Ada masa di mana aku pernah sedikit menaruh rasa kepada lelaki ini. Memberi sedikit perhatian lebih untuk sekedar tau kabar lelaki ini. Menjerat mataku lewat tatapannya yang tak sering menatapku tapi begitu menikam, begitu dia menatapku. Senyumnya yang tak setiap waktu bisa ku lihat, tapi begitu menyenangkan saat dia tersenyum kepadaku.
Acuhnya itu seperti rembulan yang begitu ingin digapai si pungguk. Meski tak mungkin tapi begitu indah untuk dinikmati. Dikejar. Didapatkan.
Tapi sampai sekarang, aku tak bisa mendapatkan hatinya. Tak tertarik lagi. Setidaknya setelah tau perempuan macam apa yang ingin dijadikannya pendamping. Lalu perlahan, rasa kepada lelaki ini memudar. Menghilang.
Sampai beberapa waktu lalu, aku mendengar kabar tentang kesedihannya. Sakit hatinya. Lukanya. Kecewanya. Tangisnya. Kehilangan perempuan yang dia harapkan menjadi pendamping hidupnya. Ditinggalkan oleh yang dia anggap sebagai belahan jiwanya. Bagian dari tulang rusuknya.
Begitu memilukan. Ketika dengan angkuh, dia pernah mengabaikanku. Dan sekarang, yang dia kira perempuan sempurna pilihannya, mengabaikannya. Meninggalkannya untuk membangun rumah tangga bersama pria lain.
Perlukah aku menangisi kesedihannya ? Ikut merasakan apa yang dia rasakan. Begitukah ? Atau aku cukup tersenyum saja. Menikmati setiap butir kecewanya. Yang mungkin juga sama, seperti yang aku rasakan dulu. Akhhh. . . tidak. Dulu aku tak sekecewa itu. Aku bisa melepaskan perasaan dengan mudah. Karena apa ? Karena aku hanya sedikit menaruh rasa. Tak begitu dalam. Tak begitu kelam.
Jika lelaki ini merindukan senyumku, tak sulit mendapatkannya. Tapi akan sangat sulit mendapatkan hatiku yang akan tertaut pada senyumnya lagi.
Hanya sepenggal kesenangan masa laluku. Tentangku, dan lelaki ini.
Acuhnya itu seperti rembulan yang begitu ingin digapai si pungguk. Meski tak mungkin tapi begitu indah untuk dinikmati. Dikejar. Didapatkan.
Tapi sampai sekarang, aku tak bisa mendapatkan hatinya. Tak tertarik lagi. Setidaknya setelah tau perempuan macam apa yang ingin dijadikannya pendamping. Lalu perlahan, rasa kepada lelaki ini memudar. Menghilang.
Sampai beberapa waktu lalu, aku mendengar kabar tentang kesedihannya. Sakit hatinya. Lukanya. Kecewanya. Tangisnya. Kehilangan perempuan yang dia harapkan menjadi pendamping hidupnya. Ditinggalkan oleh yang dia anggap sebagai belahan jiwanya. Bagian dari tulang rusuknya.
Begitu memilukan. Ketika dengan angkuh, dia pernah mengabaikanku. Dan sekarang, yang dia kira perempuan sempurna pilihannya, mengabaikannya. Meninggalkannya untuk membangun rumah tangga bersama pria lain.
Perlukah aku menangisi kesedihannya ? Ikut merasakan apa yang dia rasakan. Begitukah ? Atau aku cukup tersenyum saja. Menikmati setiap butir kecewanya. Yang mungkin juga sama, seperti yang aku rasakan dulu. Akhhh. . . tidak. Dulu aku tak sekecewa itu. Aku bisa melepaskan perasaan dengan mudah. Karena apa ? Karena aku hanya sedikit menaruh rasa. Tak begitu dalam. Tak begitu kelam.
Jika lelaki ini merindukan senyumku, tak sulit mendapatkannya. Tapi akan sangat sulit mendapatkan hatiku yang akan tertaut pada senyumnya lagi.
Hanya sepenggal kesenangan masa laluku. Tentangku, dan lelaki ini.
Komentar
Posting Komentar