Pernyataannya mengusik pikiranku. Dan dia mengaku memilih untuk bekerja ketimbang sekolah. " Kulo nggih taksih pengen sekolah tapi mboten wonten duite ," katanya tak berhenti memanggul sekarung penuh hasil kebun. Bukan hasil kebun milik orang tuanya yang sedang dia pikul, tetapi bocah lanang yang seharusnya masih duduk di kelas 5 itu, memilih putus sekolah sejak kelas 4 sekolah dasar. Miris. Untuk saya itu sangat miris. Untuk apa memikirkan biaya pendidikan? Pemerintah menggalakkan program wajib belajar. Ada banyak bantuan digulirkan. Digontorkan kepada para siswa. Operasional sekolah dijamin pemerintah. Harusnya sudah tidak ada lagi pungutan dari sekolah untuk para murid. Mengatasnamakan komite, memakai nama sumbangan sukarela yang lucunya sudah ditentukan nominal yang kudu dibayar. Alibi yang cukup cerdik. Dia terengah-engah sesampainya di kaki bukit. Sesaat dia mengambil nafas, lalu berjalan (lagi) menuju perbukitan. " Nggih mboten isin, wong kulo ngrewangi bapak ka...
mengungkap rasa lewat kata