yang Tak Biasa

kita pernah ada di satu waktu yang tak biasa di saat kau berdua dan aku sendiri lalu kita terbiasa dengan yang tak biasa membiasakan menanyakan kabar terbiasa mengingatkan memberi kabar hingga yang tak biasa, menjadi biasa kemudian kita ada di satu sisi yang tak biasa ketika kau merasa memilikiku dan aku menganggap kamu kekasihku entahlah. . . bukankah kita sudah terbiasa dengan yang tak biasa dan membiasakan hal yang tak biasa menjadi biasa ahhh. . . rasanya kita perlu mengisi pikiran kita dengan hal yang biasa karena kita terlampau sering menjalani hubungan,    yang tak biasa agatha tbrm020216