Langsung ke konten utama

destiny

Hari ini aku disibukkan dengan persiapan acara pernikahan salah satu klien. Yang kebetulan menggunakan jasa event organizer yang aku kelola bersama beberapa teman jaman kuliah. Awalnya memang banyak rintangan. Tetapi berjalannya waktu, semakin banyak saja klien yang mempercayakan acaranya pada jasa kita yang berlabel Little Break Event Organizer. Klien yang dihadapi pun beragam. Ada yang manut manggut-manggut dengan ide yang kita tawarkan. Ada yang datang membawa rancangan konsep. Ada juga yang menyebalkan seperti klienku sekarang. Kemarin bilang bunga mawar merah. Hari ini minta ganti anggrek bulan warna ungu. Kemarin minta round table, sekarang mau ganti standing party. Memang menyebalkan. Tapi itulah pekerjaan kita. Melayani klien. Dan untuk itulah kita dibayar.

Setelah melayani pasangan yang bawel. Aku memilih untuk keluar kantor dan mulai menghisap rokok. Ngobrol bareng Pak Mien. Sopir yang sudah bekerja di kantor kita selama tiga tahun terakhir. Kita tak pernah membangun sekat antara atasan dan pesuruh. Setiap karyawan, baik atasan atau hanya seorang sopir seperti Pak Mien, harus saling menghargai. Karena itulah banyak karyawan yang betah bekerja di kantor.

Di tengah kesibukanku menghabiskan rokok, aku melihat makhluk surga yang turun ke dunia. Dia seperti malaikat. Juga seperti bidadari. Cantik. Ramah. Dan yang lebih membuat jantungku berdegup kencang adalah makhluk itu berjalan mengarahkan kaki ke kantor. Senyumnya menyimpul saat berlalu meninggalkan aku. Yang mungkin terlihat bodoh saat memandang keindahan Tuhan.

Tak lama ponselku bergetar. Ada panggilan dari nomer kantor. Diaz, karyawan yang menjabat sebagai receptionist, mengatakan ada klien baru yang ingin menggunakan jasa kita. Aku pun langsung bergegas masuk kantor dan meninggalkan kurang lebih separuh batang rokokku di asbak. Mematikannya.

Aku langsung salah tingkah waktu aku mendudukkan diri di kursi tamu dan melihat malaikat tadi berada di depanku. Sebelumnya aku tak pernah merasa gugup dihadapkan bermacam klien. Aku sedikit mengambil nafas dengan menawarkan permen mint pada sang bidadari. Setelah dia mengambil, dia langsung menjulurkan tangannya padaku. Memperkenalkan diri dan maksud tujuannya datang ke kantor.

Harus aku akui. Dia memang wanita cerdas. Dia sangat pintar. Apa pun yang kita bincangkan, dia bisa menanggapi dengan jawaban yang simple tapi membuatku terkesan. Tata bahasanya. Gerak tubuhnya. Semua yang ada pada dirinya adalah sempurna. ٨٨

Aku mendapat rekomendasi dari beberapa teman tentang Little Break Event Organizer. Awalnya aku berniat untuk mengurus segala keperluannya sendiri. Tapi berhubung banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan dalam jangka waktu segera, aku memutuskan memakai jasa EO. Tak apalah mengeluarkan uang untuk membayar jasa orang yang cuma memberi pendapat, saran atau pun masukan. Meski kadang tak sesuai dengan seleraku. Paling tidak, waktu yang nanti aku pakai untuk memutuskan ini itu, bisa aku pakai untuk merampungkan tulisanku. Deadline yang aku buat, hampir aku langgar sendiri.

Aku seorang penulis muda. Tapi bukan juru tinta yang doyan dunia sosial atau politik. Hanya seorang lulusan sarjana yang nyasar fakultas saat kuliah dulu. Aku menghabiskan waktu dengan mengajar beberapa anak jalanan. Yang kebetulan aku tampung di sebuah rumah yang tak terlalu besar juga tak terlampau kecil. Cukuplah untuk menampung dua puluh anak.

Sejak aku masuk kuliah, aku ingin sekali suatu waktu nanti aku punya yayasan sosial yang membantu anak jalanan atau putus sekolah. Memang yang aku miliki sekarang belum bisa disebut yayasan, tapi jalan menuju yayasan masih terus aku perjuangkan.

Usai mengajar, aku langsung meluncur ke EO yang dimaksud beberapa teman. Sesampainya di alamat yang tertera pada sebuah kartu nama, aku memarkirkan mobilku. Begitu aku turun, aku seperti melihat oase di tengah dahaga gurun. Pangeran yang begitu tampan. Lelaki muda yang tak merasa risih berbincang dengan seorang tua di sampingnya. Berbagi canda. Tawanya seperti bunyi sangkakala. Dari wajahnya, aku simpulkan dia adalah seorang pria. Bukan lagi bocah yang doyan berhave fun ria.

Saat aku memasuki kantor yang bertebar banyak warna di tiap sudutnya, aku langsung melangkahkan kaki di meja receptionist. Aku menunjukkan kartu nama yang aku bawa. Dan perempuan yang aku tau bernama Diaz itu memencet tombol telepon. Dia memakai kartu tanda pegawai. Dari sanalah aku tau namanya. Diaz memintaku untuk menunggu sesaat di kursi tamu. Dan dia memberiku segelas orange juice.

Tak lama memang. Setelah beberapa saat aku duduk, datang seseorang yang menempatkan diri di depanku. Pangeran tampan yang aku lihat di depan kantor tadi. Setelah dia menawarkan permen mint, aku mengenalkan diriku dan maksud aku datang ke kantornya. Dia adalah pemilik sekaligus yang biasa menerima klien. Menarik. Karena aku berada pada orang yang tepat. Dia pintar. Memang tak terlihat seperti eksekutif muda, tapi topik yang dilontarkan selalu membuat aku bergairah untuk berpendapat. Sepadan denganku. ٧٧

Sabtu ini aku ada janji dengan Shahia. Makhluk surga layaknya bidadari yang hari Selasa lalu datang ke kantor. Dia berencana ingin merayakan pesta perkawinan orang tuanya yang sekarang sedang berada di Jerman. Hari Jumat lalu dia meneleponku. Karena dia belum ada waktu kosong untuk datang ke kantor, akhirnya kita berdua memutuskan untuk bertemu di luar kantor. Tepatnya di sebuah kafe yang tak jauh dari kantor.

Aku datang terlalu awal dari perjanjian. Sudah segelas lemon tea kuhabiskan dan tiga batang rokok kuhisap. Shahia belum juga datang. Jam di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul enam. Aku sudah duduk hampir sejam di kafe. Jika sesuai jadwal, aku harus menunggu setengah jam lagi untuk kedatangan Shahia. Itu pun kalau dia bisa tepat waktu. Aku hampir mati kaku. Parahnya, aku belum pernah mau menunggu sampai selama ini.

Di kebosanan yang menggerogotiku, Shahia datang. Dia berbeda. Sangat berbeda. Lebih casual. Memakai kaos junkies yang melekat rapi di tubuhnya. Celana jeans panjang ketat dan sepatu kets yang lumayan feminin. Juga kacamata berwarna coklat muda yang sejuk dilihat.

Dia meminta maaf karena membuat aku menunggu. Padahal aku sendiri yang membuat diriku menunggu begitu lama. Setelah memesan beberapa menu, kita mulai membicarakan rancangan konsep. Klien yang aku hadapi sekarang adalah klien yang kreatif. Dia begitu antusias melontarkan ide-ide yang instan tapi berkesan sudah lama direncanakan. Menyenangkan. Tidak seperti klien lain yang hanya bisa komplain.

Semakin lama kita berbincang, aku merasa pembicaraan kita tidak lagi membahas alasan kita bertemu. Menuju ke arah yang lain. Dari kegiatan Shahia, hobi dia, apa yang tidak dia sukai, dan segala hal lainnya. Ada satu hal yang dia sembunyikan. Dia tidak begitu suka dengan perokok. Dia menyembunyikan itu dariku. Karena dia tau aku seorang perokok.

Aku hanya bertanya iseng. Apakah dia suka dengan pria yang merokok, dan dia berada dalam dilema. Entah apa yang membuat dia tak begitu gamblang memberiku jawaban. Seperti ada rasa takut untuk menjawab. Takut menyinggungku barangkali.

Sudah lewat pukul sembilan. Shahia berniat untuk segera pulang. Aku ingin mengantar tapi dengan halus dia menolakku. Lagi pula dia juga membawa mobil sendiri. Dia berjanji akan menghubungiku lagi. Kita berpisah di tempat parkir. Dengan sebuah ciuman di kedua pipi. Weekendku tak sekelabu malam-malam sebelumnya. Ada Shahia yang mengguncang duniaku. Ada bidadari yang peduli denganku. ٨٨

Baru saja Edsel meneleponku. Si pria tampan yang membuat segala sesuatuku berantakan. Biasanya aku akan segera menjauh dari seorang perokok. Aku tau dan sadar benar dia merokok. Tapi aku hanya berdiam diri. Selama dia tidak merokok di hadapanku, sudah cukup untukku. Toh, selama ini dia berusaha menahan keinginannya merokok saat bersamaku.

Malam minggu lalu kita bertemu untuk membicarakan rencana perayaan ulang tahun perkawinan mama dan papa. Akhir pekan yang tak biasa. Entah kapan terakhir kali aku merasakan bahagia seperti akhir pekan lalu. Sudah lama aku tak tertawa bebas.

Siang ini Edsel mengajakku untuk makan siang. Di kafe yang sama. Sekalian membahas segala sesuatu yang masih kurang. Aku setujui ajakannya. Bukankah itu baik? Kebetulan Kamis ini aku tak ada rencana apa pun. Hanya mengajar. Itu pun sudah selesai sejam yang lalu. Daripada aku harus makan sendirian, dengan Edsel bukan hal yang buruk menurutku.

Aku sampai lebih dulu di kafe. Edsel menjanjikan untuk datang sekitar jam satu. Setelah selesai meeting. Aku keluarkan ponselku. Aku lihat digit yang terpampang di layarnya. Masih tersisa lima belas menit menuju pukul satu.

Edsel menghampiriku sebelum waktu persis berada pada pukul satu. Selama makan kita memang tak membahas urusan yang berkaitan dengan EO. Edsel membuatku tak bisa berhenti tertawa. Perutku sakit. Bukan karena kekenyangan tapi karena Edsel selalu menggodaku untuk tertawa selama kita membahas pesta perak perkawinan mama papa.

Edsel sudah beberapa kali ditelpon oleh kantor. Dia mengajakku ke kantor. Tiba-tiba aku membaca sesuatu. Gambar itu terlihat begitu jelas. Edsel akan jatuh. Tergeletak tak berdaya. Aku melihat dia berlumur darah. Kemeja putih yang saat ini dipakainya, tak lagi terlihat bersih. Aku tak mau melihat ini. Aku harus menghentikan Edsel. Dia tak boleh pergi.

Dia menertawakanku. Dia pikir aku menakut-nakutinya. Apa dia tau kekhawatiran yang coba aku usir? Apa dia tau, aku pun tak ingin bisa melihat seperti ini? Aku masih berpikir bagaimana menghentikan Edsel. Dia bersikeras ingin kembali ke kantor.

Usai membayar, Edsel keluar dari kafe. Aku masih di belakangnya. Mengikutinya. Aku ingin dia tau, aku tak mau dia terluka. Dia sudah berada di samping mobilnya. Aku tak tau yang ada di otakku saat ini benar atau salah. Aku hanya berharap bisa menghentikan Edsel. Sebelum dia masuk mobil aku raih tangannya. Dan dalam sekejap bibirku telah menyatu dengan bibirnya. Cukup lama. Aku biarkan lama. Biarkan seperti ini. Airmataku terjatuh. Jatuh seirama dengan bunyi benturan dua mobil di belakang Edsel. Aku pingsan. ٧٧

Aku merasa bersalah karena membuat Shahia begitu ketakutan. Padahal aku bisa membaca yang ada di dalam pikirannnya. Dia mengatakan apa yang dia lihat. Dan dia berusaha meyakinkanku. Itu semua benar. Dia berkata jujur.

Aku ingin yang ada padaku hilang. Aku tak mau bisa membaca. Membaca yang sedang dipikirkan orang. Membaca apa yang ada di pikiran orang. Aku berusaha tak mempercayai apa yang bisa aku baca.

Kamis yang mengejutkanku. Untuk apa dia menciumku. Di depan umum pula. Aku tak menganggap dia tak mempunyai norma. Aku hanya ingin tau, mengapa dia melakukan semua itu. Untuk dia? Apa untung yang dia dapat setelah menciumku? Begitu pentingkah aku di hidupnya? Sampai sebegitunya dia mencegahku. Dengan harga diri yang begitu dia junjung.

Jumat kemarin aku sengaja tak pergi ke kantor. Aku menemani Shahia. Dia masih begitu ketakutan. Kondisinya drop. Andai saja aku mau mendengarnya. Andai saja aku percaya kata-katanya. Mungkin dia akan baik-baik saja. Tapi jika aku tak memaksakan diri, mungkin dia tidak akan menciumku. Setidaknya aku tau, dia peduli padaku. Sangat.

Malam minggu ini aku diijinkan untuk ke rumahnya. Shahia ingin aku menemaninya. Aku pikir mungkin ini salah satu cara menebus kesalahanku. Ponselku berdering. Shahia. Dia sudah menungguku. Dia juga bilang sudah memasak beberapa menu favoritku. Seingatku, aku tak pernah bilang apa makanan kesukaanku. Dari mana dia bisa tau.

Yang aku tau, aku ingin segera menemuinya. Mencium keningnya. Dan memeluknya. Aku rindu dia. Rindu Shahia. Waktu aku sampai di rumahnya, dia masih sibuk menungguku di teras rumah. Senyumnya mengembang waktu tau yang datang adalah aku.

Aku memang belum lama mengenal Shahia. Tapi dia bisa mengisi kekosonganku selama ini. Dia berhasil mengisi celah-celah tak berirama. Dia membuat detak jantungku giat berdegup. Dia mengkombinasi warna hariku menjadi paduan warna yang cerah. Tak lagi kelabu tanpa kepastian. Dia membuatku lebih bergairah. Menerbitkan semangatku yang lama terbenam. Membangkitkan kebebasan jiwaku yang mati suri.

Aku belum pernah melihat Shahia seperti ini. Mungkin ini sisi lain dari seorang Shahia. Aku seperti melihat gadis remaja yang sedang jatuh cinta. Dengankukah? Ku harap. Karena Shahia telah mengguncang kenormalanku. Aku gila. Gila karena jatuh cinta pada Shahia. ٨٨

Semalam adalah malam Minggu yang paling berkesan sepanjang aku bernafas. Edsel menyemikan kembali ladang cinta yang lama kering. Memang belum berbunga. Tapi aku yakin suatu saat nanti akan berbuah.

Semalam Edsel tidak pulang. Karena semalam hujan yang mengguyur sangat deras. Dan beberapa jalan yang akan dilalui Edsel tergenang banjir. Daripada terjadi sesuatu dengan dia, aku menyuruhnya untuk bermalam di rumah. Menempati kamar Bang Alif.

Minggu pagi yang cerah. Sangat cerah. Aku berpikir, mungkin Tuhan memberiku dua matahari pagi ini. Aku baru saja selesai menyiapkan sarapan. Setelah merapikan meja makan, aku menuju sebuah kamar. Mengetok pintunya. Membangunkan Edsel.

Tak lama setelah aku mengetok pintu, pangeran tampan itu menampakkan keberadaannya. Dia mencium keningku. Belum ada lelaki yang berani menjamahku tanpa seijinku. Tapi perlakuan Edsel seolah telah aku iyakan. Aku juga diam saja. Bahkan aku menganggap yang dilakukan Edsel wajar. Karena dia peduli padaku. Apa yang salah?

Kita sarapan bersama. Selesai sarapan aku mengajak Edsel untuk melihat rumah. Karena rencanaku, perayaan pesta perak perkawinan mama papa akan diadakan di rumah. Setidaknya Edsel bisa memberi masukan, tempat mana yang tepat. Bagian mana yang tidak diperlukan. Dia lebih ahli bukan ketimbang aku. Ku harap.

Konsep perayaan telah kita sepakati. Tempat telah kita pilih. Segala tetek bengeknya hampir tujuh puluh lima persen telah siap. Sisanya akan kita lanjutkan saat mendekati perayaan. Aku lantas mengajak Edsel bersantai di saung yang berada di halaman belakang rumah. Dia merebahkan badannya. Menemaniku menyelesaikan tulisanku.

Sudah hampir siang. Aku terlampau menikmati waktu-waktu saat bercumbu dengan aksara yang tercetak di layar notebookku. Edsel juga tertidur. Aku biarkan saja dia tertidur. Wajahnya terlihat begitu lelah. Tapi wajahnya terlihat lucu saat dia terlelap. Persis seperti anak kecil. Aku tinggalkan notebook di saung. Aku mainkan beberapa instrumen musik klasik lewat Winamp. Untuk menemani tidur sang pangeran.

Aku ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Kira-kira sejam aku berkutat dengan sayuran dan bumbu. Pukul satu. Aku telah selesai menyiapkan makan siang untuk aku dan Edsel. Aku kembali ke saung untuk membangunkan Edsel. Ternyata dia telah terbangun.

Aku mengajaknya ke meja makan untuk mengisi perut. Usai makan Edsel meminta pamit pulang. Karena dia ada janji dengan klien. Aku pasti merindukan dia. ٧٧

Kenapa aku merasa hariku kembali hampa? Benarkah karena Shahia? Karena telah dua minggu aku tak bertatap muka dengan Shahia. Meski setiap hari aku bertukar kabar dengan dia. Tetap saja ada yang kurang. Aku ingin bertemu.

Aku menelepon dia. Mengajaknya bertemu. Mengungkapkan segala galau hatiku tanpa hadirnya. Memberinya sebuah pernyataan dan ajakan. Memohon sebuah penyanggupan. Shahia berniat menghampiriku lebih dulu sebelum kita ke kafe dekat kantor. Aku tak sabar menunggunya. Berulang kali aku tengok waktu di tanganku. Shahia datang juga.

Ada yang berbeda dari Shahia. Bukan Shahia yang ku kenal. Bukan Shahia yang ku puja. Ada apa dengan Shahia? Dia lebih tertutup. Enggan bercerita selain membahas pesta perak orang tuanya yang diadakan seminggu lagi. Dia terluka. Aku bisa membaca pikirannya.

Aku tak mau berbasa-basi. Aku mengajaknya bertunangan. Mungkin aku gila. Tapi aku tau dalam pikirannya, dia pun tak keberatan akan ajakanku. Dia berusaha mengalihkan pembicaraan. Aku hanya ingin dengar jawaban dari mulutnya. Apa susahnya untuk mengatakan iya? Dia hanya menunduk. Dan berkata tidak bisa. ٨٨

Semalam aku melihat diriku dan Edsel. Dia menggenggam tanganku. Kita berjalan bersama. Saat kita menuju sebuah tempat, genggaman Edsel terlepas. Aku kehilangan dia. Aku mencarinya. Setengah mati mencarinya. Dan ketika aku berhasil menemukan dia, dia telah tergeletak tak bernyawa. Di sampingnya ada selingkar cincin. Cincin yang katanya akan dia berikan padaku. Cincin yang akan dia pasangkan di jari manisku.

Itu yang aku lihat tentang masa depanku. Jika aku mengiyakan ajakan Edsel maka aku menggenapi apa yang telah aku lihat. Dan aku menyetujui takdir Edsel yang berakhir tragis. Aku tak mau kehilangan Edsel. Aku takut. Sangat takut dengan apa yang aku lihat. Aku tak bisa menerima Edsel. Bukan karena aku tak memiliki rasa yang sama. Tapi karena takdir Edsel ada pada jawabanku.

Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak tau bagaimana menjelaskan pada Edsel apa yang akan terjadi jika aku menerimanya. Dia masih belum bisa menerima alasanku. Harusnya dia mementingkan hidupnya ketimbang memaksakan kehendak hatinya.

Dia memelukku. Dia tak berhenti memintaku menerimanya. Sampai dia bersimpuh di depanku. Menyandarkan kepalanya di lututku. Tangannya menggenggamku. Erat. Matanya merah. Dia menangis. Dia bahkan tak lagi peduli pada penilaian orang yang melihat drama cinta Edsel dan Shahia. ٧٧

Aku tak berhenti meyakinkan Shahia. Entah mengapa hujan turun begitu deras. Mungkin Tuhan ingin memberikan backsound yang sesuai untuk drama percintaanku. Aku setengah berteriak pada Shahia karena suaraku tertelan deras hujan.

Aku begitu yakin, Shahia juga memiliki perasaan yang sama. Perasaan yang aku rasakan padanya. Tapi mengapa dia menolakku? Karena apa yang dia lihat tentang masa depan? Omong kosong! Persetan dengan penglihatannya. Persetan juga dengan apa yang bisa aku baca dari pikirannya.

Aku tak pernah segila ini mencintai seseorang. Aku tak pernah sekacau ini mencintai seseorang. Kali ini aku tak lagi setengah berteriak. Aku sangat berteriak. Mencoba meyakinkan Shahia. Untuk yang terakhir. Masa depan hanya milik Tuhan. Bukan dari apa yang bisa dia lihat. Bukan dari apa yang terbaca olehku.

Masa depan bukanlah sesuatu yang pasti. Masa depan adalah hasil dari keputusan yang kita buat saat ini. Dan saat inilah yang nyata. Yang harus dijalani. ٨٨

Hari ini adalah pesta perak perkawinan mama dan papa. Mereka begitu terkejut dengan yang aku rencanakan. Bahkan tak ada satu pun keluarga yang tau rencanaku. Semua kejutan berhasil aku simpan. Hanya aku dan Little Break Event Organizer yang tau.

Aku senang melihat rona kebahagiaan keluargaku. Yang jarang berkumpul karena kesibukan masing-masing, tetapi masih saling peduli. Masih saling membutuhkan.

Edsel yang juga datang, tiba-tiba naik ke atas panggung. Sedikit berbicara tentang ini itu dan sebagainya. Tujuan utamanya adalah satu, ingin memberitaukan keluarga dan kerabat dekat, bahwa dia mengajakku bertunangan. Tepuk riuh tamu undangan mengiringi langkahku untuk naik ke panggung. Dan dia memasangkan sebuah cincin di jari manisku.

Ini hari yang paling mengharukan dalam hidupku. Kali pertama aku menciptakan takdir dan masa depanku sendiri. Bukan lewat apa yang bisa aku lihat tentang masa depanku. Tapi lewat keberanianku mengambil keputusan untuk masa depanku. ٧٧

a6ha s3nja PAP,, 15 Juni 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Awal

Aku bukan ketiga dari rentangmu dengan dia Kau sendiri bukan pelarian dari kisahku yang berakhir Jika memang aku teman hidupmu Lantas mengapa berlama menautkan hati kita Mengapa harus bertemu dan berkasih dengan hati yang dulu Sedang kau begitu setia menjaga rasa Di antara raguku yang menyergap di awal Dengan sombong, ku cegah pedulimu meluluhkan angkuh Ku batasi rasa rinduku agar tak kerap wajah kita beradu Dan kau memenangkan segala kelebihanku Dengan menyapa kekuranganku penuh hangat Hai pria yang kini bersamaku Mari eratkan genggaman Karena kita tak pernah tau Kapan godaan dan ujian menghampiri Sekedar mampir atau ingin memporakporandakan Kepada teman hidupku yang tetap bertahan Terimakasih telah membuatku juga bertahan Kecup dan pelukku untukmu tertanda, Perempuan yang selalu menjadi teman tidurmu

hujatan cinta

teruskan saja menghujatku yang kau hujatkan adalah kebencian yang terbungkus cinta kau tak menyadari bahwa cintamu terlalu dalam tapi memaksakan kau tak bisa memiliki cintaku dan kau hujani aku dengan makian semakin kau menghujatku semakin mereka akan tau siapa yang pantas dicintai dan siapa yang harus mencintai meski sampai mati

Biasa yang Tak Biasa

kita pernah ada di satu waktu yang tak biasa di saat kau berdua dan aku sendiri lalu kita terbiasa dengan yang tak biasa membiasakan menanyakan kabar terbiasa mengingatkan memberi kabar hingga yang tak biasa, menjadi biasa kemudian kita ada di satu sisi yang tak biasa ketika kau merasa memilikiku dan aku menganggap kamu kekasihku entahlah. . . bukankah kita sudah terbiasa dengan yang tak biasa dan membiasakan hal yang tak biasa menjadi biasa ahhh. . . rasanya kita perlu mengisi pikiran kita dengan hal yang biasa karena kita terlampau sering menjalani hubungan,    yang tak biasa agatha tbrm020216