Langsung ke konten utama

Tak Seirama

Aku pernah menginginkanmu. Dan aku pun yakin, kamu juga pernah menginginkan aku. Kita sama-sama tau, kita saling menginginkan. Tapi, kita juga sama-sama tau, kita hanya menyimpan perasaan. Tak berani ungkapkan. Tak berani tunjukkan. Tak berani menyatakan.

Sampai kenyataan membawaku pada seorang lelaki. Mendekatkanku dengan dia. Sementara, kamu masih saja berdiam hati. Entah perasaanmu saat itu. Kecewakah. Sedihkah. Menyesalkah. Atau kamu mewajarkan takdirku.

Aku menikmati waktu yang berlalu dengan lelakiku. Aku tak lagi ingat asaku terhadapmu. Dan aku tak tau, siapa pemilik hatimu. Masih dirikukah. Atau telah bertahta wanita di sana. Aku menjauh. Demi rasa yang telah tumbuh berkembang untuk lelakiku. Dan kamu pun seperti tak peduli.

Sapa tak terucap. Salam pun tak mampu kita selipkan di antara rindu. Aku tau, kamu menanyakan kabarku kepada angin. Kamu menitipkan doa tentangku kepada awan. Kamu ceritakan gebu rindumu kepada hujan. Tapi tak pernah mampu tutur menjabat perjumpaan sesaat.

Aku angkuh. Kamu sombong. Dan begitulah kita. Hingga kamu menyapaku lewat mimpi. Yang kamu pesankan kepada malamku.

Sampai pada satu waktu, lelakiku menyayat percayaku. Dan kecewa menghancurkan segala rasa. Lalu aku seperti diingatkan kepadamu lewat kilau gemintang. Cahayamu kembali benderang. Dan semakin terang saat aku nyalakan kenangan dulu.

Aku jadi bersemangat mencari isi hatimu. Menggodamu. Memancing asamu. Masih adakah terselip akan menyandingku.

Kamu terlihat peduli. Kamu perhatian meski tidak begitu nampak di khalayak. Tapi kadang kamu menjadi mengesalkan. Kamu bersikap seolah membuka pintu. Untuk aku bisa masuk menengok hatimu. Lalu tanpa alasan yang jelas pula, kamu mengacuhkanku dalam diammu.

Tetapi aku terjatuh, ketika kamu menjelaskan keadaan hatimu. Kamu begitu memujanya. Begitu menginginkannya. Mengapa tidak kamu bagikan ceritamu saat aku mulai menaruh sepucuk rasa dan asa. Mengapa seolah kamu  masih menyediakan hati kosong ketika kamu peduli terhadapku.

Kecewa ? Pasti ! Tapi aku tidak berhenti. Aku anggap kamu hanya pengalih perhatian. Saat aku ingin menggodamu, ku goda kamu, saat aku ingin peduli kepadamu, aku peduli. Perlukah alasan untuk itu ?

Sampai kamu mengumbar rasa sakitmu karena seseorang. Kepedihanmu karena harus membentang antara. Kamu tidak memperlihatkan sama sekali saat bersamaku. Siapa yang menipu, siapa yang dibutakan ?

Dan kamu terlihat begitu jatuh. Seperti hilang sudah harapan-harapan yang mungkin pernah kamu tanam. Terlihat tidak ada daya untuk tetap tegak. Kamu menyembunyikan pedihmu lewat senyum yang selalu terkembang saat bertatap denganku. Tapi sedihmu itu menggantung di ujung mata. Aku bisa merasakannya. Saat aku merasakan kehilangan cintamu.

Kamu begitu sakit kehilangan genggamannya. Kamu seperti hilang arah kemana mesti melangkah. Kamu menyimpan pedih yang mendalam. Perih yang begitu getir. Sampai tak mampu air mata menceritakan kisah cintamu.

Dan aku membiarkan kisah kita berlalu. Begitu saja. Aku mengejar cintamu. Kamu mengejar cintanya. Itu hanya cerita lalu. Kita hanya ber"have fun" dengan kedekatan ini. Tidak lebih. Aku pikir, ini hanya kesenangan kita berdua. Yang bebas. Tanpa ikatan. Tanpa aturan.

Tapi saat kesakitan karena kehilangan cinta, kamu justru menumbuhkan kembali benih-benih yang aku matikan. Aku takut. Takut bila kamu benar-benar berusaha mencintaiku. Dengan sisa-sisa luka itu. Apakah aku hanya pelarian ? Apakah aku hanya pelampiasan sedihmu untuk tetap bisa kamu tersenyum di depannya.

Ohh, lelakiku yang beranjak dewasa. Mengapa perasaan yang kita rawat tidak seirama bertumbuhnya ? Mengapa Tuhan tidak menjodohkan kita sejak dulu. Dulu. Di awal kita bertatap. Di awal pandangan matamu yang mengiring langkahku. Di awal kita tau kita merasa sama.

Kedewasaan macam apa lagi yang harus kita lewati. Untuk sekedar tau, kita saling memiliki rasa. Tapi bukan raga. Ohh, lelakiku yang semakin dewasa. Semoga kedewasaan, akan benar-benar memampukan kita, berjalan dalam kehendakNya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

bidadari

mengapa engkau pergi di mana engkau kini ke mana kami mencari peri kecil kami, telah menjadi bidadari tak terasa telah dewasa tapi jangan pernah pergi tinggalkan kami kembalilah bidadari kami engkau kuat, kami tau itu tapi tiada arti engkau sendiri pulanglah bidadari kami menanti di setiap detik berganti buat adekku, etta

coba lupakan kamu!

Suara sepatu yang aku pakai begitu jelas terdengar setiap kali menyentuh lantai. Telinga yang mendengar pasti tau aku sedang berlari. "Tha, dengerin aku dulu," begitu teriak Andre sambil terus berjalan dengan langkah yang cepat meski dia nggak berlari sepertiku. Aku nggak begitu menanggapi kata-katanya. Aku harus menghindar dari dia. "Sampe kapan mau lari? Sampe kapan kamu menghindar dari aku? Sampe kapan kamu mau berbohong sama nurani kamu? Sampe kapan, Tha," teriaknya lagi dan kali ini nggak ada langkah yang memburu. Aku berhenti dari lariku dan membalikkan badanku. "Apa mau kamu," begitu tanyaku dingin. Aku nggak lagi berlari menjauh dari dia tapi kali ini aku menghampiri dia. Mendekatkan jauh yang terbentang antara aku dan dia. "Setelah aku berhenti apa kamu yakin buat ninggalin dia? Apa kamu yakin aku mau ninggalin Aldo," lanjutku lagi masih tetap dingin. Aku merasa semua saraf di tubuhku telah mati. Saat tangan Andre menyentuh wajahku, bahk...

destiny

Hari ini aku disibukkan dengan persiapan acara pernikahan salah satu klien. Yang kebetulan menggunakan jasa event organizer yang aku kelola bersama beberapa teman jaman kuliah. Awalnya memang banyak rintangan. Tetapi berjalannya waktu, semakin banyak saja klien yang mempercayakan acaranya pada jasa kita yang berlabel Little Break Event Organizer. Klien yang dihadapi pun beragam. Ada yang manut manggut-manggut dengan ide yang kita tawarkan. Ada yang datang membawa rancangan konsep. Ada juga yang menyebalkan seperti klienku sekarang. Kemarin bilang bunga mawar merah. Hari ini minta ganti anggrek bulan warna ungu. Kemarin minta round table , sekarang mau ganti standing party . Memang menyebalkan. Tapi itulah pekerjaan kita. Melayani klien. Dan untuk itulah kita dibayar. Setelah melayani pasangan yang bawel. Aku memilih untuk keluar kantor dan mulai menghisap rokok. Ngobrol bareng Pak Mien. Sopir yang sudah bekerja di kantor kita selama tiga tahun terakhir. Kita tak pernah membangun s...