Langsung ke konten utama

Sedetik Waktu, Aku Ingin Menyerah

aku menahan air mata dalam kesendirianku

memikirkan banyak hal yang tak bisa ku ceritakan ke semua orang

mencari tempat nyaman di sudut gelap yang dijauhi kebahagiaan

tapi di sana lah aku, mengartikan setiap beban yang harus ku selesaikan


aku kuat, aku tidak lemah

itu kataku pada seruan iba yang mengasihaniku

aku tak perlu berteriak, agar mereka tau

aku menangis semalaman

sepanjang hari yang baru sekali ini dijatuhi hujan


apa yang harus aku lakukan

jika orang yang ku pikir peduli,

tidak sepeduli itu denganku

aku mencari sepasang telinga yang bersedia mendengar

bahkan ketika aku tidak mampu berucap


aku masih tersudut,

menuliskan kegelisahanku yang entah akan dimengerti atau tidak

oleh pasang mata yang mencari pembenaran


aku sendirian, aku bertahan dengan sisa air mata yang mulai malas keluar isyaratkan kepedihan

aku lelah, aku sudah lelah


bolehkah aku menyerah

pada janji-janji yang hingga kini belom ditepati

juga kepada setiap rancangan masa depan tak kunjung pasti


aku, apakah akan dicari, jika aku pergi

apakah akan ditangisi, jika aku mati


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu

bidadari

mengapa engkau pergi di mana engkau kini ke mana kami mencari peri kecil kami, telah menjadi bidadari tak terasa telah dewasa tapi jangan pernah pergi tinggalkan kami kembalilah bidadari kami engkau kuat, kami tau itu tapi tiada arti engkau sendiri pulanglah bidadari kami menanti di setiap detik berganti buat adekku, etta

coba lupakan kamu!

Suara sepatu yang aku pakai begitu jelas terdengar setiap kali menyentuh lantai. Telinga yang mendengar pasti tau aku sedang berlari. "Tha, dengerin aku dulu," begitu teriak Andre sambil terus berjalan dengan langkah yang cepat meski dia nggak berlari sepertiku. Aku nggak begitu menanggapi kata-katanya. Aku harus menghindar dari dia. "Sampe kapan mau lari? Sampe kapan kamu menghindar dari aku? Sampe kapan kamu mau berbohong sama nurani kamu? Sampe kapan, Tha," teriaknya lagi dan kali ini nggak ada langkah yang memburu. Aku berhenti dari lariku dan membalikkan badanku. "Apa mau kamu," begitu tanyaku dingin. Aku nggak lagi berlari menjauh dari dia tapi kali ini aku menghampiri dia. Mendekatkan jauh yang terbentang antara aku dan dia. "Setelah aku berhenti apa kamu yakin buat ninggalin dia? Apa kamu yakin aku mau ninggalin Aldo," lanjutku lagi masih tetap dingin. Aku merasa semua saraf di tubuhku telah mati. Saat tangan Andre menyentuh wajahku, bahk...